Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Dikisahkan, ada seorang raja yang kejam dan memiliki seekor harimau yang ganas. Keganasan harimaunya sangat terkenal dan ditakuti semua rakyat. Siapa yang menyinggung dan menentang sang raja, apalagi melakukan kesalahan, maka akan dihukum masuk dalam kandang harimau untuk menjadi santapan. Tak pernah ada yang berani melakukan pelanggaran, terutama menyinggung perasaan sang raja.
Adalah seorang perdana menteri yang jujur telah mengabdi, melayani, dan membantu sang raja selama 15 tahun. Telah banyak prestasi diraih, pembangunan negeri telah dikerjakan, kebaikan disebarkan, kebermanfaatan pada umat dan negara telah diberikan, serta membantu raja memakmurkan seluruh negeri. Namun, karena hadir “juru pembisik” sekitar raja yang sakit hati pada perdana menteri karena tak bisa diajak kompromi melakukan korupsi, maka ia dituduh dengan berbagai fitnah dihadapan raja. Para pembisik sakit hati atas kekokohan prinsip perdana menteri yang menjalankan aturan raja. Akibatnya, “para pembisik” yang serakah tak bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Dengan kelihaian retorikanya, para pembisik berusaha mencari-cari kesalahan perdana menteri dan menjilat raja dengan berbagai pujian. Meski tak didapatkan kesalahan perdana menteri, para pembisik akhirnya merekayasa kesalahan untuk ditimpakan pada perdana menteri. Kesalahan yang direkayasa tersebut dilaporkan pada raja dengan tuduhan pengkhianatan sang perdana menteri. Mendengar laporan “para penjilat”, raja sangat murka dan menjatuhkan hukuman pada perdana menteri untuk menjadi santapan harimaunya.
Perdana menteri berupaya menjelaskan atas tuduhan yang ditimpakan padanya. Namun “para pembisik” lebih lihai membuat raja menolak penjelasan perdana menteri. Bahkan, pertimbangan pengabdian yang telah dilakukan selama 15 tahun dianggap sirna. Meski sedih dan kecewa atas putusan raja, perdana menteri minta untuk diberi waktu mengasuh harimau milik raja selama 15 hari sebagai bentuk tanda pengabdiannya yang terakhir pada raja. Permintaan tersebut dikabulkan oleh raja. Sejak dijatuhkan hukuman tersebut, perdana menteri diberikan waktu untuk memelihara dan memberi makan harimau sang raja.
Setiap hari perdana menteri merawat, memberi makan dan minum, membersihkan kandang, serta memandikan harimau sang raja. Meski hanya diberi kesempatan selama 15 hari, hubungan perdana menteri dan harimau terbangun demikian akrab. Akhirnya, tibalah waktu hukuman dilaksanakan. Perdana menteri dimasukkan dalam kandang harimau.
Biasanya, setiap yang dimasukkan pasti langsun diterkam dan disantap dengan lahap. Namun, ketika perdana menteri dimasukkan ke kandang harimau, anehnya sang harimau justeru tak memangsanya. Bahkan, sang harimau merebah-kan tubuhnya dihadapan perdana menteri. Melihat sikap harimau yang demikian, perdana menteri memeluk dan mengelus tubuh harimau dengan penuh kasih sayang. Sungguh pemandangan yang membuat raja dan “para penjilat” keheran-heranan atas perilaku harimau terhadap perdana menteri. Keduanya justeru terlihat akrab dan saling menyapa dengan cara yang unik dan mesra.
Dari penggalan kisah di atas, ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik bagi kehidupan manusia, antara lain :
Pertama, Sosok raja yang arogan dan tidak bijaksana. Mudah menerima informasi dan provokasi “para pembisik” tanpa melakukan usul periksa atas informasi yang diterima. Allah SWT mengingat-kan melalui firman-Nya : “Wahai orang-orang yang beriman ! Janganlah kamu menjadikan teman orang-orang yang di luar kalanganmu (seagama) sebagai teman kepercayaanmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya menyusahkan kamu. Mereka mengharapkan kehancuranmu” (QS. Ali Imran : 118).
Dalam konteks yang luas, ayat di atas perlu dipahami bahwa “Janganlah kamu menjadikan teman orang-orang yang di luar kalanganmu” bukan sebatas wilayah agama, tapi termasuk ruang “nepotisme” yang hampa profesionalitas. Kewaspadaan agar berhati-hati atas informasi yang diterima agar bijak dan adil dalam memberi penilaian dan keputusan. Pertimbangkan semua keputusan dengan fikiran jernih dan matang, apatahlagi bila memperhatikan kontribusi (karya) yang demikian banyak telah diberikan untuk membangun negeri. Sementara, para pembisik hanya pandai bicara, namun miskin ide, hampa karya dan kontribusi, bahkan acapkali hanya mampu “berpangku tangan” semata.
Kedua, Harimau tak pernah melupakan kebaikan perdana menteri yang pernah berbuat baik padanya. Ia selalu ingat kebaikan yang telah diterima. Ia balas kebaikan dengan kebaikan. Apa yang dilakukan sang harimau sesuai dengan firman-Nya : “Jika berbuat baik, (berarti) kamu telah berbuat baik untuk dirimu sendiri. Jika kamu berbuat jahat, (kerugian dari kejahatan) itu kembali kepada dirimu sendiri. Apabila datang saat (kerusakan) yang kedua, (Kami bangkitkan musuhmu) untuk menyuramkan wajahmu, untuk memasuki masjid (Baitulmaqdis) sebagaimana memasuki-nya ketika pertama kali, dan untuk membinasakan apa saja yang mereka kuasai” (QS. al-Isra’ : 7).
Ayat di atas dalam kitab tafsir Jalalain dijelaskan bahwa, “kemudian Kami katakan (jika kalian berbuat baik) dengan mengerjakan ketaatan (berarti kalian berbuat baik bagi diri kalian sendiri) karena sesungguhnya pahala kebaikan itu untuk diri kalian sendiri (dan jika kalian berbuat jahat) dengan menimbulkan kerusakan (maka kejahatan itu bagi diri kalian sendiri) sebagai pembalasan atas kejahatan kalian”. Demikian indah dan mulia perilaku harimau. Meski hanya seekor hewan, namun berbeda dengan manusia yang konon makhluk berakal. Acapkali kebaikan yang telah diterima sekian lama, seakan sirna oleh kesalahan sedebu. Perilaku yang demikian diingatkan pepatah leluhur “kemarau setahun sirna oleh hujan setengah hari”. Pepatah yang memberi makna bahwa kebaikan yang demikian banyak, namun dihapuskan oleh kesalahan yang sedikit. Bahkan oleh kesalahan yang tak pernah dilakukan, namun dikondisikan seakan pernah dilakukan. Padahal, pelakunya justeru adalah mereka yang mengkondisikan adanya keburukan.
Demikian banyak fenomena yang demikian terjadi. Apatah-lagi diera digital. Melalui kekuatan era digital yang mampu menembus dimensi dan bergerak bagai kilat, banyak fenomena yang tertutup (selama ini) justru terbuka. Mulai pemandangan hidup hedonis, glamour, sisi kelam keadilan, pungli (bahkan menjurus perampokan), dan kejahatan lainnya terbuka menganga. Berbagai respon muncul beraneka ragam. Mulai ungkapan biasa-biasa saja, sudah tradisi, rahasia umum, terkejut, heran, dan varian respon lainnya. Bahkan acapkali pelakunya mereka yang tak dimungkinkan akan melakukannya. Sedangkan medan operasinya dipusat “keamanan” yang menurut logika tak mungkin terjadi. Semua hanya mampu berkata “mereka juga manusia”. Tapi, sebelum terkuak, acapkali “mereka” merasa paling suci dan benar. Andai tidak di era digital, mungkin semua tersimpan rapi dalam “peti besi”. Sungguh, pepatah pernah menyebutkan, “tempat yang paling aman adalah tempat yang paling berbahaya”. Penjahat yang pintar pasti menerapkan prinsip “membasuh muka dengan batu dan tidur beralaskan aliran air”. Pepatah yang sarat makna bagi mereka yang berfikir, tamparan keras bagi pemilik akal sehat, dan ukuran kualitas manusia bagi pemilik harga diri.
Ketiga, Harimau tak pernah menghapus kenangan indah yang pernah dilalui dan terukir bersama perdana menteri. Ia melihat kenangan kebaikan dibanding nafsu “lapar” yang menderanya. Harimau mengimplementasikan sabda Rasulullah SAW : “Barangsiapa yang telah berbuat kebaikan kepada kalian, hendaklah kalian membalasnya. Jika kalian tidak mampu membalasnya, maka berdoalah untuknya, hingga kalian tahu bahwa kalian telah bersyukur. Allah adalah Dzat Yang Mahatahu Berterimakasih dan sangat cinta kepada orang-orang yang bersyukur” (HR. Thabrani).
Sungguh tamparan bagi manusia yang berakal sehat. Sebagian justeru terkadang melupakan kebaikan yang telah diperoleh meski pada waktu yang lama. Semua sirna tatkala peluang untuk memuaskan nafsunya. Semua dilupakan untuk meraih apa yang diinginkan. Bak pepatah mengingat-kan “bagai kacang lupa pada kulitnya”. Atau peribahasa lama di Tanah Melayu yang mengatakan “bagai menolong anjing terjepit”. Setelah dilepaskan dan ditolong, justeru mereka yang menolong akan digigit dan dimangsanya secara kejam.
Keempat, Harimau menjaga persahabatan, bukan sebatas teman. Dalam Islam, persahabatan karena Allah kelak di hari kiamat akan berlanjut. Orang yang saling mencintai karenya-Nya akan dikumpulkan bersama di hari kiamat menuju surga-Nya. Hal ini merujuk pada sabda Rasulullah SAW : “Setiap orang akan dikumpulkan bersama orang yang ia cintai” (HR. Bukhari dan Muslim).
Demikian makna sebaliknya, bagi kelompok penyebar fitnah dan sejenisnya akan dikumpulkan pula di neraka. Semua dihadirkan dan berkumpul pada frekuensi yang sama. Begitu jelas janji Allah SWT dan ajaran Rasulullah SAW. Meski manusia acapkali melupakan dan mendustakannya.
Kelima, Harimau menghargai kebaikan mereka yang berbuat baik dan memangsa mereka yang berbuat aniaya atas dirinya. Harimau tau balas budi atas kebaikan yang diberi-kan. Meski sebagai hewan yang ganas, namun ia memiliki instink yang bisa menilai kawan dan lawan. Sementara ter-sisa manusia yang justeru acapkali melupakan segunung kebaikan yang pernah ada (diterimanya) dan hanya ingat pada kesalahan sedebu yang terjadi. Apatahlagi bila kesalah-an yang dinilai berkaitan dorongan kepentingan sementara yang tak mampu diperoleh. Hilang sejuta kebaikan dan peradaban. Semua mencair dan sirna agar tak terlihat sedikit jua. Hanya tersisa sedebu kesalahan yang selalu digunung-kan agar terlihat nyata sebagai kesalahan yang besar.
Keenam, Harimau makhluk tau balas budi dan berterima kasih. Ia ingat atas jasa dan kebaikan yang pernah diterima. Untuk itu, ia tak akan memangsa manusia yang pernah menolong dan berbuat baik padanya. Ternyata, harimau mengimplementasikan sabda Rasulullah : “Tidak dikatakan bersyukur pada Allah bagi siapa yang tidak tau berterima-kasih pada manusia (sesamanya)” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Justeru terkadang apa yang dipertontonkan harimau di atas bertolak belakang atas apa yang diperlihatkan manusia pada sesamanya. Meski Islam mengajarkan agar tidak pamrih bila berbuat kebaikan, namun penerima kebaikan dinilai tak pula beradab bila melupakan kebaikan yang telah diperoleh. Acapkali segelintir manusia memelas dan menghiba bila meminta pertolongan, memuji setinggi langit untuk memperoleh apa yang diharap, atau berjanji setia untuk mencapai asa. Namun, bila semua yang diharap telah diperoleh, “kuku” mulai panjang, hadir sejuta nafsu tak menyadakan diri. Mulai upaya untuk “susu dibalas air tuba”. Meski sejuta kebaikan dan peradaban telah dipahat dengan tinta emas, sejuta prestasi tertulis rapi, namun “setitik nila” atas ketidaksempurnaan diri akan “dilautkan” untuk meng-hapus kebaikan yang ada. Lupa sudah semua kebaikan, hanya tersisa nafsu untuk memangsa mereka yang telah berbuat kebaikan. Hadir pertemuan sesama manusia “sefrekuensi” untuk berkolaborasi membangun keserakahan. Sungguh beda dengan harimau si raja hutan. Meski ia jenis hewan yang ganas, namun masih tau membalas budi dan berterimakasih. Kenapa manusia tak bercermin malu atas karakter diri yang ternyata lebih rendah di banding harimau
(hewan). Padahal, Allah telah mengingatkan melalui firman-Nya : “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahanam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mem-punyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS. al-A’raf : 179).
Imam Qurthubi menafsirkan ayat di atas, bahwa bukan berarti mereka yang demikian benar-benar tuli atau buta secara fisik. Mereka memang punya mata yang berfungsi untuk melihat dan punya telinga yang berfungsi untuk mendengar. Namun, manusia tipikal ini tidak memperguna-kan fungsi panca indranya dengan baik dan benar. Akibatnya, akalnya tak mampu lagi mengangkat derajatnya dan ajaran agama tak pula mampu menunjukkan kebenaran padanya. Demikian angkuhnya manusia melupakan sisi kemanusiaan dan mendustakan penghambaan diri dihadapan Allah SWT.
Sungguh, bila seluruh panca indera dan agama dijadikan pedoman, maka manusia bisa tampil sebagai sosok yang lembut dan baik melebihi malaikat. Namun, bila panca indera dan agama hanya sebatas asesories apatahlagi dinafikan dan dipermainkan, maka manusia berpotensi menjadi “sosok paling rendah dan hina” di muka bumi. Semua pilihan ada pada setiap individu. Pilihan “bijak” atau pilihan “memijak dan membajak” sesama. Semua pilihan akan dilihat dan dinilai oleh Allah SWT yang tak pernah lupa, keliru, apatahlagi bisa ditipu. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 3 Juli 2023