Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Pergantian siang dan malam merupakan keniscayaan alam yang senantiasa tunduk pada sunnatullah. Pergantian waktu seiring detak jarum jam yang terus berputar. Demikian bumi dan seluruh isi alam semesta ikut berputar pada setiap sumbunya. Hanya saja, seluruh isi alam semesta berputar berlawanan arah dengan perputaran jam. Ternyata, elektron berputar mengelilingi dirinya lalu mengelilingi nucleus (inti) atom dengan arah putar yang sama dengan ketika manusia melakukan thawaf di baitullah.
Dengan mengaplikasikan arah berputar pada ibadah tawaf, ternyata alam semesta mampu menghasilkan gelombang elektromagnetik yang sangat besar. Putaran arah berlawan-an jarum jam mampu menghasilkan energi (tenaga) yang bergerak naik ke arah atas. Untuk itu, secara ilmiah dapat dibuktikan kebenaran ajaran Islam bahwa berdoa di ka’bah sangat mustajab. Sebab, kekuatan doa menjadi berlipat kali ganda oleh energi gelombang elektromagnetik yang dihasil-kan hamba yang melakukan thawaf. Sungguh, pergantian siang dan malam menandai pergantian waktu. Pergantian detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun. Ternyata, semua alam semesta berotasi (berputar) pada sumbunya dan melakukan thawaf untuk mengagungkan Sang Pencipta. Penghambaan alam semesta pada aturan-Nya membuat alam bergerak teratur, tanpa benturan atau gesekan.
Bila penetapan pergantian tahun masehi ditandai pada tengah malam, maka penetapan pergantian waktu dalam Islam ditandai sejak matahari terbenam di ufuk barat. Seiring pada waktu pergantian malaikat menjaga manusia dan alam semesta. Hal ini merujuk pada sabda Rasulullah SAW : “Di antara kalian ada malaikat yang bergantian pada waktu malam dan siang, mereka berkumpul ketika shalat fajar (Subuh) dan shalat Ashar. Lantas malaikat yang bermalam naik dan Tuhan mereka menanyai mereka (meskipun Allah paling tahu terhadap mereka), bagaimana kalian tinggalkan hamba-hamba-Ku ? Jawab para malaikat, Kami tinggalkan mereka dalam keadaan shalat, dan kami datangi mereka juga dalam keadaan (mendirikan) shalat” (HR. Bukhari dan Muslim).
Islam memiliki 4 bulan yang memiliki keistimewaan, yaitu : bulan Muharram, Dzulhijjah, Rajab, dan Dzulqa’idah. Keutama-an bulan-bulan tersebut diabadikan dalam firman-Nya : “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) ketetapan Allah (di Lauh Mahfuz) pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu padanya (empat bulan itu), dan perangilah orang-orang musyrik semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa” (QS. at-Taubah : 36).
Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa pada bulan-bulan tersebut dilarang berbuat aniaya terhadap diri, apatahlagi pada sesama. Sebab, bila manusia berbuat dosa pada bulan-bulan tersebut, maka sanksinya jauh lebih berat dibanding hari-hari lainnya. Hal ini dinisbahkan sebagaimana perbuatan maksiat yang dilakukan di haramain. Untuk itu, Rasulullah menganjurkan umatnya untuk melaksanakan puasa sunnah pada bulan Muharram. Hal ini merujuk pada sabdanya : “Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah (Muharram). Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam” (HR. Muslim).
Secara historis, nama bulan muharram berarti “bulan yang diharamkan”. Sebab, dalam tradisi bangsa Arab, pada bulan muharram diharamkan melakukan peperangan. Demikian kebiasaan bangsa Arab tempo dulu yang menetapkan bulan-bulan peperangan dan bulan-bulan gencatan senjata. Pada sisi lain, bulan muharram memiliki keistimewaan karena disebut juga sebagai bulan Allah (syahrullah). Sebutan ini disandarkan pada lafazh jalalah Allah. Demikian dijelaskan Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
Bila merujuk pada tradisi Arab jahilyah di atas, ternyata manusia era modern terkadang lebih jahiliyah. Bila Arab jahilyah tradisi gencatan sejata dilakukan terhadap musuh, namun manusia modern menabuh genderang perang dan permusuhan justeru dengan sesamanya (seagama dan sebangsa), tanpa gencatan senjata dan perdamaian. Sungguh aneh fenomena yang ada. Sikap yang justeru dilakukan kaum (konon) terpelajar, namun berpikir dan berprilaku bagai manusia terkebelakang melampaui kaum jahiliyah, bahkan lebih brutal ketimbang primata yang paling kejam. Ternyata benar apa yang diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Katakanlah, ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui ?’ Sesungguhnya orang yang berakal yang dapat menerima pelajaran” (QS. Az-Zumar : 9).
Keutamaan lainnya, bulan muharram memiliki hari Asyura, yaitu hari yang sangat istimewa dalam Islam. Ketika tiba hari Asyura (10 Muharram), umat Islam disarankan untuk ber-puasa sehari sebelumnya (puasa tasu’a). Puasa ini dijadikan sebagai pembeda atas cara merayakan datangnya hari Asyura oleh umat Yahudi dan Nasrani dengan cara pesta.
Dalam kitab al-Nawadzir yang ditulis oleh Syekh Syihabuddin bin Salamah Al-Qolyubi, disebutkan bahwa pada bulan muharram, Allah SWT telah mengangkat derajat 10 orang nabi-Nya, yaitu nabi Adam, Idris, Nuh, Ibrahim, Daud, Sulaiman, Ayub, Yunus, Yakub, dan Isa. Demikian keistimewa-an bulan muharram yang seyogyanya tak dilewatkan berlalu tanpa amaliah. Eksistensinya bukan sebatas pertanda tahun baru hijriyah, tapi lebih pada dimensi substasi yang dimiliki bulan muharram yang disediakan Allah bagi hamba-Nya.
Terlepas dari keistimewaan bulan muharram dan gerak alam semesta yang terus berputar dengan gerak thawaf, serta perputaran jam yang berbeda arah. Keduanya terdapat i’tibar (pelajaran) berharga bagi manusia yang berakal, antara lain :
Pertama, Gerak thawaf dalam arah gerak naik ke atas menandai gerak hamba menuju Allah Yang Maha Agung. Gerak menuju kemuliaan dan kebaikan. Gerak manusia ke arah kebenaran, kebahagiaan, keshalehan, keikhlasan, dan varian kebaikan lainnya menuju kemuliaan yang telah dijanjikan-Nya. Gerak hamba untuk lebih mengenal dan menikmati setiap munajat, serta terbangun kerinduan dalam komunikasi dengan Sang Khaliq. Gerak yang demikian tentu terbangun tatkala hamba senantiasa melaksanakan fungsi kemanusiaan dan sadar atas penghambaannya sesuai ajaran agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Bila gerak yang demikian mampu dilakukan, maka kemuliaan akan diraih dan kehadirannya akan ditunggu oleh penghuni langit. Meski mungkin karakter hamba yang demikian tak diharapkan oleh penghuni bumi.
Kedua, Gerak jarum jam dalam arah gerak menurun menandai gerak kehidupan yang akan kembali ke asal kejadian. Geraknya bagai mata bor yang menghunjam ke bawah. Bila manusia hidup berkiblat pada jam, maka ia akan menuju kehinaan dan melupakan Allah Yang Maha Kuasa. Ia hanya akan berfikir dan beraktivitas meraih kemuliaan keduniaan dengan menghalalkan segala cara. Kemuliaan dan kemewahan menjadi tujuan. Aktivitas hanya mengejar dunia, tanpa kenal lelah dan bersalah. Padahal, ia sebenar-nya sedang menjemput kematiannya yang hina.
Islam mengajarkan ketika manusia melakukan ikhtiar agar memiliki kebahagiaan kehidupan yang baik di dunia dan akhirat. Namun, acapkali manusia hanya berusaha untuk mendapat kehidupan dunia tanpa mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat. Terkait hal ini, Allah mengingatkan melalui firman-Nya : “Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan (balasan) penuh atas pekerjaan mereka di dunia (dengan sempurna) dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh (sesuatu) di akhirat kecuali neraka, dan sia-sialah di sana apa yang telah mereka usahakan (di dunia) dan terhapuslah apa yang telah mereka kerjakan” (QS. Hud : 15-16).
Dalam Islam, aktivitas duniawi sangat dianjurkan sebagai pengejawantahan tugas kekhalifahan rahmatan lil ‘aalamiin di muka bumi. Tugas ini merupakan tugas umat Muhammad sebagai kelanjutan risalah Rasulullah (QS. al-Anbiya’: 107). Seluruh aktivitas yang dilakukan harus berdimensi peng-hambaan pada-Nya ((QS. az-Zariyat : 56). Bila tidak, maka manusia akan merugi pada derajat kehinaan (QS. al-Mujada–lah : 20). Untuk itu, buya Hamka pernah menyindir manusia yang memilih karakter arah jarum jam yang lupa pada arah thawaf, bahwa “kalau hidup sekadar hidup, maka babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja sekadar bekerja, kera di hutan juga bekerja.” Nasehat yang demikian sederhana memberikan pesan, hidup dan aktivitas duniawi perlu diisi dengan dimensi penghambaan kepada Allah. Aktivitas yang seyogyanya mengalami perubahan dalam bentuk peningkat-an seiring pergantian tahun dan semakin pendeknya waktu menjelang manusia memenuhi janjinya pada Allah.
Sebagai hamba-Nya, manusia memang diberi kenikmatan untuk hidup di dunia, memanfaatkan segala yang tersedia yang telah dianugerahkan-Nya. Namun, semua pilihan telah dituntun melalui ajaran yang disampaikan oleh baginda Rasulullah. Pilihan bijak akan mengangkat manusia pada kemuliaan dan keselamatan. Tapi, pilihan yang salah akan menghinakan dan menyengsarakan.
Sungguh, momentum muharram sebagai awal tahun baru hijrah bukan sebatas pergantian tahun, tapi memberikan pilihan pada manusia, apakah memilih mengikuti gerak alam yang senantiasa thawaf dan bertasybih mengikuti ajaran Rasulullah untuk mengagungkan Allah, atau memilih mengikuti gerak jarum jam sampai akhirnya menuju tempat peristirahatannya menuju tanah (kubur).
Hadirnya bulan muharram sebagai momentum pergantian tahun hijriyah seyogyanya menjadi media pengukur dan cermin diri atas apa yang dilakukan selama ini. Melihat kualitas diri sebagai hamba dan khalifah di muka bumi. Pilihan telah disampaikan oleh Rasulullah melalui sabdanya dan diingat-kan Allah melalui firman-Nya. Bila muharram dijadikan pilihan membangun hidup berdimensi thawaf, maka Allah akan mengangkat derajat hamba pada tingkat yang tinggi menjulang menjemput cinta Ilahi. Seluruh penduduk langit akan menantikan dan menyaksikan kehadirannya. Namun, bila muharam hanya sebatas pergantian tahun tanpa makna, maka pilihan ia akan memilih gerak jarum jam seirama dengan gerak mata bor yang menghunjam ke bawah (bumi). Penduduk bumi mungkin akan memuja, tapi penduduk langit justeru mencibir. Semua kemuliaan di bumi hadir selama Allah belum membuka aib dirinya. Ketika Allah membuka aib hamba, semulia apa pun status yang dimiliki, semua akan hilang berganti hinaan. Tak ada kemuliaan manusia yang abadi, kecuali kemuliaan yang Allah anugerahkan pada hamba-Nya yang terpilih.
Hadirnya muharram bukan sebatas menandai pergantian tahun hijriyah. Momentum muharram menjadi cermin melakukan evaluasi atas pilihan jalan yang diambil selama ini. Pilihan selalu diberikan Allah pada setiap manusia. Berbagai potensi kelebihan sebagai makhluk yang sempurna telah diberikan. Firman Allah (tertulis dan terbentang) dan sabda Rasulullah demikian jelas tanpa keraguan. Semua tergantung kualitas setiap manusia dalam memaknai muharram dan atas pilihan yang telah atau akan diambil.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 17 Juli 2023