Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Mata merupakan anugerah Allah yang sangat berharga. Ia menjadi jendela sejuta informasi. Namun, mata memerlukan cahaya agar mampu menangkap objek yang akan dilihat. Tanpa cahaya, mata tak mampu melaksanakan fungsinya secara baik. Dengan bantuan cahaya, mata mengirimkan berbagai informasi yang dilihat untuk diolah otak (akal) dan hati. Dalam tataran agama, informasi yang diolah oleh akal berkelana mencerna dan menemukan kebenaran. Sedangkan hati bersemayam menimbang dan merasakan manisnya kebenaran yang diperoleh. Sebagai hamba-Nya yang istimewa, manusia dianugerahkan dengan dua jenis mata, yaitu mata zahir yang mampu melihat objek zahir (konkrit) dan mata batin yang mampu melihat objek batin (abstrak). Kedua jenis mata seyogyanya perlu saling mengisi. Sebab, keterbatasan mata zahir perlu ditopang potensi mata batin mampu melampaui areal potensi mata zahir.
Tak sedikit manusia yang ditakdirkan Allah meski tak memiliki mata zahir yang berfungsi secara normal, tapi mereka memiliki mata batin yang lebih terang melebih mata zahir manusia lainnya. Sementara, cukup banyak manusia memiliki kesempurnaan mata zahir yang terang benderang melihat alam semesta, namun ternyata mata batinnya mengalami keterbatasan, bahkan kebutaan. Akibatnya, hatinya berada pada kegelapan dan hanya menyebar kemungkaran atau kebencian. Tertutup keinginan berbuat kebenaran, begitu berat mengikuti ajaran Rasulullah dan mentaati perintah Allah.
Kondisi di atas berakibat mata zahir yang dimiliki hanya mampu melihat hebatnya diri dan memandang rendah orang lain. Matanya demikian tajam melihat kesalahan orang lain, bahkan melampaui ketajaman mata elang (tatkala mengintai mangsanya) dan begitu jeli melihat dan mencari aib sesamanya. Bahkan, mencari aib dan kesalahan orang lain dijadikannya sebagai lahan mata pencarian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ketajaman matanya hanya untuk melihat kesalahan orang lain, namun buta (pura-pura buta) melihat busuknya diri dan koleganya. Akibatnya, mata batinnya menjadi buta (tertutup) melihat “kejahilan dan aib” diri atau komunitasnya. Anehnya, matanya demikian “terang benderang” untuk melihat aib orang lain. Matanya bagai mata “lalat” yang tajam melihat secuil bangkai ditumpukan berlian. Tapi, mata batinnya begitu “gelap gulita” tatkala melihat aib sendiri atau koleganya. Tentu mata yang demikian berasal dari pemilik diri yang “busuk”, bergelimang pada yang “busuk”, dan senang pada yang “busuk” pula. Wajar bila perhatiannya hanya pada yang busuk atau membuat “sesuatu” menjadi busuk untuk menjadi santapan yang mengundang seleranya. Padahal, fenomena ini demikian jelas diceritakan Rasulullah saat peristiwa isra’ dan mi’raj atas prilaku penghuni neraka yang lebih suka memilih dan memakan daging busuk (bangkai), padahal di sisi lain terhidang daging segar yang baik, namun tidak diambilnya.
Andai manusia memiliki “obor dan cermin kehormatan diri”, maka ia akan melihat aib diri yang ada. Ia tak ingin ada “bangkai” dalam dirinya. Ia akan sibuk membersihkan dirinyadari kotoran. Kondisi ini membuat tak ada waktu lagi melihat aib orang lain. Ia malu bila kelak akan mempertanggung-jawabkannya dihadapan Allah. Ia khawatir busuk dirinya menjadi penyebab hijab untuk meraih cahaya dan cinta Allah. Matanya selalu basah oleh cucuran air mata seakan tiada henti dan malu menyaksikan hinanya diri. Matanya tak pernah melihat aib orang lain, sebab matanya hanya tertuju membersihkan dan menjaga kebersihan dirinya.
Alangkah bahagia manusia yang diberi karunia oleh Allah untuk sibuk melihat aib diri dengan sibuk melakukan muhasabah yang tiada henti guna memperbaiki diri sebelum bertemu pada Sang Khaliq. Tak lagi tersisa waktu meski sedebu untuk melihat aib orang lain. Allah mengingatkan manusia melalui firman-Nya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah. Hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok. Bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. al-Hasyr : 18).
Demikian jelas ayat di atas mengingatkan manusia untuk mawas diri dan menggunakan mata guna memperbaiki semua perilaku dirinya. Manusia yang bijak menggunakan seluruh potensi yang dimiliki untuk melihat kekurangan diri, berupaya memperbaiki, dan berupaya mendekatkan diri pada Allah pemilik cahaya. Sebaliknya, manusia yang jahil justeru sibuk melihat kekurangan orang lain (apalagi dianggap musuh atau saingan), sehingga lupa pada diri, dan lupa pada Allah yang menciptakan diri. Padahal, Allah telah mengingat-kan melalui firman-Nya :“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, sehingga Allah menjadikan mereka lupa akan diri sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik” (QS. Al-Hasyr : 18).
Ayat di atas dalam bentuk kearifan Melayu dinukilkan melalui pepatah “gajah di pelupuk mata tidak terlihat, tapi semut di seberang lautan demikian jelas terlihat”. Pepatah ini bermakna bahwa kesalahan diri sendiri (komunitas) yang demikian besar dan nyata di depan mata tak pernah terlihat (pura-pura tak dilihat), bahkan berupaya menutupinya dengan logika atau aturan yang direkayasa agar tak terlihat. Akan tetapi, kesalahan orang lain yang sedemikian kecil terlihat jelas dan dibesar-besarkan. Semua disebabkan butanya mata hati bersamaan hilangnya iman dan harga diri.
Ada beberapa jenis mata (manusia) sebagai salah satu pancaindera yang diciptakan Allah. Jenis mata yang me-nunjukkan kualitas dan hakikat setiap manusia, antara lain :
Pertama, Mata yang selalu mencari dan menuju cahaya. Bila mata zahir yang normal akan berfungsi bila ada cahaya, maka demikian pula mata hati (batin). Untuk itu, wajar bila mata senantiasa memerlukan dan mencari cahaya. Bagi mata zahir, cahaya yang diperlukan berupa cahaya yang bersifat zahir. Ruang lingkupnya terbatas. Mata zahir membutuhkan cahaya dan menjauhi kegelapan. Sementara mata hati mencari cahaya yang berasal dari Zat Pemilik Cahaya. Ruang lingkupnya lebih luas, seluas cahaya yang diberikan Allah pada hamba yang diinginkan-Nya.
Secara syari’at, manusia yang menggunakan mata zahir mencari dan menemukan cahaya zahir sesuai perintah Allah akan menghantarkannya berpeluang menemukan cahaya batin yang hakiki. Tentu proses yang panjang dan atas izin-Nya jua. Tapi, bagi mata zahir yang senang pada “sisi kegelapan dunia”, maka matanya akan semakin tertutup danterlempar jauh dari cahaya kebenaran (Ilahi).
Kerinduan mata hamba mencari dan menuju cahaya Ilahi tertuang pada sabda Rasulullah SAW dalam munajatnya : “Ya Allah, jadikanlah cahaya di dalam hatiku, cahaya di pendengaranku, cahaya di penglihatanku, cahaya di sebelah kananku, cahaya di sebelah kiriku, cahaya di hadapanku, cahaya di belakangku, cahaya di atasku, cahaya di bawahku, dan muliakanlah cahaya bagiku” (HR. Bukhari).
Hamba yang menggunakan mata zahir dan batin (hati) menuju sumber cahaya akan memperoleh kenikmatan yang tiada tara. Hal ini dinukilkan Allah melalui firman-Nya : “Diedarkan kepada mereka piring-piring dari emas, dan piala-piala dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata dan kamu kekal di dalamnya” (QS. az-Zukhruf : 71).
Manusia yang memiliki mata tipikal ini merupakan hamba yang beruntung dan memperoleh keselamatan dunia akhirat. Syukuri dan pelihara dengan iman agar tipikal mata jenis ini mampu dimiliki dan dipertahankan.
Kedua, Mata yang tertutup “kabut tebal” (katarak) kejahilan yang tak mampu menembus atau ditenbus cahaya. Mata jenis ini merupakan mata yang terdinding oleh kejahilan yang menutup matanya dari cahaya kebenaran. Mata yang tertutup oleh kuasa, tumpukan materi, keserakahan, kebencian, hasad dengki, kesombongan, dan varian kejahilan lainnya. Baginya, semua gelap (salah) bila tak memberi keuntungan pada diri atau komunitasnya. Namun, bila apa yang dilihat oleh mata sesuatu yang menguntungkan, maka meski “kabut hitam” tetap akan dikatakan “cerah”. Atau sebaliknya, meski demikian benderang cahaya matahari, tapi bila tak memberi keuntungan pada diri (komunitasnya), maka tetap akan dinafikan dan dianggap gelap. Karakter mata yang demikian dinukilkan Rasulullah melalui sabdanya :“Sesungguhnya Allah menciptakan ciptaan dalam kegelapan kemudian memberinya cahaya-Nya, maka siapa yang terkena cahaya-Nya, ia mendapatkan petunjuk, dan siapa luput, maka ia tersesat” (HR. Ahmad).
Manusia yang memiliki mata tipikal ini merupakan hamba yang memperoleh kesengsaraan. Untuk mengobatinya, mohon pengampunan-Nya sembari berupaya membuka tabir yang menyelimuti mata dengan kembali pada fitrah diri sebagai hamba yang senantiasa berpegang pada ajaran-Nya.
Ketiga, Mata yang takut pada cahaya dan selalu menjauhi cahaya (heliophobia) kebenaran. Jenis mata seperti ini bagai burung hantu, kelelawar, vampir, dan sejenisnya. Jenis mata ini (zahir dan batin) yang mengalami “ketertupan dan kebutaan” total dan abadi. Tak tersisa secercah cahaya sedikit jua mampu menembus. Semua ditolak bahkan dihindari. Mata jenis ini justeru sibuk mencari “kegelapan”. Justeru dunia kegelapan menjadi media kehidupan dan menumbuhkan kesenangan bagi diri dan komunitasnya. Setiap yang membawa cahaya bukan hanya dihindari dan dibenci, tapi berupaya untuk dihancurkan dan dibinasakan. Karakter yang demikian dinukilkan Allah melalui firman-Nya : “Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman, ‘Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebagian cahaya kalian.’ Dikatakan (kepada mereka), ‘Kembalilah kalian ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untuk kalian)” (QS. al-Hadid : 13).
Meski demikian jelas ayat tertulis, terhampar, dan terdapat pada diri demikian jelas, namun mata tipe ini membangun karakter “vampir” yang membuat dirinya lupa pada cahaya. Hal ini dijelaskan Allah melalui firman-Nya : “Ia berkata: ‘Bilakah hari kiamat itu ?’ Maka apabila mata terbelalak (ketakutan)” (QS. al-Qiyamah : 6-7).
Namun, semua telah terlambat. Hanya penyesalan tiada berguna. Setelah demikian banyak cahaya didustai. Sungguh janji Allah pasti adanya. Manusia yang memiliki mata tipikal ini merupakan hamba yang celaka. Sadari kesalahan dan mohon pengampunan-Nya dengan taubat an-nasuha sembari berjanji untuk tidak melakukan perbuatan yang membutakan dirinya.
Keempat, Mata kaki. Mata yang memiliki nama, tapi tak berfungsi untuk menunjuk arah jalan ketika kaki melangkah. Demikian manusia, ada mata (zahir dan batin), tapi tak berfungsi untuk melihat sekeliling. Hilang kepekaan, punah rasa, tertutup akal dan hati, seiring semakin kokoh keangkuh-an dan kezaliman. Tipikal ini menyebabkan sebagian manusia hanya sebatas memiliki mata untuk melihat baik dan buruk, namun tak berfungsi membangun kearifan diri yang hakiki. Memiliki kuasa dan jabatan, tapi tak berfungsi mengayomi dan melindungi. Memiliki ilmu, tapi tak terlihat karya dan upaya mencerdaskan. Memiliki harta, tapi sekitar-nya masih banyak kelaparan. Memiliki kekuatan, tapi banyak yang menderita. Semua terjadi karena ada mata hanya nama, namun tak berfungsi sebagaimana seharusnya. Allah mengingatkan melalui berfirman-Nya : “Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati” (QS. al-Mukmin : 19).
Manusia yang memiliki mata tipikal ini merupakan hamba yang celaka dan hina. Fasilitas diri yang dimiliki hanya sebatas ada dan bernama, namun tak difungsikannya untuk kebaikan. Tergelincirlah diri pada kehinaan, bahkan Allah hinakannya pada level lebih hina dibanding hewan (QS. al-A’raf : 179). Meski mungkin tipikal ini dimuliakan penduduk bumi, tapi dicatat hina seluruh penduduk langit.
Demikian jelas ayat yang difirmankan-Nya, namun acapkali tersisa hanya sebatas dibaca dan dilihat oleh mata zahir tapi belum mampu diamalkan dalam kehidupan. Bak pepatah mengatakan “jauh panggang dari api” (tidak seperti yang diharapkan). Meski demikian jelas tugas Nabi membawa risalah untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya (minadzulumaat ila an-nuur), namun mata segelintir manusia tertutup (buta) terhadap cahaya agama. Beruntung manusia yang matanya peka pada cahaya dan memilih jalan tugas Rasulullah. Di sisi lain, merugi manusia yang sebaliknya memilih mata pada kegelapan dan menjauhi cahaya Ilahi dalam seluruh aspek kehidupannya.
Meski peradaban dunia dituntut bergerak dinamis, namun peradaban dunia tak akan berubah selama manusia tak menggunakan matanya menggapai cahaya. Tanpa cahaya, manusia tak mampu melakukan perubahan atas pola fikir dan prilakunya. Sebab, hanya tatkala mata zahir dan batin mampu menggapai dan memperoleh cahaya, maka ia akan melihat semua kebenaran yang ada secara nyata. Lalu, bagaimana mata yang dimiliki setiap diri ? Tak ada yang tau secara pasti atau sengaja tak peduli terhadap kualitas matanya. Hanya hamba yang memperoleh cahaya-Nya mampu menjawab.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 13 Maret 2023