Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Kebahagiaan dan iman merupakan kebutuhan manusia layak-nya kebutuhan atas oksigen. Dalam menjalankan kehidupan, manusia selalu menjadikan standard kebahagiaan pada melimpahanya materi, jabatan yang tinggi, luas dan besarnya kuasa, popularitas diri, titel yang berderetan (meski sebagian diberi atau “dibeli”), keluarga yang hebat dan terkemuka, atau standard material lainnya. Namun, apakah benar yang demikian merupakan standard kebahagiaan yang hakiki. Sebab, pada sisi material, bila hanya standard tersebut diJadikan tujuan, maka kebahagian hanya milik si kaya. Namun, ternyata tak sedikit pemilik kekayaan justeru yang menderita dan tak mendapatkan kebahagian. Bahkan, acapkali kaum miskn (secara materi) hidup bahagia meski dalam ketiadaannya. Secara disadari atau tak disadari, sifat ini menggiring hilangnya sisi kebahagiaan yang sebenarnya.
Ketika kebahagiaan disandarkan pada aspek kuasa, padahal ia telah kehilangan kemerdekaan diri. Semua gerak diri diatur dengan aturan protokoler yang mengekang. Bila kebahagia-an disandarkan pada jabatan, maka ia telah hilang keber-samaan dengan orang terdekat atas kesibukan atas tusinya. Bila kebahagiaan disandarkan pada titel yang dimiliki, maka ia telah hilang rasa malu ketika deretan titel tanpa karya dan tawadhu’. Ia bagaikan “ilalang tegak tanpa buah”. Sebab, manusia tak akan mampu meraih kebahagiaan ganda bila tertumpu pada dunia. Semua hanya diraih pada satu bagian dengan meninggalkan bagian yang lain. Bagai ingin menikmati rembulan di waktu malam dengan meninggalkan matahari atau menginginkan matahari di waktu siang dengan meninggalkan rembulan.
Kebahagiaan hakiki hanya ketika manusia meraih kualitas iman yang kokoh (‘abd) dan bermanfaat pada alam semesta (khalifah fi al-ardh). Iman bukan sebatas percaya pada rukun iman dan melaksanakan rangkaian aktivitas ibadah. Hakikat iman sebenarnya selalu berbaik sangka dan merindukan Allah SWT dengan melaksanakan perintah-Nya. Dengan demikian, setiap hamba yang beriman dan berbuah amal merupakan manusia yang paling bahagia. Sebab, ia yakin bahwa semua takdir dan apa yang diraih merupakan milik dan ditetapkan Allah untuk hamba-Nya. Zat yang Maha Adil dan mustahil menzalimi, Zat yang Maha Kaya dan mustahil miskin, Zat yang Maha Mengasihi tak mungkin membenci.
Jalaludin ar-Rumi pernah berpesan, bahwa hamba yang telah “patah hati” terhadap (fenomena) dunia akan memilih jalan “kesufian”. Ia akan mencintai semua takdirnya. Sebab, ia tau yang memberi dan menitipkan takdirnya adalah Zat yang selalu mencintainya. Pesan yang sarat makna. Bila hamba mampu meraih dimensi ridho atas ketetapan dan anugerah-Nya, maka tak akan ada lagi saling menyalahkan, tak ada lagi kata nistaan, tak ada lagi kata pujian kemunafikan, tak ada lagi kesombongan, tak ada lagi kezaliman, atau varian lainnya. Meski masih tersisa manusia yang tak menerima apa yang disampaikannya. Semua terjadi hanya disebabkan ketidak-mampuan mereka menangkap kebenaran-Nya.
Hamba yang beriman selalu berbaik sangka dan ridha atas semua yang ditakdirkan Allah pada-Nya. Semua takdir-Nya akan dijadikan sebagai media (jembatan) menuju cinta-Nya. Untuk itu, Rasulullah SAW mengingatkan melalui sabdanya : “Barangsiapa yang ridho (kepada ketentuan Allah), maka Allah akan ridho kepadanya” (HR. Tirmidzi).
Hanya hamba yang memiliki iman dan berbuah amal akan mampu meraih kebahagiaan. Ada beberapa upaya meraih kebahagiaan, antara lain :
Pertama, Miliki iman agar terbangun karakter yang amanah untuk terjaga keamanan (aman) hidup (vertikal dan horizontal). Pemilik iman yang membungkus sifat amanah melahirkan sifat integritas, melaksanakan tugas secara baik, dan senantiasa memberikan kebajikan pada seluruh alam. Sebaliknya, tanpa iman hakiki akan melahirkan pengkhianat-an dan berdampak kehancuran pada seluruh alam. Untuk itu, Rasulullah mengingatkan melalui sabdanya : “Tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki (sifat) amanah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati janjinya” (HR. Muslim).
Demikian jelas dan tegas hadis di atas sebagai pedoman manusia. Meski dalam tataran realita jelas dan tegas pula pembangkangan yang dilakukan segelintir manusia atas sabda yang disampaikan Rasulullah tersebut.
Kedua, Hindari keinginan yang melampaui batas. Sesuaikan batas kemampuan diri. Jangan meraih keinginan dengan melanggar ketentuan-Nya. Ukur kemampuan dan bungkus dengan harga diri berinti iman. Dengan harga diri sebagai timbangan, maka akan tumbuh rasa malu bila apa yang diraih tanpa kemampuan. Harga diri berdiri tegak bersandar iman yang terjaga. Harga diri bagai tonggak tanaman kacang panjang. Meski keinginan kacang panjang menjulang menembus awan, namun ia sadar batas (ukuran) tonggak yang tersedia untuk dijalarinya.
Pepatah mengingatkan agar manusia mengukur diri. Andai keinginan tinggi melampaui kemampuan, bagai “pasak lebih besar daripada tiang”. Sifat tercela ini diingatkan oleh baginda Rasulullah melalui sabdanya : “Barangsiapa yang memegang kuasa tentang sesuatu urusan kaum muslimin, lalu dia memberikan suatu tugas kepada seseorang, sedangkan dia mengetahui bahwa ada orang yang lebih baik daripada orang itu, dia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya, dan kaum muslimin” (HR. al-Hakim).
Ketiga, Hindari iri hati, dengki, dan buruk sangka. Sebab, hqidup perlu menciptakan ruang kompetisi untuk mengukur capaian atas apa yang dilakukan. Bagi manusia yang memiliki peradaban tinggi, kompetisi menjadi ruang evaluasi untuk tampil lebih baik. Tapi, bagi manusia barbar, kompetisi dianggap lawan yang harus dimusuhi, disingkirkan, dan dihancurkan. Pilihan antara kutub (standard) ideal sebagai bangsa pemilik peradaban atau justeru kutub bangsa berkarakter barbar ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sungguh, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. al-Baqarah : 148).
Keempat, Syukuri apa yang dianugerahkan Allah sebagai bentuk keikhkasan atas takdir-Nya. Menerima semua yang dihadirkan Allah sebagai bentuk amanah yang harus dilaksanakan dengan benar. Sikap ini akan mengundang nikmat-Nya yang lebih banyak. Demikian sebaliknya. Untuk itu, Allah SWT mengingatkan melalui firman-Nya : “Barang-siapa yang bersyukur akan Aku tambah nikmat-Ku, dan barangsiapa yang kufur maka azab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim : 7).
Kesyukuran bukan sebatas untaian lisan, tapi seiring dengan aktivitas yang menggunakan nikmat-Nya menuju cinta, dan ridha atas semua nikmat-Nya. Hamba yang memiliki kualitas ini akan sibuk mensyukuri nikmat-Nya dan menikmati kebahagiaan atas semua anugerah-Nya. Tak ada waktu baginya berkeluh kesah, membandingkan nikmat yang diperoleh sesama, apatahlagi merampas nikmat yang bukan haknya. Baginya, semua yang ada merupakan nikmat yang terbaik baginya menurut ketetapan Allah SWT.
Kelima, Biasakan hidup mempermudah urusan sesama, bukan mempersulit. Namun, apa yang dilakukan harus bersandar pada ketaatan atas aturan yang berlaku. Jangan memaksa untuk mempermudah urusan dengan cara melanggar aturan, menggerogoti, dan memfitnah sesama. Jangan memancing di air yang keruh, apatahlagi memantik amarah (kebencian) sesama. Manusia hidup diikat oleh agama dan aturan. Isi kehidupan yang beretika akan saling menghargai, bukan saling mencaci, membenci, dan meng-habisi. Meski setiap manusia memiliki hak dan kebebasan, namun kebebasan yang dibatasi oleh hak dan kebebasan yang dimiliki orang lain. Sadari hidup bagai jarum jam yang berdetak setiap saat. Jarum jam merupakan gambaran posisi manusia. Saatnya di atas, jangan lupa pasti pada waktunya akan berputar turun. Ketika jarum di bawah, kesempatan untuk naik akan ada bila waktunya tiba. Semua hadir silih berganti sesuai sunnatullah. Untuk itu, hidup bagai jarum jam. Ketika jarum di atas, jangan paksakan diturunkan ke bawah atau ketika di bawah dipaksakan naik ke atas. Bila hal ini dilakukan, maka mesin jam akan rusak, jarumnya akan patah, atau tangan akan terluka.
Hidup lebih indah bila sesuai sunnatullah. Bagai buah yang matang pada waktunya. Rasanya manis, ranum, dan harum. Beda bila buah yang dipaksa matang sebelum waktunya. Rasanya akan 11masam, tawar, dan tanpa bau apa-apa.
Keenam, Rajin bersedekah. Meski sedekah (materi, ilmu, tenaga, atau varian lainnya) dinyatakan dapat menolak musibah, namun perbuatan sedekah perlu diiringi keikhlasan (tanpa pamer dan riya’). Atau, berteriak mengajak orang lain bersedekah, namun yang mengajak berikap pelit. Dalam bersdekah, ingat nasehat petuah nenek moyang “ketika tangan kanan memberi, jangan sampai tangan kiri mengetahui”. Makna yang mengingatkan agar ketika memberi bantuan, sedekah, atau amaliah lainnya, jangan sampai muncul kesombongan dan riya’ atas apa yang diberikan (dilakukan). Bila hal ini dilakukan, maka seluruh amal yang diperbuat “bagai ember bocor”. Diawal terisi penuh, tapi ketika sampai ditujuan ternyata kosong. Sebab, ember yang berisi amal ternyata bocor oleh riya’ diri yang hanya ingin dipuji. Akibatnya, semua isi amal tumpah disepanjang jalan kehidupan.
Paling tidak, ketika keenam upaya di atas mampu menjadi warna karakter diri, maka akan hadir manusia yang mampu membangun peradaban nan bermartabat. Namun, bila kebalikan sifat tersebut yang menjadi warna karakter diri, maka hanya akan melahirkan manusia barbar yang hanya peduli pada kebutuhan diri atau ordal semata.
Bagi manusia yang memiliki iman dan kebahagiaan, tak tersisa sifat buruk sangka pada sesama dan (apatahlagi) pada Allah SWT. Gerak aktivitas (ikhtiar) diikat dengan niat untuk-Nya semata, dilakukan secara maksimal, dikomunikasi dengan Zat Yang Maha Kasih, dan ditambatkan pada “pohon” tawakkal yang kokoh. Semua takdir disyukuri tiada henti. Semua tersimpul keyakinan bahwa apa yang diperoleh merupakan bentuk cinta Allah pada hamba-Nya.
Demikian korelasi kebahagiaan dan iman sejati. Sungguh beruntung hamba yang memiliki kualitas keimanan akan menghantarkan manusia meraih kebahagian dan kebahagia-an hakiki akan diperoleh bila disandarkan pada iman. Korelasi yang berintegrasi bagai menyatunya air kopi yang penuh kenikmatan. Iman yang benar akan selalu menghadir-kan madu yang menyehatkan agar manusia meraih ke-bahagiaan. Sebaliknya, ketika iman telah sirna atau “diperjual-belikan” untuk kebahagiaan semu, maka tanpa disadari telah menyiapkan “racun” yang akan menyengsarakan dirinya.
Sungguh, hanya iman kunci meraih hakikat kebahagiaan dan dengan kebahagiaan (vertikal dan horizontal), maka manusia akan menemukan manisnya iman. Bila iman tak membumi dalam diri, hadir keresahan dan ketidakpuasan abadi. Ketika panas menginginkan hujan, tapi ketika hujan menginginkan panas. Ketika bersendiri menginginkan keramaian, tapi ketika keramaian menginginkan pula ketenangan. Demikian putaran ketidakpuasan mendera. Secara teori, kesemua hadir dan diinginkan ketika belum dimiliki. Namun, ketika tanpa iman, manusia keluar dari teori. Sebab, ketika sesuatu telah dimiliki, ia ingin menguasai dan tak ingin berbagi. Sifat ini menghantarkannya hanya memikirkan apa yang ada jauh didepannya, tapi mengabaikan apa yang sudah dimilikinya.
Bagi manusia yang bersandar pada iman, ia akan senantiasa mensyukuri dan qonaah atas apa yang dimiliki. Sebab, ia sadar tak akan mampu “tangan menggenggam dunia”. Ia hanya mengambil sedikit isi dunia sebatas ukuran genggam-an tangannya. Bahkan, tatkala semakin digenggam erat, maka semakin sedikit isi yang ada digenggamannya. Semakin erat genggaman, maka akan membuat isi dalam genggaman tumpah. Demikian wujud rezeki sesama atas apa yang digenggam.
Sungguh, oksigen kebahagiaan yang menjalari hidup pada akar iman akan melihat alam sebagai gambaran kebesaran-Nya. Mata dan hatinya akan melihat seluruhnya sebagai keindah-an dan kebaikan Allah semata. Sementara ketika iman telah punah (iman hakiki), hadir kekufuran atas nikmat yang ada. Mata dan hatinya tertutup. Akal dan nafsu menerawang menjemput hamparan imajinasi keburukan pada sesama, terutama yang dianggap lawannya. Alangkah merugi pemilik hati yang kelam. Ia telah tersesat dan tak mampu menemu-kan jalan kebenaran. Tak ada yang bisa menilai dan tau atas tingkat kebahagian dan iman yang dimiliki, kecuali hanya Allah SWT yang berhak menilai. Pada diri yang bersih tak pernah berhitung atas amal yang dilaku-kan. Dalam dirinya hanya hadir rasa rindu pada-Nya dan penghambaan yang lebih ditonjolkan. Sementara pada hati yang kotor, semua tampilan hanya untuk menutupi kebusuk-an diri. Dalam diri-nya, tak ada ruang yang bisa bersama dengan-Nya. Sangat merugi manusia seperti ini. Sebab, kelak ia akan dihinakan dihadapan Allah dan Rasul-Nya.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 18 Desember 2023