Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Kesehatan merupakan dambaan setiap makhluk, termasuk manusia. Namun, tak semua manusia sempat memahami bagaimana untuk sehat. Meski manusia merupakan makhluk jasmani dan rohani yang dibekali akal dan hati, namun manusia acapkali hanya memperhatikan kesehatan jasmani lebih dominan, ketimbang kesehatan rohani (kalbu).
Ketika jasmani sakit, manusia secepat mungkin berupaya mengobati meski harus mengeluarkan biaya yang tak sedikit. Bahkan, tatkala jasmani sehat, serangkaian upaya dilakukan agar jasmani tampil “memukau” dengan asesories yang berkilau. Namun, manusia acapkali kurang –bahkan lupa– memperhatikan kesehatan rohaninya. Akibatnya, tampilan kesehatan jasmani tak menjamin adanya korelasi dengan kesehatan rohaninya. Hampir tak ada waktu memberi asupan “vitamin” yang bergizi agar hati tetap sehat, memberi “obat rohani” ketika hati didera penyakit, bahkan tak memakaikan pakaian hati dengan asesories yang mampu menampilkan akhlak (adab) mulia. Bila pun ada yang peduli dan berupaya memenuhi kebutuhan rohani, namun enggan mengeluarkan biaya sebesar kebutuhan jasmani. Manusia sering perhitungan untuk mengobati hati tatkala menderita penyakit. Inginnya hanya dengan biaya yang paling murah, bahkan gratis. Padahal, jasmani ibaratkan “tubuh robot”. Sedangkan rohani ibaratkan “mesin dan batree” yang menggerakkan robot. Sayangnya, fisik robot dipercantik dan dipoles dengan biaya besar, sementara batree yang dipakai sebatas batree bekas bahkan soak dengan harga yang murah yang diambil dari tong sampah. Demikian manusia memperlakukan dirinya. Untuk itu, wajar tatkala lahiriyah sehat, namun rohaniah dirundung berbagai penyakit akut dengan tingkat komplikasi stadium tinggi. Ternyata, manusia tidak mampu berlaku adil atas jasmani dan rohaninya. Bila tampilan ini yang terjadi pada diri, bagaimana mungkin mampu berlaku adil terhadap sisi di luar dirinya. Pada sisi rohaniahnya ia telah berlaku zalim, tentu sangat mudah dan biasa berlaku zalim pada sisi di luar diri (sesama dan alam).
Tatkala kesehatan rohani tak mampu diperhatikan yang berakibat pada “kerusakan hati”, maka tatanan peradaban akan mengalami persoalan. Bila manusia mampu berlaku adil atas sisi kesehatan jasmani dan rohaninya, maka akan mampu pula melahirkan keadilan di luar dirinya (sesama).
Miliki waktu untuk melakukan tes atas kesehatan hati (rohani). Bila ternyata berpeluang tidak sehat, maka segera cari obat untuk menyembuhkannya. Jangan jadi garam di tengah samudera. Sebab, meski banyak namun ia tak mampu membuat ikan yang berenang terasa asin oleh asinnya air samudera. Jadilah garam untuk bumbu masak. Meski sedikit mampu membuat seluruh isi kuali terasa lezat dan dinikmati semua orang.
Sungguh i’tibar muhasabah diri yang luas, namun sulit untuk diamalkan. Ketika rohani menderita penyakit, meski keluasan ilmu dimiliki, namun tak mampu membuat diri menikmati hakikat berilmu. Syukuri ilmu yang sedikit nan diamalkan dengan istiqomah akan mampu memberi kenikmatan batin dan terpancar pada akhlak mulia (keshalehan vertikal dan horizontal).
Ketika manusia lebih fokus pada kesehatan jasmani dan lupa melakukan “medical chek up” kalbu (rohani)nya, maka ia akan mengalami gangguan rohani (jiwa). Gangguan tersebut dapat dilihat pada beberapa indikasi, antara lain :
Pertama, Hati yang kian mengeras, merasa paling baik (pantas atau shaleh) dibanding yang lain, sehingga tak mau dinasehati, namun suka menasehati orang lain atau tak mau dikritik tapi hanya suka mengkritik. Kerasnya hati yang “alergi” atas nasehat orang lain akan bermuara pada perasaan diri paling benar (mulia), senang dipuja dan dimuliakan, dan menilai setiap nasehat (kritik) sebagai lawan yang harus “disingkirkan” karena dianggap dapat membahayakan eksistensinya.
Bagi pemilik hati yang sehat, pujian tak membuatnya lupa diri dan kritikan dijadikan sebagai jamu untuk disyukuri agar senantiasa memperbaiki diri supaya tetap sehat. Baginya, pujian hanya milik Allah dan kritikan sebagai jembatan menjadi lebih baik sembari mengharap bimbingan Ilahi.
Kedua, Hati yang merasa paling benar. Kondisi ini menggiring sikap merendahkan (bahkan menolak) kebenaran pihak lain, apatahlagi bila dianggap lawannya. Merasa paling benar, namun tak pernah berbuat perbuatan yang benar. Setiap waktu hanya mencari kesalahan orang lain untuk menutupi kesalahan dirinya sendiri. Manusia seperti ini menganggap kebenaran tunggal hanya yang ada pada dirinya (termasuk kolega). Bahkan, bagi hati yang dirundung “penyakit kronis” menganggap kebenaran firman Tuhan dinikainya sebagai kebenaran yang perlu dikritisi karena dianggap tidak lagi relevan dan perlu direvisi dengan tafsir yang sesuai kepentingannya. Sedemikian angkuhnya diri bila hati terkunci dan dijangkiti penyakit hati yang kronis. Sedangkan bagi jiwa yang sehat akan senantisa memelihara hati dari berbagai penyakit, merangkul kebaikan yang dimiliki teman, dan membimbing lawan agar menyadari kesalahannya, tanpa membuka aib apalagi menyebar fitnah pada sesama.
Ketiga, Ego yang tinggi dan merasa diri paling mulia. Meski berbuat benar jadi kebutuhan, namun merasa paling benar harus dihindari. Demikian pula berbuat mulia jadi kebutuhan, tapi merasa paling mulia bukan sifat terpuji. Bila hati berpenyakit, kebenaran dan kemuliaan dirasakan hanya miliknya. Penyakit ini akan membangun ego bahwa apa pun di luar diri dan kelompoknya akan dinilai salah dan perlu dibasmi. Ego yang demikian akan diperparah bila ditunjang oleh kuasa yang dimiliki atau profesi yang disandang. Ia akan menempatkan diri seperti durian dan di luar diri atau kelompoknya sebagai mentimun. Ketika ia digolek atau menggolek, durian tak pernah terusik dan rusak sedikit jua. Hanya “mentimun” yang akan mengalami kerusakan dan hancur. Meski kesalahan “durian” demikian nyata, namun “mentimun” (meski membawa kebenaran) yang akan hancur dan perlu dihancurkan. Padahal, kadigjaya durian bukan karena kebenaran yang dibawa, tapi hanya mengandalkan dan dilindungi “duri” (kuasa) yang dimiliki. Sementara kehancuran “mentimun” bukan karena kesalahan, tapi kebenaran yang tak berdaya.
Keempat, Hati yang lupa bercermin atas aib diri, namun sibuk menyingkap aib dan berprasangka buruk terhadap orang lain. Bila hati telah rusak, ingatan hanya tertuju pada lawan. Meski 99 kawan yang berbuat baik pada dirinya, namun yang ada dalam ingatannya hanya 1 orang musuhnya. Ternyata, kebaikan yang diterima meski seluas alam semesta akan dilupakan. Hanya setetes kesalahan yang selalu jadi ingatan. Demikian rugi manusia yang memiliki penyakit hati seperti ini. Bila 99 kebaikan sesama dilupakan, apatah lagi Zat Yang Maha Pemberi akan ikut dilupakan, na’uzubillah.
Kelima, Merasakan diri berilmu atau ahli ibadah paling tinggi (tekun) dan benar, sehingga memandang rendah ilmu dan ibadah orang lain yang dianggap salah. Meski menuntut ilmu menjadi kewajiban, namun merasa paling berilmu sebaiknya dijauhkan. Meski berbuat benar sangat diperlukan, namun merasa paling benar perlu disingkirkan. Memiliki kuasa memang dibenarkan, namun bisikan dan rayuan kuasa perlu kewaspadaan. Untuk itu, Allah mengingatkan agar manusia tidak jumawa atas ilmu yang dimiliki. Firman Allah : “….dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit“ (QS. Al-Isra’ : 85).
Demikian pula firman Allah : “Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh, akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh, Dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridai. Dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka (tetap) menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apa pun. Tetapi barangsiapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik” (QS. an-Nur : 55).
Demikian nyata tuntunan Allah, namun demikian nyata pula “perlawanan” manusia atas ayat Allah melalui prilaku fasiq akibat rohani yang mengalami sakit.
Keenam, hati dan akal yang tertutup pintu kebenaran memerintahkan lidah, tangan, dan anggota tubuh lainnya untuk gesit mencari dan membuka aib sesama, namun lupa atas aib diri yang menganga lebar dan tinggi menggunung. Hal ini diingatkan Allah dalam firman-Nya : “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (QS. Qaaf : 18).
Perintah lidah (berikut anggota tubuh lainnya) tersebut berdasarkan gerak hati yang dimunculkan oleh jasmani. Bila hati mengalami penyakit, maka muncul gerak jasmani yang negatif. Bila hati sehat dalam cinta-Nya, maka akan muncul gerak jasmani yang positif. Sehat atau sakitnya hati terlihat dari perilaku zahir yang dimunculkan. Hati yang menggerak-kan lidah berkata paling kaya dan berprestasi, namun miskin dalam tindakan dan perbuatan. Sungguh lidah besar pengaruhnya. Bila lidah terbangun dari hati yang sehat, seluruh ucapan akan menyejukkan. Namun, bila hati meng-alami persoalan, maka wujud ucapan akan menyakitkan.
Ketujuh, lidah berbisa ketika mengkritik, namun dirinya tak pernah siap bila dikritik. Bila berhadapan pada “punggawa” atau pundi-pundi, meski terlihat nyata kesalahan yang dilakukan, namun lidah kelu memunculkan kebenaran. Sebaliknya lidah menari lincah membenarkan kesalahan dengan retorika pujian melambung tinggi menembus awan. Namun, bila pada lawan, mata tajam mencari kesalahan sesama melampaui tajamnya mata elang yang sedang mengintai mangsa. Bahkan kata-katanya demikian pedih melampaui sayatan seribu sembilu.
Subyektivitas terus terjadi ketika melihat kesalahan diri, kolega, atau punggawa (dengan kepentingan). Ia hadir bagai makhluk tak bermata dan tak bertelinga. Semua tertutup oleh ego dan kepentingan dengan tingkat “kerakusan” tinggi. Sungguh naluri manusiawi sangat mudah memberikan kritikan, apatahlagi bila yang diinginkan tak diperoleh. Namun, bila apa yang diinginkan telah diperoleh, lidah kelu membisu dan terbelenggu. Hanya yang muncul kata sanjungan munafik, meski sadar atas sanjungan yang disampaikan hadir tak pada tempatnya.
Bijaklah memberi kritik dalam kesantunan dan memuji dalam kebenaran dan kepatutan. Sebab, kebenaran diterima bila disusun dan disampaikan dalam kesantunan. Namun, bila kesantunan telah sirna, tergelincirlah diri pada kerendahan budaya. Hati yang sehat akan melahirkan sosok yang lebih melihat kelemahan diri dan sedikit melihat kelemahan orang lain. Di sisi lain, ia akan sedikit melihat kelebihan diri dan memperbanyak melihat kebaikan orang lain.
Kedelapan, senantiasa mencari sisi kesalahan orang lain, bahkan berusaha merekayasa agar dicari kesalahannya. Namun, pada saat bersamaan tak pernah peduli (bahkan tak mengakui) kesalahan yang dilakukannya. Padahal, kesalahan yang dilakukan terlihat nyata. Busuknya bangkai dirinya seakan tertutup, meski ditutup dengan “sehelai daun ilalang”. Akibatnya, diri merasa paling benar dan suci, meski dalam keseharian ternyata senang berbuat kesalahan dan kezhaliman, serta “bangga” melakukan pelanggaran hukum yang harusnya dijaga dan ditegakkan. Namun, karena “kuasa dan atribut” yang ada pada diri, apalagi derita penyakit hati yang kronis, semakin tak mampu untuk melihat kebaikan. Hanya kesalahan sesama yang terlihat demikian nyata. Bak kata pepatah Melayu menyebut “tungau diseberang lautan terlihat nyata, namun gajah dipelupuk mata tak pernah terlihat.” Kesalahan kecil manusia terlihat jelas, sementara kesalahan diri (atau kolega) yang menggunung justeru tak pernah dilihat. Sifat manusia yang demikian dinyatakan Allah secara jelas melalui firman-Nya : “Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka telah tertutup, dan mereka akan mendapat azab yang berat” (QS. al-Baqarah : 7).
Bahkan, mereka yang terindikasi menghidap penyakit hati (rohani), secara tegas dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “…mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS. al-A’raf : 179).
Meski ayat Allah demikian jelas, namun manusia yang dijangkit penyakit hati tak pernah peduli, bahkan mengingkari. Kebutuhan “pundi-pundi” telah menutup hatinya dari kebenaran. Padahal, pundi-pundi dan kepentingan dunia yang diterima merupakan bongkahan api neraka yang akan membakar diri dan semua yang menikmatinya.
Sungguh, tak ada manusia yang sempurna, selain Nabi Muhammad SAW. Untuk itu, jangan memandang diri paling sempurna atau benar. Jangan pula memandang orang lain dengan penilaian sebaliknya. Sebab, bila Allah membuka hijab mata manusia melihat aib diri, maka akan terlihat wajah manusia sesuai dengan prilakunya. Ketika itu, mungkin diri sendiri tak akan ada yang sanggup memandangnya, apatahlagi manusia lainnya. Demikian besar peranan hati agar selalu sehat. Namun tak banyak yang ambil peduli. Semua sibuk melakukan pengecekan kesehatan jasmani, namun alpa melakukan pengecekan atas kesehatan rohaninya. Padahal, jasmani dan rohani bagai dua sisi mata uang yang saling berhubungan. Bahkan, penggerak utama jasmani tergantung kualitas rohani. Lalu, sudahkah setiap diri melakukan tes terhadap kesehatan rohani masing-masing diri dengan standard ajaran agama ? Tentu semua-nya tergantung kejujuran setiap diri atas tes yang dilakukan. Atau, sosok diri yang enggan melakukan tes karena sebenarnya takut bila terdeteksi bahwa rohaninya memang sedang mengalani sakit kronis, bahkan mungkin pada stadium akut dan menakutkan. Entahlah… Tentu bagi “mentimun” yang dizalimi hanya mengembalikan semua pelaku kezaliman pada Allah pemilik Pengadilan Yang Maha Agung. Sebab, bagi pemilik hati yang sehat akan menyadari tak ada haknya menghakimi sesama hamba. Semua diserahkan pada Allah yang akan mengadili dan menjatuh-kan putusan-Nya.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 27 Pebruari 2023