Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Mata, telinga, dan mulut merupakan di antara organ vital bagi manusia. Ketiganya memainkan peran penting bagi manusia dalam melaksanakan tugas dan fungsinya di muka bumi, baik vertikal maupun horizontal. Melalui mata, manusia bisa melihat indahnya alam semesta. Melalui telinga, manusia bisa mendengar merdunya suara burung berkicau. Melalui mulut, manusia bisa berbicara dan menyampaikan pesan lisan antar sesama. Bila ketiganya digunakan secara baik, maka akan menghasilkan kebajikan. Namun, bila ketiga atau salah satu organ tersebut digunakan untuk jalan yang salah, maka akan bahaya dan melahirkan malapetaka. Untuk itu, Allah mengingatkan melalui firman-Nya : “Kamu sekali-sekali tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan, dan kulitmu kepadamu” (QS. Fushshilat : 22).
Meski hal ini disadari secara nyata oleh manusia, namun acapkali ketiga organ ini tidak mampu dijaga dan digunakan sebagaimana mestinya. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka telah tertutup, dan mereka akan mendapat azab yang berat” (QS. al-Baqarah : 7).
Dalam tafsir Jalalain, dijelaskan bahwa Allah mengunci mati (menutup rapat) hati mereka sehingga tidak dapat dimasuki oleh kebaikan. Begitu pula pendengaran mereka dikunci sehingga tidak memperoleh manfaat dari kebenaran yang mereka terima. Sedangkan penglihatan mereka ditutup sehingga tidak dapat melihat kebenaran. Sungguh, bagi mereka siksa yang pedih lagi tetap (kekal). Hanya mulutnya yang terbuka lebar tanpa “hati, mata, dan telinga”. Akibatnya, mulut (berikut variannya) bebas tanpa saringan.
Pada dimensi i’tibar, ketiga organ tersebut (mata, telinga, dan mulut), menunjuk pada status manusia, yaitu :
Pertama, Mata ; organ yang seyogyanya dimiliki oleh ilmuan (ulama) yang senantiasa menggunakan matanya (zahir dan batin) untuk melihat keagungan Allah. Semua ciptaan-Nya dilihat secara bijak sebagai pengajaran dan ilmu bagi membangun peradaban. Hal ini dinukilkan Allah melalui firman-Nya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesar-an Allah) bagi orang yang berakal” (QS. Ali Imran : 190).
Atas ayat di atas, Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari, dalam kitab al-Hikam, menjelaskan bahwa : “Seluruh alam semesta adalah kegelapan dan yang menyinari di dalamnya adalah keberadaan Allah SWT. Barang siapa yang melihat alam kemudian tidak melihat-Nya di dalam atau di sisi dunia atau sebelum dan sesudahnya, maka berarti ia telah disilaukan oleh sinar dan terhijab dari matahari ma’rifat karena awan-awan alam.” Demikian dalam makna yang disampaikan Syekh as-Sakandari. Bila kaum intelektual menggunakan mata untuk melihat kebesaran Allah, maka kebenaran akan diperoleh. Namun, bila mata tak lagi digunakan untuk melihat ayat-ayat Allah, maka alam semesta akan tertutup awan hitam kelam kejahilan dan kesesatan.
Bagi ilmuan yang melihat keagungan Allah (QS. al-Ghasiyah : 17-20), matanya akan membuat hati bersimpuh untuk mengagungkan kebesaran Allah dan fikirannya akan menemukan kebenaran hakiki untuk membangun peradaban yang rahmatan lil ‘aalamiin. Hal ini dinukilkan Allah melalui firman-Nya : “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (QS. al-An’am : 103).
Beruntung bila ilmuan mampu memperbanyak menggunakan matanya untuk melihat keagungan Allah dan menemukan kebenaran. Alangkah merugi bila “mengaku ilmuan (ulama)” dengan deretan titel (raihan atau pemberian) atau sebutan lainnya, namun tak mampu menggunakan matanya untuk mencari, menemukan, dan menyebarkan kebenaran. Melalui mata, hidup merupakan rangkaian upaya mengenal Allah dan Rasul-Nya, sedangkan mati merupakan jalan bertemu Allah dan Rasul-Nya. Demikian mata yang mampu melihat kebesar-an Allah dan beradab pada Rasulullah.
Kedua, Telinga ; organ yang seyogyanya dimiliki pada sosok pemimpin yang senantiasa memanfaatkan telinganya untuk mendengar keluh kesah, derita, ketidakadilan, harapan, informasi, atau nasehat orang lain. Kedua telinganya harus digunakan untuk mendengar tangisan dan tawa, pro dan kontra, si miskin dan si kaya, atau varian sejenis secara berimbang sebagaimana seimbangnya posisi kedua telinganya (kanan dan kiri). Semua yang didengar diolah oleh akal dan mendengar pertimbangan pemilik “mata” (ilmuan) yang amanah. Demikian Allah posisikan telinga yang berada di antara akal dan mata. Posisi dan fungsinya bukan sekedar asesoris, tapi memiliki tujuan mulia.
Bila kedua telinga yang berada posisi seimbang tidak mampu dipahami, maka apa yang didengar bernilai subyektif. Hanya mendengarkan informasi sepihak yang menguntungkan diri, berita kehebatan dan kelebihan diri, atau lainnya. Akibatnya, tumbuh subur para “penjilat” yang akan memberi informasi sepihak dan menyenangkan. Padahal, realitanya justeru sebaliknya. Apatahlagi bila informasi dan berita yang didengar tak dipertimbangkan oleh “mata” (ilmu dan ilmuan), serta diolah akal sehat untuk memperoleh kebenaran, maka telinga akan digunakan iblis untuk menginformasikan sesuatu yang berakibat malapetaka pada diri dan sesama. Padahal, Allah telah mengingatkan “telinga” melalui firman-Nya : “Mengapa orang-orang mukmin dan mukminat tidak berbaik sangka terhadap diri mereka sendiri, ketika kamu mendengar berita bohong itu dan berkata, “Ini adalah (suatu berita) bohong yang nyata” (QS. an-Nur : 12).
Demikian makna telinga bagi manusia. Meski jelas apa yang difirmankan-Nya, namun manusia acapkali mengingkari kebenaran ayat-ayat Allah. Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya :“Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbatan di kedua telinganya, maka gembirakanlah dia dengan azab yang pedih” (QS. Luqman : 7).
Bagi pemilik “telinga” yang penuh asma Allah, semua suara nasehat merupakan kalam Allah. Semua didengar dengan bijaksana. Telinganya bagai telinga nabi Sulaiman yang peka terhadap semua persoalan rakyatnya. Jangankan suara manusia, suara dan rintihan semut pun didengarnya. Beda dengan “telinga” yang penuh kotoran. Ia hanya mendengar kata “sekitar lingkar pinggangnya” dan tak mau mendengar kata mereka yang di luar lingkaran, apatahlagi kata “seberang laut” kepentingan. Telinga yang demikian bukan telinga seorang pemimpin, tapi telinga yang tersumbat oleh kotoran dan keinginan untuk memangsa sesama.
Ketiga, Mulut ; gunakan mulut secara bijak untuk menyampai-kan kebenaran. Namun, pepatah mengingatkan “lidah tak bertulang”. Bila tidak hati-hati, mulut hanya akan digunakan untuk menyebar kebencian. Di era digital, mulut diambil alih oleh tulisan (jurnalistik, IG, WA, dan sejenis) yang disebarluas-kan melalui media sosial. Segelintirnya, tampilan digunakan untuk menunjukkan kesombongan, kemunafikan, atau kritik pedas tanpa solusi. Semua yang diteriakkan hanya berupa kesalahan sesama. Padahal, dirinya justeru merupakan pelaku kesalahan serupa. Mulut yang demikian biasanya hanya digunakan provokator dan kaum pemilik peradaban rendah. Dengan kepiawaian bersilat lidah, mulut mampu memecah keheningan, kedamaian, dan meruntuhkan bangunan peradaban. Padahal, ia justeru tak mampu membangun peradaban sedikit jua. Teriakan-teriakan yang dilakukan hanya untuk sekedar mencari perhatian bahwa dirinya ada dan kepentingan yang mengitarinya. Sebab, selama ini mereka “tak pernah ada dan sanggup membuat sesuatu menjadi ada” atau akibat tak mampu memperoleh apa yang diinginkan. Adanya hanya sebatas benalu atau duri yang menusuk peradaban. Anehnya, kelompok ini acapkali dipercaya, dipelihara, dan memperoleh perhatian khusus. Padahal, secara jelas Rasulullah SAW mengingatkan melalui sabdanya : “Seorang muslim adalah yang keselamatan kaum muslimin terjaga dari lisan dan perbuatannya” (HR. Bukhari).
Banyak berbicara selain untuk hal yang terkait dengan zikir kepada Allah, akan membuka peluang terjerumusnya manusia ke dalam urusan yang tidak berfaedah. Di antara bahan pembicaraan yang mendorong seseorang banyak bicara adalah pembicaraan yang tidak penting, berpeluang menjadi kebiasaan menyebar fitnah dan buruk sangka.
Sungguh benar bila dikatakan “semua terjadi sesuai frekuensinya”. Semua hadir pada komunitas selevel atau sejejaringan. Manusia yang percaya pada pemilik peradaban rendah tentu “memiliki frekuensi yang sama” dengan manusia “penyiarnya” atau mitra sekitarnya yang selevel. Tak mungkin pemilik kebijakan (kebenaran) mau menerima informasi dari mulut pelaku kesalahan. Tapi, hanya pelaku kesalahan yang mendengarkan penyebar kesalahan. Padahal, Allah telah mengingatkan melalui firman-Nya : “Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan” (QS. al-An’am : 116).
Logika sederhana, siaran radio yang hanya “gemerisik” akan diterima oleh manusia tuli sebagai sebuah dendangan lagu merdu dan enak didengar. Ia akan menari-nari gembira, seakan lagu berirama merdu. Ketulian telinganya membuat gemerisik suara justeru bagai keindahan lagu. Padahal, bagi pemilik telinga normal, apa yang didengar hanya gemerisik suara siaran radio rusak yang memekakkan telinga.
Demikian pilihan peradaban jahiliyah yang diambil manusia modern. Semua berselindung melalui legalitas “hak asasi, keterbukaan informasi, dan kebebasan berpendapat atau berekspresi”. Bila yang disampaikan berupa kebenaran, maka berarti akan bernilai dakwah dan kebajikan. Namun, bila yang disampaikan berupa sesuatu yang salah, maka berarti bernilai fitnah, kebohongan, dan berbuah petaka. Anehnya, sisi kebenaran tak lagi menjadi perhatian dan tak pernah disampaikan secara berimbang. Justeru sisi berita yang salah, berisi fitnah lebih diminati dan dilindungi dengan dalih “kebebasan berekspresi”. Padahal, Rasulullah SAW telah mengingatkan umat melalui sabdanya : “Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan kalimat tanpa dipikirkan terlebih dahulu, dan karenanya dia terjatuh ke dalam neraka sejauh antara timur dan barat” (HR. Muslim).
Bahkan, pada hadis yang lain, Rasulullah bersabda : “Maukah kalian aku beri tahu apa dosa besar yang paling besar ?”. Beliau mengulang tiga kali. Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Lalu Rasulullah bersabda, “Yaitu menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua. “Saat itu beliau bersandar lalu duduk dan melanjutkan, “Juga, kesaksian palsu, kesaksian palsu, kesaksian palsu.” Begitu Rasulullah mengulang-ulang sampai kami mengatakan, andai beliau menghentikannya (HR. Bukhari dan Muslim).
Begitu jelas apa yang disabdakan Rasulullah SAW, namun segelintir manusia tak menghiraukan dan tak menjadikannya sebagai pedoman. Firman Allah seakan sebatas bacaan dan sabda Rasulullah seakan dinafikan. Semua cukup bila ayat-ayat-Nya sekedar dibaca dan sabda Rasulullah dipoles melalui ungkapan lisan (gegap gempita) tanpa makna dan berbekas pada prilaku. Sementara mulut tetap lepas tanpa kontrol menyebar fitnah dan kata-kata keji tanpa peradaban. Allah SWT berfirman : “Dan siapakah yang lebih zalim dari pada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya lalu dia berpaling dari padanya dan melupakan apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya? Sesungguhnya Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka, (sehingga mereka tidak) memahaminya, dan (Kami letakkan pula) sumbatan di telinga mereka ; dan kendatipun kamu menyeru mereka kepada petunjuk, niscaya mereka tidak akan mendapat petunjuk selama-lamanya” (QS. al-Kahfi : 57).
Bila dilihat dari aspek kotoran mata, telinga, dan mulut, maka bau yang menyengat di antara ketiganya muncul justeru dari mulut. Meski bisa dijelaskan penyebabnya melalui pendekatan medis, namun pendekatan agama menjelaskan karena bahaya yang ditimbulkan oleh mulut dan variannya di era modern (media sosial). Padahal, Allah mengingatkan manusia melalui firman-Nya : “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (QS. Qaaf : 18).
Semua tercatat dalam pengawasan malaikat. Tak ada yang bisa mengelak. Namun, banyak pula yang seakan tak peduli, hanya dorongan pundi-pundi, “titipan”, atau sakit hati karena keinginan yang tak dapat diraih. Mulut manis dengan senyuman, namun berisi kotoran yang dikeluarkan. Demikian Allah SWT dan Rasulullah menjelaskan pada manusia secara terang. Bila mata, telinga, dan mulut bersama menuju cinta Allah (taqwa), maka keselamatan seluruh alam semesta akan diraih. Namun, bila ketiga organ tersebut digunakan pada jalan kesalahan (fujur), maka akan terjadi kehancuran. Padahal, mata dan telinga diberi berpasangan agar obyektif dan bijak dalam bekerja. Sementara mulut hanya tunggal, namun bahayanya mampu menghancurkan peradaban.
Meski demikian jelas ayat al-Quran dihadirkan dan alam semesta dihamparkan, namun seakan tak menjadikan manusia bergeming. Mungkin manusia tak lagi takut pada ancaman Allah, atau manusia telah mencari tuhan lain atau telah mentuhankan dirinya sendiri. Menganggap diri paling benar, paling hebat, paling pintar, paling shaleh, paling pantas, paling berjasa, atau varian sejenisnya. Meski ayat dan hadis demikian nyata, namun seakan semua tak ada artinya. Demikian jelas apa yang firman Allah dan sabda Rasulullah, namun kenyataannya telah didustakan. Mungkin mereka kaum yang dimaksud Allah dalam QS. al-Baqarah : 8. Lalu, bagaimana kualitas mata, telinga, dan mulut yang kita miliki. Hanya hati setiap diri yang bisa menjawab dan Allah SWT Yang Maha Tahu semua misteri yang tersembunyi.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 15 Mei 2023