Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Para tamu Allah mulai berdatangan dari seluruh penjuru dunia menuju baitullah, menyempurnakan pelaksanaan rukun Islam yang kelima. Haji Indonesia tahun 2023 mengusung misi“ramah lansia” karena mayoritas tamu Allah berusia lanjut dan memerlukan perhatian khusus. Kebijakan strategis dilakukan agar misi keummatan dapat berjalan secara maksimal. Sungguh mulia kebijakan yang dilakukan untuk memfasilitasi dhuyuf ar-rahman selama menjalani ibadah di haramain. Namun, kebijakan yang dilakukan jangan menghilangkan substansi untuk memperkenalkan hamba terhadap kekuasaan Allah melalui hamparan rangkaian pelajaran selama beribadah. Hal ini merujuk firman-Nya : “Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia, ialah (Baitullah) yang di Mekah yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam” (QS. Ali Imran : 96).
Namun, pemaknaan baitullah perlu dipahami secara tepat agar tidak salah atau tergelincir menempatkan maksud yang sebenarnya. Baitullah dalam makna yang lebih luas sebagai tempat yang dimuliakan Allah, bukan “rumah” sebagaimana kebutuhan manusia. Sebab, Allah tak memerlukan tempat (rumah Allah). Hal ini merujuk pada firman-Nya : “Di sana terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam” (QS. Ali Imran : 97).
Sungguh, baitullah menyimpan misteri dan mengungkap nyata kebenaran ajaran Islam. Misteri yang terkadang tak mampu dilogikakan dan di luar nalar manusia. Tapi, semua mengandung kebenaran kuasa Ilahi yang tanpa batas dan demikian jelas.
Meski dalam beberapa kitab fiqh disebutkan bahwa makna istitho’ah pada aspek biaya (bekal), kesehatan (jasmani dan rohani), dan keamanan melakukan perjalanan. Namun, pada tataran realita ketiga makna istitho’ah tersebut tak selama-nya menghantarkan manusia bisa berkunjung ke baitullah dan menempatkan diri sebagai tamu Allah (dhuyuf ar-rahman) dalam makna jasad. Tak sedikit mereka yang kaya raya berlimpah materi tapi tak pernah muncul keinginan dan kelapangan waktu untuk menuju baitullah, justru si papa yang harap pinta namun sampai di baitullah. Tak sedikit yang sehat dan diberi kelapangan tak sempat berkunjung, namun hamba yang tertatih-tatih justeru berkesempatan bersimpuh di depan baitullah. Tak sedikit pula yang negaranya dilanda kerusuhan dan peperangan berkepanjangan, namun tetap semangat menuju baitullah. Rindu berkunjung baitullah tiada bertepi. Meski antrian panjang harus dilalui, tak pernah menyurutkan keinginan hamba untuk meraih undangan Allah. Tak perduli berapa biaya yang harus dikeluarkan, asal undangan sebagai tamu Allah dapat diperoleh. Semua dilakukan atas keimanan, pengharapan, dan keikhlasan hati untuk mengenal dan ingin dikenal oleh Allah SWT. Meski tak sedikit yang telah “berinvestasi” untuk ke baitullah, namun tak bisa berkunjung karena kondisi fisik yang semakin melemah atau telah “dijemput” oleh Allah kepangkuan-Nya. Melalui keikhlasan hamba yang kenal dan ingin dikenal Allah, semua “investasinya” tercatat penduduk “langit” dengan tinta emas. Sungguh, terbukti “investasi” pada Allah tak pernah mengurangi kebutuhan manusia dalam hidupnya, bahkan akan mengalami penambahan dan kecukupan.
Namun, anehnya ada sebagian hamba yang masih berhitung untuk “berinvestasi” dengan Allah. Biaya untuk ke baitullah masih dihitung keuntungannya bila digunakan modal bagi kehidupan dunia. Akibatnya, ia akan mengalami kerugian di dunia karena berhitung dengan Zat Yang Maha Pemberi dan tak mendapat kesempatan menjadi tamu-Nya.
Sungguh, baitullah memiliki misteri yang tak bisa dilogikan, namun bisa dibuktikan secara nyata. Ada beberapa misteri baitullah yang alpa dari perhatian dan kajian hamba, yaitu :
Pertama, Berkunjung ke baitullah hanya untuk “tamu” yang memperoleh undangan-Nya (dhuyuf ar-rahman). Logika sederhana, setiap seseorang memperoleh undangan disebabkan 2 (dua) alasan, yaitu : (1) dikenal oleh yang mengundang. (2) diingat oleh yang mengundang. Kedua alasan ini menjadi penyebab seseorang memperoleh suatu undangan.
Namun sebaliknya, bila kedua alasan di atas bersifat terbalik (tidak dikenal dan tidak diingat), maka apa pun statusnya tak akan pernah memperoleh undangan atau diundang. Logika sederhana ini menjadi media muhasabah diri atas misteri baitullah. Meski berkunjung ke baitullah bukan sebatas untuk menunaikan ibadah haji yang waktunya terbatas, tapi pada ruang yang lebih luas untuk melaksanakan ibadah umrah. Intinya, hadir ke baitullah merupakan tamu Allah (dhuyuf ar-rahman) yang penuh misteri.
Bila makna tamu sebagai undangan pada konteks logika di atas, semestinya misteri baitullah mampu menghancurkan kesombongan diri, tercurah cucuran air mata kehinaan, dan sedih tiada terperi. Sebab, mungkinkah Allah tak lagi kenal dan lupa pada hamba yang mungkin selama ini lupa dan tak kenal pada Allah. Sebab, limpahan harta, sehatnya jasmani, dan keamanan perjalanan, ternyata belum mampu memperoleh “undangan Allah” ke baitullah. Mungkin Allah tak kenal atau lupa pada hamba yang telah lupa pada-Nya. Bila hal ini terjadi, maka upayakan untuk memperkenalkan diri sebagai hamba-Nya dan selalu mengingat Allah dalam setiap hentakan nafas. Sebab, dalam sebuah hadis qudsi dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda : “Allah berfirman sebagai berikut : ‘Aku selalu menuruti persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Apabila ia berprasangka baik, maka ia akan mendapatkan kebaikan. Adapun bila ia berprasangka buruk kepada-Ku, maka dia akan mendapatkan keburukan” (HR.Tabrani dan Ibnu Hibban).
Demikian jelas hadis qudsi di atas. Ketika hamba ikhlas mengingat Allah setiap waktu, maka Allah akan mengingat hamba. Ketika manusia senantiasa memperkenalkan diri sebagai hamba-Nya, maka Allah akan mengenalnya sebagai hamba. Ketika hamba mengingat dan memperkenalkan diri-nya pada waktu bersamaan, maka Allah akan mengingat dan mengenalnya. Jangan sampai pilihan justeru sebaliknya, mengingat Allah sebatas trend atau berharap status dan mengenal Allah ketika berada pada kesempitan semata.
Meski demikian, ternyata tak semua manusia yang hadir di baitullah merupakan “tamu” yang diundang oleh Allah. Logika sederhana, setiap undangan (pesta umpamanya) bertuliskan nama yang diundang. Namun, ada sebagian yang hadir justeru mereka yang namanya tak tercantum pada undangan. Ia hadir karena beberapa alasan, antara lain “mendompleng” pada tamu yang diundang, mengganti nama pada undangan dengan namanya, “membeli” undangan, atau cara lain agar ia bisa masuk pada pesta yang digelar. Ia tak peduli apa yang dilakukan akan mengambil “hak hidangan” tamu resmi lainnya. Cara ini merupakan langkah tidak bijak, baik si pemberi atau si penerima “undangan palsu” dan menunjuk-kan karakter asli sebenarnya.
Padahal, ketika bertemu “tuan rumah” yang mengundang, ia tetap akan “tak dikenal atau tak diingat” oleh pemilik hajat (pengundang). Hilang sudah rasa malu, hanya muncul dominasi “rasa mau” sebatas hadir. Wajar bila model tamu seperti ini tak mampu memetik “manisnya hidangan” sebagai dhuyuf ar-rahman dan tak pula membekas pada karakter dirinya setelah kembali. Bila menjadi tamu Allah telah mengambil hak “tamu yang sebenarnya”, maka semakin kentara dalam realita dan tega pula mengambil hak sesama di luar konteks ibadah dan di luar baitullah. Untuk itu, sebaiknya tunggulah undangan yang diperuntukkan Allah untuk diri, tanpa mengambil kesempatan tamu-Nya yang lain.
Kedua, Magnet berkunjung ke baitullah, bukan karena bangunan baitullah, tapi magnet pada Allah Yang Maha Pencipta atas bangunan yang dimuliakan-Nya. Sebab, baitullah hanya sebatas makhluk. Namun, ia menjadi mulia disebabkan karena dimuliakan oleh Yang Maha Mulia. Demi-kian pula atas hajar aswad (batu hitam) sebagai makhluk yang dimuliakan-Nya dan dicium oleh Rasulullah SAW.
Sungguh, jadikan kerinduan terhadap baitullah sebagai tangga menuju kerinduan pada Yang Menciptakan Baitullah. Motivasi hamba yang merindukan ketika diri mampu terpilih menjadi tamu Allah akan merasakan getar kebesaran Allah, dikenal dan diingat oleh Allah, dan senantiasa tunduk pada aturan Allah. Merugilah hamba tatkala terpilih menjadi tamu Allah, namun tidak bijak “memanfaatkan dan berprilaku” yang tidak menunjukkan diri sebagai “tamu Allah” yang semestinya. Merugikah bila masih tersisa keangkuhan, masih terbawa status dan derajat, kokoh bangunan sifat asli yang tak kuasa ditutupi, berharap dilayani tanpa ingin melayani, terbiasa berhura-hura tanpa rasa haru, menguatkan sisi kemunafikan, sebatas membayar hutang dosa dengan harap digandakan amal selama di haramain, sebatas memperoleh status sosial dengan predikat pernah ke baitullah, atau sifat keliru lainnya.
Beruntung hamba yang bijak menjadi tamu Allah yang menjaga akhlak layaknya sebagai tamu-Nya. Hadir dengan kesyukuran, munajat harap dengan air mata bercucuran dan penuh penyesalan, bersimpuh tunduk atas semua kesalahan, hadir jasmani dan rohani menyatu pada satu tujuan penghambaan, serta melihat semua hamparan haramain wujud dialog diri dan Ilahi. Setiap nafasnya berisi pujian dan kesyukuran, setiap kesempatan diisi untuk mengakui kesalahan diri memohon ampunan Ilahi, dan setiap aktivitas amaliah tak bertujuan memperoleh pahala namun berharap meraih cinta-Nya.
Ketiga, Rangkaian sebagai tamu Allah perlu ditopang istitho’ah ilmu yang menopang dan memberi arah ketundukan yang harus dilakukan. Ketika memakai ihram bukan sebatas berganti penutup lahiriyah, ucapan talbiyah bukan nyanyian yang “dipermainkan”, thawaf bukan sebatas berjalan mengelilingi ka’bah, mencium hajar aswad bukan untuk dibanggakan atau berdampak menyakiti sesama, melihat maqam Ibrahim bukan sekedar selfi untuk dipublikasi, memasuki hijir Ismail bukan sebatas ingin berdoa di bawah talang emas, shalat sunat thawaf bukan sebatas shalat sunat biasa, minum air zam-zam bukan sekedar minum air mineral, aktivitas sa’i bukan sekedar jalan-jalan lintasan antara bukit shafa dan marwah, serta tahallul bukan sebatas menggunting beberapa helai rambut.
Semua aktivitas memiliki makna dan tujuan bagi kehidupan. Membangun karakter peduli sesama (tidak egois), napak tilas perjuangan para nabi dan rasul dalam mengemban amanah Allah, serta melihat keagungan Allah dan membangun kerinduan pada-Nya. Bahkan, memakai ihram pertanda mengingatkan kematian yang hanya memakai kain putih. Ketika ihram dipakai, pada waktu yang sama “matikan nafsu duniawi” yang membuat terhijabnya diri merasakan kebesaran Ilahi.
Aktivitas thawaf yang berputar terbalik arah jarum jam simbol naiknya rindu dan harap hamba, serta mengajarkan hidup pada jalan Ilahi agar derajat terangkat naik pada-Nya. Berbeda dengan gerak arah jarum jam mengarah ke bawah yang pada waktunya kembali ke tanah (kematian). Menyingkap makna, merasakan demikian pelajaran yang ingin disampaikan pada manusia.
Karena para jamaah merupakan tamu Allah, maka sangat beruntung hamba yang diamanahkan untuk “melayani tamu Allah”. Amanah yang tentu bukan sebatas “hadir dan ada” atau sekedar melaksanakan rutinitas, tapi “memberikan kenyamanan, kemudahan, dan kebahagiaan” pada tamu Allah dengan penuh keikhlasan. Tentu semua sesuai tugas dan fungsi para utusan yang diamanahkan untuk melayani tamu Allah. Namun, merugilah bila para utusan justeru menempatkan diri pada posisi minta dilayani oleh jamaah (tamu Allah). Posisi terbalik yang tentu akan dipertanggung-jawabkan dihadapan-Nya kelak.
Keempat, Tanah haramain (Mekah dan Madinah) menjadi bukti wilayah yang disucikan dan dilindungi oleh Allah. Hanya hamba yang mensucikan diri sebelum menuju tempat yang suci dan senantiasa memohon perlindungan Allah akan menikmati (memperoleh) kesucian dan perlindungan Allah. Bangunan kesucian diri atas niat yang ditanam dalam diri. Pengakuan atas semua dosa dengan taubat an-nasuha, serta kesucian atas jasmani dan biaya yang digunakan. Alangkah salah bila menghadirkan hamba yang bukan haknya menuju haramain. Sebab, semua akan diperlihatkan oleh Allah atas kebijakan yang diambil. Sebab, janji Allah adalah kepastian dan Allah tak pernah ingkar janji.
Kelima, Baitullah menjadi saksi karakter diri yang sebenarnya. Sungguh, tanah haramain akan memperlihatkan “video karakter diri” yang sebenarnya. Karakter positif dan negatif yang hadir. Aib hamba yang diperlihatkan bukan untuk dibuka atau diceritakan, namun jadikan i’tibar bagi memperbaiki diri. Sementara aib diri tak perlu dicari kambing hitam atas apa yang terjadi, namun jadikan bentuk peringatan Allah atas karakter asli yang selama ini disembunyikan. Adapun bila diperoleh karakter baik, maka bukan untuk di-banggakan, tapi mohon pada-Nya agar terpelihara dan abadi. Bagi pemilik karakter negatif bukan untuk dihina dan malu, tapi jadikan bentuk cinta-Nya agar diperbaiki dengan adab mulia. Mumpung masih diberikan waktu untuk memperbaiki.
Sungguh, karakter yang terpancar sesungguhnya muncul oleh gerak dalam diri yang tersembunyi (positif atau negatif) yang tak “tertampung dan terbendung” dalam diri. Semua terpampang bagai “video klip” yang ditayangkan Allah di Padang Mahsyar kelak. Meski demikian nyata, namun manusia acapkali menafikan dan menyembunyikan apa yang diperlihatkan Allah pada setiap hamba.
Meski demikian jelas makna dan tujuan menuju baitullah, namun acapkali manusia tak mampu lepas oleh ikatan kebiasaan dan status sosial yang dimiliki. Akibatnya, hilang penghambaan, tegak kokoh “keangkuhan”, terbenam tawadhu’ oleh gemerlap euforia keduniaan, pupus kesabaran, hadir ego diri, atau sifat negatif lainnya. Padahal, diri masih berada di haramain namun karakter aslinya lepas tanpa kendali, sehingga tak mampu menyentuh “jamuan Allah dan Rasul-Nya”. Ketika di haramaian saja karakternya demikian pongah dan menghalalkan segala cara, apatahlagi bila jauh dari haramain. Merugilah hamba yang hanya mampu menghadirkan fisik, namun tanpa ruh di baitullah. Berbahagia dan beruntung bagi hamba yang mampu menghadirkan fisik dan ruhnya secara bersamaan. Mereka akan menjadi tamu-Nya untuk menikmati kelezatan “jamuan” yang dihidangkan Allah dan akan mampu mengungkap rahasia misteri baitullah.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 5 Juni 2023