Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Masih tersisa hamba yang tau nama tapi tak memahami makna nama, dan tak pula kenal siapa yang memiliki nama. Demikian terhadap nama bulan ramadhan. Secara awam, ramadhan dikenal sebagai bulan puasa. Padahal, ramadhan bukan berarti puasa, tapi bulan yang dikhususkan Allah pada hamba untuk berpuasa.
Bagi yang memahami makna dan tujuan bulan ramadhan, kehadirannya memang dinantikan. Penantian yang dirindukan untuk menikmati hadirnya cinta Ilahi pada seluruh hamba. Ada beberapa alasan merindukan bulan ramadhan, antara lain :
Pertama, Bulan membakar dosa untuk meraih kesucian menuju cinta-Nya. Sebab, secara bahasa, ramadhan berarti panas menyengat atau membakar. Sebab, pada umumnya matahari pada bulan ini jauh lebih menyengat dibanding bulan-bulan lain. Sementara Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan “dinamakan bulan ramadhan karena ia mengugurkan (membakar) dosa-dosa dengan amal saleh.”
Makna di atas merupakan bentuk kasih sayang Allah atas hamba. Dibakarnya dosa bagai api panas membakar daun-daun yang mengotori muka bumi. Motivasi ini paling tidak menjadi dorongan hamba yang sadar atas demikian banyak dosa yang mengotori dirinya. Harapan agar dosa yang ada terbakar oleh ibadah selama ramadhan. Namun, makna pembakaran perlu diikuti taubat an-nasuha dengan menyesali apa yang pernah dilakukan, mengharapkan pengampunan-Nya, dan berjanji pada Allah untuk tak akan melakukannya pada masa-masa yang akan datang.
Namun, pemahaman di atas segelintir tidak dilakukan beriringan dengan taubat an-nasuha. Setiap hadir ramadhan, selalu dijadikan sebagai media membakar dosa yang pernah dilakukan. Hanya saja, kesalahan terus dilakukan dengan menjadikan ramadhan tahun yang akan datang sebagai penghapus dosa yang dilakukannya. Hal ini merupakan pemahaman yang keliru dan sia-sia.
Ketika ramadhan sebagai bulan penghapus dosa dan media pembersihan hamba atas kesalahan yang pernah dilakukan, maka manfaatkan ramadhan secara bijak. Manfaatkan kesempatan yang diberikan-Nya untuk benar-benar membersihkan diri. Bila ibadah ramadhan masih pada berorientasi pada penghapusan dosa dengan taubat an-nasuha, maka makna puasa akan mampu diperoleh.
Bagi hamba yang mampu menempuh fase pembakaran dosa dan menjaga kebersihan diri atas semua yang dibenci Allah, maka akan masuk pada tingkatan rindu pada Allah. Ibadah ramadhan tak lagi pada level takut siksa Allah atas dosa yang dimiliki, tapi kerinduan pada kasih sayang Allah yang disuguhkan pada bulan ramadhan. Hal ini dinukilkan Rasulullah melalui sabdanya : Dari Abu Hurairah RA, Nabi SAW bersabda: “Barang siapa yang melaksanakan puasa Ramadhan dengan keimanan dan keikhlasan, maka diampuni dosanya yang telah berlalu” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kedua, Menjawab panggilan istimewa dengan kualitas ibadah yang membekas. Hal ini merujuk pada firman Allah : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS. al-Baqarah : 183).
Panggilan istimewa bagi hamba yang istimewa. Hamba istimewa yang akan menjawab panggilan dengan amaliah yang istimewa pula. Andai hal ini dilakukan, maka keberuntungan akan diraih. Namun, bila panggilan istimewa dijawab dengan kekufuran, maka hinalah diri karena tak mampu menjawab panggilan Allah dengan keimanan.
Ketiga, Bertemu ramadhan bulan yang suci dengan kesucian diri. Kesucian dengan taubat an-nasuha, kesadaran untuk membersihkan diri zahir dan batin, serta tak ingin mengotori diri pasca ramadhan. Ia tak ingin bersifat sebagaimana kerbau yang setelah dimandikan tetap mencari kubangan (lumpur). Ia ingin memelihara kebersihan diri selama ramadhan sebagaimana bersihnya anak yang baru lahir.
Keempat, Menikmati pertemuan ramadhan dengan suka cita (bahagia) dan melepas ramadhan dengan linangan airmata. Khawatir telah mensia-siakan bulan pengampunan, tanpa ampunan-Nya. Bagai tamu yang dinantikan, maka ianya akan ditemui dengan kegembiraan. Suguhan sajian lezat berupa amaliah berkualitas akan dihidangkan. Pertemuan diisi dengan “cerita penuh makna” karena telah lama tak bersua. Tak tertutup mata, hilang rasa kantuk, tak ada arti capek, semua dilakukan dengan penuh kebahagiaan. Semua dilakukan dengan kerinduan yang membekas kenangan. Semakin ramadhan akan berpisah, semakin erat pelukan amaliah pada bulan keberkahan. Pelukan seakan tak ingin berpisah dengan ramadhan.
Kelima, Tak ingin melepas ramadhan tanpa bekas. Bila ramadhan berarti panas menyengat atau membakar, maka seyogyanya mampu membekas dengan kematangan diri. Bagai panasnya api membakar panci untuk menanak nasi di atas tungku. Seharusnya akan membuat air di panci mendidih dan nasi menjadi matang. Kematangan karakter yang lebih baik dan membawa pesan rahmatan lil ‘aalamiin. Namun, andai panas api tak membuat air dipanci mendidih dan nasi tak menjadi matang, maka perlu ditelusuri penyebabnya. Apakah karena antara api dan panji jaraknya terlalu jauh atau ada penghalang yang menyebabkan api tak mampu menyentuh panci. Bila api berjarak dengan panci berarti antara puasa dan manusia demikian jauh jaraknya. Manusia tak ingin bertemu dan menjaga jarak agar tak merasakannya. Atau disebabkan kejahilan dan kekufuran yang menghalangi ramadhan menyentuh diri. Atau mungkin banyak anasir haram yang membuat jasmani dan rohani terhijab tak mampu merasakan nilai-nilai ramadhan. Bila hal tersebut terjadi dan menimpa diri, maka hina dan merugilah manusia yang tak tersentuh oleh ramadhan.
Semua sisi ideal ramadhan tentu menjadi harapan setiap diri. Namun, tentu sulit untuk mampu meraihnya. Paling tidak, konsistensi dan kontinuitas amaliah selama ramadhan mampu dipertahankan. Melalui upaya ini, dimungkinkan akan memperoleh kemenangan hakiki. Hal ini dinyatakan Rasulullah melalui sabdanya : “Amalan yang dicintai oleh Allah SWT adalah amalan yang kontinue (berkelanjutan dan istiqomah), walaupun hanya sedikit” (HR. Muslim).
Demikian terang firman Allah dan sabda Rasulullah menjelaskan dan mengingatkan manusia. Beruntung hamba-Nya yang bijak memanfaatkan kebersamaan dengan ramadhan dengan keimanan yang totalitas. Namun, merugi hamba yang hanya bertemu, namun tanpa bertegur sapa dengan ramadhan. Tak ada yang tau, kecuali hanya setiap diri dan Allah yang mengetahuinya. Sebab, puasa adalah ibadah hamba untuk Allah dan hanya Allah yang akan menilainya. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Harian Riau Pos offline (cetak) tgl. 31 Maret 2023