Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Pepatah klasik mengingatkan “mulutmu adalah harimaumu”. Pepatah ini seakan tergerus oleh hadirnya fenomena era digital dengan “jari-jarimu adalah pisau bermata tunggal yang berbisa”. Bahkan, eksistensinya bisa lebih berbahaya ketimbang bom atom yang meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki pada perang dunia II. Semua tergantung kualitas peradaban yang dimiliki. Bagi pemilik peradaban tinggi, “tarian jemari” akan mampu menghadirkan kebajikan dan ilmu pengetahuan. Sementara, bagi pemilik peradaban rendah(an), “tarian jemari” hanya menghantarkan diri bak parasit bagi peradaban dan nilai kemanusiaan.
Secara sederhana, parasit merupakan organisme yang hidup pada atau di dalam makhluk hidup lain (inang). Ia senantiasa menyerap nutrisi, tanpa memberi bantuan atau manfaat lain pada inangnya. Bahkan, parasit justeru menggerus nutrisi yang dibutuhkan inangnya. Sifat parasit ini akan berdampak pada kesehatan makhluk hidup yang ditumpanginya. Di antara contoh parasit seperti cacing dalam perut, protozoa plasmodium dalam darah, atau bentuk parasit lainnya.
Pada umumnya, parasit hanya dipahami sebatas dunia medis. Meski cukup berbahaya, namun sasarannya pada area terbatas. Padahal, ada parasit era modern yang lebih berbahaya sebagai penyebab kehancuran peradaban manusia. Area sasarannya luas tanpa batas (kemakhlukan). Parasit yang dimaksud adalah parasit digital. Parasit dalam bentuk pergunjingan keburukan dan penyebaran fitnah (hoax) melalui medsos. Bentuknya bisa dalam wujud menciptakan skenario dan olahan culas atau meneruskan informasi yang keliru secara masif. Akibat berita disebarkan secara masif, terbangun animo bahwa informasi yang disebarkan merupakan kebenaran. Kondisi ini diperparah tatkala penerima informasi memiliki sentimen atau “menelan mentah-mentah” tanpa cross check berita yang diterima.
Secara sederhana, parasitt yang berujung fitnah merupakan upaya menggiring dan menyatakan orang lain melakukan sesuatu keburukan. Padahal, orang yang dituduhkan tidak melakukan atau tidak sebagaimana hal yang dituduhkan kepadanya. Tujuannya untuk memberikan stigma negatif (merendahkan) atas suatu peristiwa atau personal lain berdasarkan atas fakta palsu yang dapat mempengaruhi kehormatan, wibawa, atau reputasi seseorang. Akibatnya, terpatri rasa kebencian, dendam kesumat pada sesama, dan terputusnya silaturrahim.
Sosok penyebar hoax pada dasarnya menunjukkan derajat yang hina dan sosok yang berfikir dangkal. Fitnah yang dilakukan menunjukkan ketidakmampuannya untuk berbuat atau capaian sebagaimana yang dilakukan oleh personal yang difitnah. Kompetisi bentuk ini merupakan pilihan pribadi nista tanpa peradaban dengan biaya yang murah. Bahkan, hadir fenomena yang lebih mengherankan bak pemain sepak bola. Meski pada saat pertandingan dilaksanakan, seluruh pemain dan penonton melebur pada rasa yang sama berupa keinginan dan emosi untuk menang. Namun, setelah usai “pertandingan” dilakukan, para pemain justru saling bersalam-an, berpelukan, bahkan bertukar jersey. Sementara tersisa emosi sesama penonton (pendukung) yang tetap ber-semayam dendam yang berlanjut di luar arena. Para pemain dan pelatih justeru duduk tersenyum sambil “minum kopi”, sementara penonton saling dendam hingga mati. Sungguh pemandangan miris yang dipertontonkan manusia ber-kepribadian rendah yang berselindung asesoris mulia. Untuk itu, Allah mengingatkan melalui firman-Nya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum merendahkan kaum (laki-laki) yang lain, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula suatu kaum (perempuan) merendahkan kaum yang lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik” (QS. al-Hujurat : 11).
Bila parasit bisa diobati dengan berbagai asupan obat secara medis dan vitamin, tapi parasit yang bernama fitnah dan “hitamnya hati” sulit diobati, kecuali dengan taubat nasuha. Sebab, fitnah adalah kezaliman pada sesama. Perilaku ini merupakan dosa yang paling rumit pemutihannya. Apatahlagi di era digital, ruang parasit dalam wujud fitnah menjadi pilihan profesi “menjanjikan” dan sengaja dipupuk atau “dipelihara” untuk tercapainya harapan dan tujuan yang diinginkan. Padahal, Rasulullah SAW telah bersabda : “Barang siapa memfitnah saudaranya (dengan tujuan mencela dan menjatuhkan kehormatannya), maka Allah akan menahannya di jembatan neraka jahanam sampai ia bersih dari dosanya (dengan siksaan itu)” (HR. Abu Daud).
Dalam perkembangannya, parasit dalam wujud fitnah dapat dikelompokkan pada 2 (dua) zaman, yaitu :
Pertama, parasit era tradisional (manual). Parasit era ini pada umumnya dibangun oleh kekuatan status sosial. Namun, Allah perlihatkan kuasa-Nya untuk menegakkan kebenaran dengan cara-Nya pula. Hal ini dapat dilihat pada fitnah terhadap nabi Yusuf yang dilakukan Zulaikha terselesaikan oleh hakim yang bijaksana atau fitnah terhadap Juraij yang dilakukan wanita pezina yang terselesai-kan oleh bayi yang bisa berbicara.
Hadirnya keadilan melalui supremasi hukum dan kuasa Allah melalui bayi yang mampu berbicara tentu hanya akan diterima dan didengar oleh manusia yang melakukan kebenaran. Namun, kebenaran tak akan pernah diterima dan didengar (meski firman Allah) oleh manusia yang tak pernah berbuat benar. Jadi, penerimaan benar dan salah tergantung pada kualitas setiap diri. Bagai kebenaran ajaran yang dibawa oleh Rasulullah. Isi kebenaran sama, namun bila berbeda antara kualitas Abu Bakar atau Abu Jahal, maka penerimaannya pun akan terjadi perbedaan pula.
Kedua, parasit era digital. Parasit yang dikemas melalui media sosial dengan ratusan variannya. Tujuannya mem-bangun sentimen negatif dan provokasi. Modelnya bisa dalam bentuk sumber pertama yang sengaja menyebarkan-nya dan dilanjutkan sumber selanjutnya yang tidak bijak untuk melakukan cross check (tabayyun) terlebih dahulu atas kebenarannya. Jaringannya bagai “model multi level marketing (MLM)” yang membangun jejaring sosial secara laten yang terstruktur. Anehnya, penyakit parasit digital menjadi trend yang digandrungi. Bagai penyakit medis, penyakit parasit digital menimpa pada semua lapisan strata sosial-ekonomi. Semua disebabkan menipisnya iman dan adab, bekunya hati sanubari, hilangnya akal sehat, dan punahnya sisi kemanusiaan.
Meski hadir tuntunan dari kalam Allah dan sabda Rasulullah, namun semuanya terkalahkan oleh keangkuhan kepentingan yang mendominasi diri. Akibatnya, sosok penasehat akan dimusuhi seiring kokohnya “kacamata hitam” yang membuta-kan pintu kebenaran. Sungguh, sejarah prilaku kehidupan manusia selalu berulang. Pembedanya hanya terletak pada masa, pelaku, isu, dan model parasit yang dipilih. Namun, substansi parasit tetap sama. Anehnya, pemilik karakter parasit lebih dipercaya, dilindungi, dan “dipelihara”. Karakter ini hanya disenangi dan berkumpul dengan sesama parasit.
Karakter parasit era digital perlu dipahami minimal dalam 2 (dua) bentuk, yaitu :
Pertama, pamer (riya’) atas apa yang dilakukan, dimiliki, atau dicapai. Dalam hal ini, Allah mengingatkan manusia melalui firman-Nya : “Ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai fitnah, dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar” (QS. al-Anfal : 28).
Dalam tafsir al-Misbah, Quraish Shihab menjelaskan makna fitnah pada ayat di atas berarti cobaan. Sementara Imam Fakhruddin ar-Razi (w. 606 H) menjelaskan, bila cobaan tak bisa dijaga, maka menjadi potensi penyebab munculnya pengkhianatan (kemunafikan dan kesombongan). Bagi pemilik karakter riya’, tak lagi tersisa kebaikan (amaliah). Semua tumpah bak seorang musafir membawa ember bocor yang awalnya penuh berisi air. Namun ketika sampai ditujuan ternyata ember telah kosong. Semua air berceceran disebab-kan embernya yang bocor. Demikian bila amaliah yang ber-basis riya’ untuk memperoleh pujian semata. Ia mungkin akan memperoleh pujian, namun tak pernah memperoleh ridha-Nya. Hal ini diingatkan Allah : “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan
menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena ria (pamer) kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu yang licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Mereka tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir” (QS. al-Baqarah : 264).
Parasit riya’ bisa menimpa siapa saja, tanpa mengenal status dan atribut. Semua dijual dan dipublikasikan dalam bentuk konten-konten, bahkan pada ruang privasi yang seyogyanya bukan untuk konsumsi publik. Tujuannya agar dirinya diakui dan dinilai hebat. Bila tujuan ini tercapai, harapannya agar dipuji dan memperoleh posisi yang lebih tinggi lagi.
Kedua, berupaya membuka dan mencari aib sesama, ter-utama terhadap lawan. Andai aib tak ditemukan, skenario drama diciptakan agar aibnya muncul atau dimunculkan. Andai aib tersebut benar, apakah ada jaminan yang mem-buka atau menemukan-nya bersih tanpa aib. Padahal Rasulullah mengingatkan : “Janganlah kamu mengumpat kaum muslimin dan janganlah membuka aib mereka. Barang-siapa membuka aib saudaranya, maka Allah akan membuka aibnya dan siapa yang dibuka Allah akan aibnya, niscaya Allah akan menunjukkan aibnya, meskipun dirahasiakan di lubang jarum” (HR. Tirmidzi).
Sungguh, Allah dan Rasul-Nya sangat membenci perbuatan menggunjing. Sebab, ketika bergunjing orang biasanya akan membuka aib dengan membicarakan keburukan sesamanya. Apatahlagi bila yang dipergunjingkan bermuatan fitnah yang “diadakan”, maka diri semakin nestapa. Sebab, ianya hanya akan menggerogoti seluruh amaliah yang ada. Meski penduduk bumi bisa ditipu oleh skenario yang dibuat, namun ia tak akan mampu menipu penduduk langit. Demikian nyata kerugian yang didera manusia berkarakter parasit. Hal ini sesuai sabda Rasulullah SAW : “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Namun ia juga datang dengan membawa dosa kezaliman. Ia pernah mencerca si ini, menuduh tanpa bukti terhadap si itu, memakan harta si anu, menumpahkan darah orang ini dan memukul orang itu. Maka sebagai tebusan atas kezaliman-nya tersebut, diberikanlah di antara kebaikannya kepada si ini, si anu dan si itu. Apabila kebaikannya telah habis dibagi-bagikan kepada orang-orang yang dizaliminya. Ketika belum semua kezalimannya tertebus, diambillah kesalahan yang dimiliki oleh orang yang dizaliminya lalu ditimpakan kepada-nya, kemudian ia dicampakkan dalam neraka” (HR. Muslim).
Meski demikian jelas firman Allah dan sabda Rasulullah, anehnya parasit digital menjadi trend melumpuhkan lawan. Bahkan, sepanjang sejarah menjadi parasit merupakan pilihan pofesi dan lahan mencari rezeki atau posisi. Sungguh pemandangan hina ini merupakan salah satu bentuk prilaku penghuni neraka yang dilihat Nabi Muhammad SAW pada saat isra’ dan mi’raj. Mereka hanya senang memakan daging busuk, padahal disampingnya ada daging yang segar namun tak diambilnya.
Jangkauan area pergunjingan era tradisional cukup terbatas dan penyebarannya memakan waktu. Sedangkan jangkauan area pergunjingan era digital sangat luas dan penyebarannya hanya hitungan detik. Kecepatannya bagai Jin Ifrit yang memindahkan istana Ratu Bilqis. Ternyata, meski ruang, komunitas, waktu, dan model fitnah atau pergunjingan pada kedua era ini berbeda, namun dampak kezalimannya tak pernah berbeda, bahkan lebih kejam dan keji.
Sungguh, pepatah menyebut “bagai menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri”. Pepatah ini perlu dimaknai dalam konteks yang luas. Bila dikaitkan dengan kebiasaan parasit, ada 3 (tiga) logika yang terbangun, yaitu :
Pertama, penyebar virus parasit adalah pemilik virus parasit yang sama. Logika ini seirama pepatah “maling teriak maling”. Asumsi ini diperkuat beberapa kasus yang terjadi, tatkala penegakan hukum justeru melanggar hukum. Bila logika ini dibangun, maka hadir asumsi “mengawali ketidakpercayaan pada pen-jaga kepercayaan agar timbul dan terjaga kepercayaan”.
Kedua, penyebar virus parasit adalah penderita yang sedang terserang parasit. Ia tak ingin ke neraka sendiri. Untuk itu, ia berupaya membawa manusia lain untuk menemaninya di neraka. Ketiga, bentuk skenario Allah membuka aib sang parasit yang selama ini ditutupi dengan kepalsuan atribut. Sebab, tak ada jaminan setiap diri memiliki imunitas atas virus parasit. Semua berpeluang terimbas, sebab serangan-nya begitu masif. Hanya manusia bijak dan beradab yang tetap “sehat” sebagai manusia. Bila kebijaksanaan dan adab telah tiada, maka sisi manusia telah sirna dan berganti menjadi parasit belaka. Untuk itu, jadilah bangsa pemilik peradaban bijak dan beradab, bukan peradaban barbar yang memilukan dan menghancurkan. Pilihan ada pada setiap diri sesuai kualitas karakter yang dimiliki.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 9 Oktober 2023