Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Secara teori, rotasi bumi merujuk pada gerakan berputar planet bumi pada sumbunya. Bumi berputar ke arah timur, berlawanan arah jarum jam. Putaran bumi ternyata mengikuti gerak tawaf mengelilingi ka’bah. Akibat pergerakan pada sumbunya, setiap daerah di bumi mengalami siang dan malam, walaupun dengan panjang siang dan malam yang berbeda-beda. Pergantian siang dan malam menandakan terjadinya pergantian waktu. Kondisi ini menjadi dasar hitungan waktu.
Di antara hitungan waktu adalah pergantian tahun yang diperingati manusia seluruh dunia. Jadi, pergantian waktu sesungguhnya disebabkan adanya rotasi bumi pada sumbunya. Hal ini merujuk pada firman Allah : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesar-an Allah) bagi orang yang berakal” (QS. Ali Imran: 190).
Di ujung ayat di atas, Allah menekankan hanya orang yang berakal mampu memetik makna atas tanda-tanda yang Allah berikan. Ketika melihat ciptaan-Nya, bukan mata yang melihat, tapi otak yang menangkap. Mata hanya sebagai kamera menyampaikan informasi pada otak. Tapi, otak tak mampu mengolah apa yang ditangkap. Pengolahan ayat-Nya hanya oleh akal yang terbimbing. Jadi, meski setiap manusia memiliki otak, tapi tak semua memiliki akal yang akan mengangkat kemuliaan dirinya. Sebab, tanda berakal tatkala ia senantiasa berfikir untuk melihat ayat-ayat-Nya bagi membangun peradaban yang rahmatan lil ‘aalamiin.
Secara teori, akal berarti daya pikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Akal merupakan daya yang digambarkan al-Quran untuk memperoleh pengetahuan, baik tertulis maupun terbentang. Wajar bila Allah menyebut kata ‘aql dalam al-Qur’an berulang-ulang sebanyak 46 kali. Pengulangan tersebut agar manusia ingat dan menggunakan akalnya untuk penghambaan dan kekhalifahannya. Sebab, tanda manusia berakal ketika ia berfikir dan memiliki pengetahuan yang mengarahkannya melihat kebesaran dan keagungan-Nya. Semakin ia menggunakan akalnya, semakin tunduk pada aturan Allah. Sebaliknya, semakin akal tak mampu digunakan sebagaimana mestinya, maka semakin jauh diri dari ajaran agama.
Hal ini dinukilkan Allah melalui firman-Nya : “Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedangkan mereka berpaling darinya. Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sesembahan lain)” (QS. Yusuf : 105-106).
Agar akal dapat memiliki fungsi yang maksimal, maka diperlukan panduan. Dalam Islam, panduan keselamatan bagi akal adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Tanpa adanya pedoman tersebut, maka akal menjadi “liar” tanpa kendali.
Ibnu Taimiyah menjelaskan : “Akal tidaklah bisa berdiri sendiri, akal baru bisa berfungsi jika dia memiliki naluri dan kekuatan sebagaimana mata bisa berfungsi jika ada cahaya. Apabila akal mendapatkan cahaya iman dan al-Qur’an, barulah akal bisa seperti mata yang mendapatkan cahaya matahari. Jika tanpa cahaya tersebut, akal tidak akan bisa melihat atau mengetahui sesuatu.”
Paling tidak, ada 3 (tiga) pelajaran yang bisa diambil dari bumi berotasi pada sumbunya, yaitu : Pertama, Rotasi bumi perlambang putaran kehidupan manusia. Ada siang dan malam, tua dan muda, hidup dan mati, atas dan bawah, kaya dan miskin, kuat dan lemah, dan seterusnya. Demikian kehidupan berputar silih berganti. Bagi hamba yang terbimbing, semua masa digunakan secara bijak untuk penghambaan dan melaksanakan amanah kekhalifahan. Tapi bagi hamba yang “lupa diri” semua masa digunakan dengan keserakahan dan lepas dari agama. Padahal, kehidupan akan terus berputar dan silih berganti.
Kedua, Bumi berotasi pada sumbunya melambangkan keteraturan bumi karena tetap berada pada rel (sumbu) aturan Allah. Bayangkan bila bumi tak lagi berputar pada sumbunya, maka bukan hanya bumi dan isinya yang hancur, tapi tata surya ikut terganggu. Demikian pada manusia, keselamatan hidup akan diperoleh tatkala dijalani sesuai aturan. Namun, bila keluar dan menginjak-injak aturan, maka dipastikan binasa diri dan berdampak kenestapaan pada alam semesta.
Ketiga, Rotasi bumi yang berputar bagai hamba yang tawaf, mengajarkan agar semua isi bumi menghadirkan diri menuju Ilahi. Semua menyenandungkan asma Allah dan bersimpuh pada-Nya. Untuk itu, semua aktivitas hanya untuk Ilahi semata. Demikian perinta Allah melalui firman-Na : “Katakanlah (Muhammad), “Sesungguh-nya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam” (QS. al-An’am : 162).
Ketika demikian jelas firman Allah di atas, maka momentum pergantian tahun (hijriyah atau masehi) perlu dilihat sebagai ayat-Nya untuk bahan renungan bagi pemilik akal, yaitu : Pertama, Pergantian tahun bagai sebuah cermin diri. Cermin untuk melihat kualitas amal, karakter, akhlak, atau kebermanfaatan yang telah dilakukan pada sesama. Hal ini disampaikan Rasulullah melalui sabdanya : “Barang siapa hari ini lebih baik dari hari kemarin, dialah tergolong orang yang beruntung. Barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin dialah tergolong orang yang merugi. Dan Barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin dialah tergolong orang yang celaka” (HR. al-Hakim).
Pergantian tahun berarti semakin dekatnya manusia pada janji untuk kembali pada Sang Pencipta. Seharusnya, semakin bercucuran air mata atas kejahilan yang dilakukan. Semua amal pasti akan diminta pertanggungjawabannya. Untuk itu, pergantian tahun merupakan momen untuk mengevaluasi diri atas apa yang telah dilakukan dan rencana amaliah yang akan dilakukan (tatkala Allah memanjangkan usianya) pada tahun yang akan datang.
Hal ini dinukilkan Rasulullah melalui sabdanya : Diriwayatkan oleh Umar bin Khattab, Rasulullah SAW juga pernah bersabda: “Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab, dan hiasilah dirimu sekalian (dengan amal shaleh), karena adanya sesuatu yang lebih luas dan besar, dan sesuatu yang meringankan hisab di hari kiamat yaitu orang-orang yang bermuhasabah atas dirinya ketika di dunia” (HR. Tirmidzi).
Sangat rugi bila manusia hanya mencari kesalahan orang lain, namun tak pernah mengevaluasi dirinya, apatahlagi menanam dendam tak berkesudahan. Rasulullah mengingatkan : Dari Anas bin Malik r.a., Rasulullah SAW bersabda : ”Beruntunglah orang yang disibukkan mencari aib (kekurangan) diri sendiri daripada mencari aib (kekurang-an) orang lain” (HR. ad-Dailamy).
Pada hadis yang lain, Rasulullah bersabda : Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda, “Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin yang lain” (HR. Abu Dawud).
Merujuk hadis di atas mengisyaratkan bahwa untuk mengetahui kekurangan pribadi diperlukan kawan yang tulus dan berfungsi sebagai cermin. Betapa sering seseorang memiliki kekurangan, namun ia tidak menyadarinya. Untuk itu, perlu sosok kawan yang menjadi cermin baginya. Namun, bukan kawan yang “memiliki kepentingan”. Sebab, ia tak akan jujur dalam memberikan penilaian, bahkan berujung pada kehinaan. Ketika kuasa dimiliki, ia akan menilai tanpa cacat, atau pujian membahana meski kekurangan diri menganga dan semakin membusuk. Sebab, semua pujian bukan karena kualitas diri, tapi kuasa diri. Sejuta cara dilakukan, bahkan meski harus memperjualbelikan keyakinan untuk menyenangkan si pemilik kuasa.
Namun, yakinlah bila kuasa telah tiada, pujian akan berubah menjadi cercaan, rasa ta’jub berubah membuka kekurangan, dan tepukan berubah jadi cibiran. Ketika kuasa selalu didekati dan dihormati, namun tanpa kuasa akan ditinggalkan bahkan dikhianati. Sosok manusia seperti ini bukan lagi tampilan manusia “bermuka dua” tapi “bermuka seribu”, tanpa punya sedikitpun tersisa rasa malu. Cermin yang digunakan berupa cermin retak seribu. Hanya manusia yang berkarakter sama yang mudah terperdaya dan suka pada hal yang sama pula.
Karakter diri seperti ini bak bait senandung nasehat :
Semakin dipuji
Semakin lupa diri,
Semakin didekat
Semakin berharap kertas berlipat,
Semakin disanjung
Seakan hidup tak pernah berujung.
Tapi bagi manusia berkarakter mulia, pergantian tahun dijadikan cermin melihat diri. Karakter mulia hamba seperti ini, terukir bait senandung nasehat :
Semakin dipuji
Semakin malu pada Ilahi,
Semakin didekat
Semakin bijak bersahabat,
Semakin disanjung
Semakin ingat amanah yang ditanggung.
Demikian beruntung hamba yang bijak memanfaatkan waktu untuk kebaikan. Allah telah mengingat manusia melalui firman-Nya : “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerja-kan amal saleh dan nasehat menasihati untuk menaati kebenaran dan nasehat menasihati untuk kesabaran” (QS. al-‘Ashr : 1-3).
Sungguh ayat di atas demikian terang terjadi. Meski ayat telah terbentang, pilihan justeru tegak menantang. Banyak waktu terbuang sia-sia. Kesempatan berbuat baik terbuang percuma. Hasrat dunia lebih utama. Kezhaliman benderang, seakan tak ada yang menghalang. Dendam kesumat sampai kiamat. Merasa mulia, ternyata hina. Bertambah usia, ternyata alpa. Sibuk dengan dunia, lupa pada Yang Kuasa.
Kedua, Pergantian tahun bagai sebuah tangga (fase) peningkatan kualitas diri. Bila alam bergerak pasti dan dinamis, maka manusia seyogyanya bersikap yang sama. Bayangkan bila alam tak bergerak dinamis, hanya stagnan atau mundur ke belakang, maka alam semesta akan bertabrakan dan punah kehidupan. Demikian halnya dengan manusia. Bila mengambil posisi jalan ditempat atau mundur kebelakang, maka peradaban akan hancur dan diri akan binasa. Peredaran tata surya mengajarkan manusia hidup secara dinamis. Kedinamisan yang berdimensi vertikal dan horizontal. Indikasi dinamis berdimensi vertikal dengan semakin kenal dan dekat pada Allah Sang Pencipta. Sedangkan dinamis berdimensi horizontal dengan hadir sebagai khalifah yang rahmatan lil ‘aalamiin. Kedua dimensi tersebut perlu menjadi satu-kesatuan dalam seluruh aktivitas manusia. Sebab, manusia dianugerahkan Allah dengan potensi yang mampu meraih keduanya.
Hal ini dinukilkan Allah dalam firman-Nya : “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman” (QS. Ali Imran : 139).
Ketiga, Pergantian tahun sebagai timbangan (mizan). Pergantian tahun seharusnya menjadi momen manusia untuk menakar diri atas apa yang telah dilakukan. Timbang-an diri yang obyektif akan menghantarkan manusia mampu menyadari kedhaifan diri. Tapi, bila timbangan menampilkan kesombongan dan dilakukan secara subyektif, maka muncul takjub pada diri dan menilai paling benar. Sifat yang hanya dimiliki oleh Iblis dan dibenci oleh Allah.
Bagi manusia yang memperoleh hidayah-Nya, ia akan melihat diri dengan timbangan agama. Bila ia tak mampu memikul sebuah amanah, ia akan melepaskannya. Ia khawatir tak mampu memikulnya dan menimbulkan mafsadah bagi alam semesta. Bila ia memiliki kesanggupan, ia selalu memohon bimbingan Allah untuk diberi kekuatan melaksanakan amanah yang dipikul. Demikian sifat hamba yang benar.
Hal ini sesuai firman Allah : “…..Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir” (QS. al-Baqarah : 286).
Pada ayat lain, Allah berfirman : “Dan Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tidak seorang pun dirugikan walau sedikit, sekalipun hanya seberat biji sawi, pasti Kami mendatangkannya (pahala). Dan cukuplah Kami yang membuat perhitungan” (QS. Al Anbiya: 47).
Pergantian tahun berarti bertambahnya usia, pijakan atas kualitas amanah yang diemban, kualitas penghambaan dan fungsi kekhalifahan yang telah dilaksanakan, dan semakin dekat pada akhir perjalanan hidup sebagaimana yang dijanjikan-Nya (kematian).
Untuk itu, momentum pergantian tahun perlu dijadikan cermin dan timbangan atas amaliah vertikal dan kebermanfaatan horizontal yang telah dilakukan. Namun, agar timbangannya tak mengalami kehampaan, hasil yang akan ditimbang jangan sampai digerogoti oleh riya’ dan punah oleh kesombongan.
Biarlah semua kebaikan menjadi rahasia diri untuk jembatan menuju Ilahi. Sementara semua kesalahan menjadi cemeti untuk menyadarkan diri agar senantiasa munajat mohon pengampunan-Nya.
Demikian jelas makna pergantian tahun, baik dalam perspektif agama dan akal manusia. Namun, semuanya tak dipedulikan akibat kejahilan manusia. Pergantian tahun justeru masa kebahagiaan dan disambut dengan pesta yang begitu meriah. Seakan senang dan bangga mempertontonkan kebodohan diri, bangga atas kesalahan diri, dan lupa semakin dekat batas kehidupan di muka bumi. Perubahan hanya pada angka tahun dan kondisi fisik yang semakin lemah, tapi tak pernah berubah pada prilaku dan amaliah, bahkan grafiknya semakin mengalami penurunan.
Lalu, apa makna pergantian tahun yang dipilih ? Terjadi penurunan berarti celaka, tetap tak bergeming (stagnan) berarti merugi, atau senantisa memperbaiki diri sebagai bentuk kesyukuran pada nikmat Allah berarti beruntung. Tak ada yang mampu menjawab. Semua tergantung kualitas isi karakter setiap diri.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 2 Januari 2023