وَالَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ وَمَآ اُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَۚ وَبِالْاٰخِرَةِ هُمْ يُوْقِنُوْنَۗاُولٰۤىِٕكَ عَلٰى هُدًى مِّنْ رَّبِّهِمْۙ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ.
“Dan mereka yang beriman pada (Al-Qur’an) yang diturunkan kepadamu (Nabi Muhammad) dan (kitab-kitab suci) yang telah diturunkan sebelum engkau dan mereka yakin akan adanya akhirat. Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”.
Bulan syawal terus berjalan dan akan meninggalkan kaum muslimin laksana Anak Panah lepas dari Busur nya. Keindahan malam Idul Fitri dengan lantunan takbir, tahlil, tahmid dan tasbih serta tradisi silaturahim sesama umat Islam pun sedikit demi sedikit sudah mulai hilang dalam kenangan. Kebersamaan di meja makan menyantap ketupat dengan keluarga besarnya hanya sebatas foto-foto yang diabadikan di FB, Instagram, Tik Tok dan sebagainya. Baju baru yang dipesan secara spesial mulai lusuh dan warnanya mulai luntur. Kita masih bisa bercerita kepada siapapun yang kita cintai, tapi rasa keindahan waktu itu sudah tidak bisa diulang kembali. Lalu muncul berbagai realita kehidupan dan akan kembali lagi menjadi kenangan beragam; bisa suka cita maupun duka cita. Lagi-lagi kenengan yang datang kemudian akan mengganti perasaan kenangan-kenangan indah pada hari raya Idul Fitri. Realita kehidupan senantiasa menciptakan kenangan dan mengubur kenangan. Semakin lama kenangan, semakin berkarat meskipun kita berusaha mengingatkan sebaik mungkin.
Baca juga : Hari Kartini; Arti Kesempurnaan Perempuan
Kita bisa mengenang enaknya ketupat dan opor ayam. Kita bisa mengenang senyum manis orang-orang yang dulu menyayangi dan mencaci maki kita. Semua kenangan bisa hilang di telan masa. Namun kita seharusnya tidak boleh meninggalkan masa lalu tanpa jejak sama sekali. Betapa agung orang-orang yang telah menulis tinta kehidupan dengan cemerlang. Mereka telah menjadi suri tauladan umat muslim sepanjang masa, bahkan terkadang juga menjadi ustatun khasanah untuk alam semesta.
Kenapa mereka menjadi tauladan dan uswatun khasanah? Salah satu argument yang perlu penulis tulis disini karena mereka telah meninggalkan jejak-jejak karya tulis atau karya-karya orang lain yang menulis mereka. Tulisan telah menjadi saksi keabadian mereka sepanjang masa. Bulan terus berganti dan tahun berjalan tidak pernah henti, tapi tulisan terus membimbing manusia terus-menerus sampai kehidupan di akhir nanti.
Penulis kadang merenung seorang diri. Pikiran nakal kadang berkata, “Apa jadinya jika Al-Qur’an tidak dibukukan”, “Apa jadinya ketika Umar bin Khatab menerima pendapat Abu Bakar dengan landasan yang sangat kuat pada Al-Qur’an dan Al-Hadist”. “Apa jadinya ketika Umar bin Khatab menyerah dan mengikuti pendapat Abu Bakar?. Saya hanya berandai-anda begini, “Mungkin Islam sudah tidak ada”, “Jika Islamada tapi sudah tidak sempurna”, “Yang ada berupa perkelahian dan perpecahan”.
Ketika penulis membuka lembaran perdebatan, betapa jeniusnya Umar bin Khatab bisa menyakinkan Abu Bakar bahwa apa yang disampaikannya secara subtansi tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadist, meskipun ide-idenya tidak tertulis secara tekstual pada kedua sumber hukum Islam. Jadi, dari sini penulis belajar dari mereka bahwa sepanas apapun suatu perdebatan tentang persoalan hukum dan sejenisnya, bukan sesuatu yang tabu dan tidak ada istilah menang dan kalah. Sebab keduanya sedang berijtihad mencari suatu solusi terbaik. Dan dua-dua nya mendapatkan penghargaan dari Tuhan nya; benar mendapat pahala dua dan salah mendapat pahala satu.
Baca juga : Lebaran Ketupat dan Arti Sebuah Kesempurnaan
Berkah pasca adanya kodifikasi Al-Qur’an dan Al-Hadist menjadi satu mushaf dan beragam kumpulan buku dari para ulama hadist, umat Rasulullah saw terus memahami dan mengembangkan pemahaman tersebut tentang arti Islam yang menjadi rahmat semesta alam. Para ulama dan ilmuwan yang telah diberkahi hati dan pikirannya terus-menerus memberi pencerahan tanpa kenal lelah. Mereka sungguh sangat menyayangi sesama saudara nya. Sudah puluhan bahkan ratusan atau bahkan jutaan tulisan lahir dari tangan-tangan mereka. Semua itu adalah bentuk keagungan Al-Qur’an dan Al-Hadist.
Allah SWT berfirman :
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَاۤبِّ وَالْاَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ اَلْوَانُهٗ كَذٰلِكَۗ اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُاۗ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ غَفُوْرٌ
Artinya:
“(Demikian pula) di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa, dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Maha Pengampun,”
Ulama adalah pewaris para nabi. Pada diri nabi ada ilmu yang luas bagai lautan tak bertepi. Pada diri nabi juga mengetahui jalan-jalan (tarikat) mendekat kepada Rabb nya dengan cara-cara yang benar. Pengenalan (ma’rifat) mereka dilandasi dengan kedalaman ilmu, sehingga mampu membuka lorong-lorong kegelapan menuju pintu-pintu peradaban.
Sungguh sangat rugi orang yang diberi keluasan ilmu tapi tidak mengenal dirinya,”Barangsiapa yang mengenal dirinya, sungguh ia mengenal Tuhan-nya”. Dunia ini penuh dengan para ilmuwan. Tiap waktu akan bertambah terus. Ada ilmuwan pada tataran nurul yaqin yang mampu melihat fenomena alam dan bisa dituliskan dalam karya-karyanya. Ada ilmuwan masuk pada tataran ‘ainul yaqin mampu menjelaskan dengan argumentasi ilmiah secara lengkap dan mendetail. Kedua golongan ilmuwan ini telah membuka sebagian dari rahasia Al-Qur’an dan ayat-ayat tuhan dalam alam semesta ini. mereka telah mampu mendeskirpsikan dengan beragam keahlian dan sudut pandang kajian. Sungguh mereka adalah orang-orang yang terpilih menjadi pewaris para nabi sebagai pembawa obor peradaban.
Namun obor peradaban tidak serta merta berlandaskan pada kekuatan ilmu nurul yaqin dan ‘ainul yaqin. Mereka mempunyai tugas berat untuk memberi petunjuk kepada umat manusia untuk bisa mengenal ilmu lebih mendalam lagi yaitu haqul yaqin, yaitu suatu kesadaran totalitas bahwa semua kecerdasan manusia dan kehebatan mereka melakukan rekayasa ilmu dan teknologi serta kemajuan lain adalah semata-mata dalam rangka untuk mengenal Allah swt. Sebab jalan untuk menjadi ilmuwan sejati (‘alim) pada dasarnya juga harus mengenal-Nya (‘arif atau ma’arifat). Keduanya satu kesatuan yang ada pada diri ulama dan ditularkan kepada umatnya.