Oleh : Saifunnajar (Dosen STAIN Bengkalis)
Suatu kali saya ke pasar Senin Jakarta, Rencananya mencari buku-buku lama, dan harganya terjangkau, namun bukunya berkualitas. Saya dapat satu buku berjudul Islam dan Tata Negara, Ajaran, sejarah dan pemikiran, ditulis oleh bapak H.Munawir Sjadzali, MA. Buku ini merupakan panduan mengajar mahasiswa program S3 pada IAIN Ciputat, mata kuliah Fikih Siyasah pada tahun 1988-1989.
Dari buku tersebut halaman 49, saya nukilkan, Pemikiran Tokoh Politik Islam bernama Farabi tentang “Pimpinan Negara”.
Nama lengkap Farabi adalah Abu Nashar bin Mohammad bin Mohammad bin Tharkhan bin Unzalagh. Dia lahir di suatu kota kecil bernama Wasij, wilayah Farab, termasuk kawasan Turkistan, pada tahun 257 H atau 870 M, dari ayah berkebangsaan Persia dan ibu berkebangsaan Turki, dan meninggal tahun 339 H atau 950 M. Sejak muda dia terkenal mempunyai bakat yang luar biasa dalam belajar bahasa. Konon dia dapat berbicara dalam tujuh puluh macam bahasa; yang pasti dia menguasai secara penuh empat bahasa: Arab, Persia, Turki dan Kurdi. Dia seorang penulis yang sangat produktif. Dalam bidang filsafat, etika dan kemasyarakatan saja tidak kurang dari delapan belas buku telah ditulisnya.
Sesuai dengan teorinya bahwa penghuni negara itu terbagi dalam banyak kelas, Farabi berpendapat bahwa tidak semua warga negara mampu dan dapat menjadi kepala negara. Yang dapat dan boleh menjadi kepala negara utama hanyalah anggota masyarakat atau manusia yang paling sempurna, tentunya dari kelas yang tertinggi, dibantu oleh orang-orang pilihan juga dari kelas yang sama. Mereka tunduk di bawah pimpinan kepala negara, dan atas nama dia memimpin warga-warga dari kelas di bawahnya, hal itu berarti bahwa warga-warga negara selain kepala negara tidak sama tingkatnya satu sama lain. Tinggi dan rendah tingkat mereka di tentukan oleh dekat dan jauhnya dari kepala negara.
Dalam pada itu, kalau di antara kita ada yang heran mengapa Farabi dapat terbawa untuk mengikuti paham Plato tentang pem bagian warga negara dalam tiga kelas, padahal sebagai ilmuwan Islam ia tentu mengetahui bahwa Islam mengajarkan prinsip persamaan, maka akan lebih heran lagi kalau membaca teori Farabi tentang urutan munculnya kepala negara dan rakyat. Menurut Farabi, sebaiknya kepala negara ada atau diadakan dahulu, baru ke mudian rakyat yang akan dikepalainya. Bukankah jantung itu terbentuk lebih dahulu, kemudian jantunglah yang merupakan sebab terbentuknya organ-organ tubuh yang lain. Jantung pula merupakan sebab tumbuhnya kekuatan dan energi bagi organ-organ itu serta tersusunnya urutan martabat masing-masing, dan kalau terdapat organ yang tidak bekerja baik atau rusak maka jantung memiliki wahana untuk menghilangkan ketidak baikan atau kerusakan itu. Demikian juga halnya kepala negara. Ia seyogianya ada dahulu, kemudian darinya terbentuklah negara dan bagian-bagian atau rakyatnya, dan dia pula yang menentukan wewenang, tugas dan ke wajiban serta martabat atau posisi masing-masing warga negara. Dan kalau ada warga negara yang tidak baik, kepala negara dapat menghilangkan ketidak baikan itu. Dari teorinya bahwa sebaiknya kepala negara ada lebih dahulu, kemudian baru rakyatnya, tampak bahwa Farabi memang tidak bermaksud memperbaiki pola atau situasi politik yang ada, tetapi membayangkan untuk mencetak negara yang sama sekali baru, dan dari awal.
Menurut Farabi kepala bagi negara yang utama itu haruslah seorang pemimpin yang arif dan bijaksana, yang memiliki dua belas kualitas luhur yang sebagian telah ada pada pemimpin itu sewaktu lahir sebagai watak yang alami atau tabiat yang fitri, tetapi sebagian yang lain masih perlu ditumbuhkan melalui pengajaran yang terarah, pendidikan serta latihan yang menyeluruh, dengan disiplin yang ketat. Oleh karenanya pembinaan dan pembentukan pribadi calon-calon pemimpin melalui pengajaran, pendidikan, penga matan dan pengawasan amat diperlukan. Bagi Farabi, pemimpin negara itu bolehlah seorang filsuf yang mendapatkan kemakrifatan atau kearifannya melalui pikiran dan rasio, dan dapat juga seorang nabi yang mendapatkan kebenarannya lewat wahyu. Adapun dua belas kualitas luhur itu ialah: (1) lengkap anggota badannya; (2) baik daya pemahamannya; (3) tinggi intelektualitasnya, (4) pandai mengemukakan pendapatnya dan mudah dimengerti uraiannya; (5) pencinta pendidikan dan gemar mengajar, (6) tidak loba atau rakus dalam hal makanan, minuman dan wanita; (7) pencinta kejujuran dan pembenci kebohongan; (8) berjiwa besar dan berbudi luhur, (9) tidak memandang penting kekayaan dan kesenangan-kesenangan duniawi yang lain; (10) pencinta keadilan dan pembenci perbuatan zalim; (11) tanggap dan tidak sukar diajak menegakkan keadilan dan se baliknya sulit untuk melakukan atau menyetujui tindakan keji dan kotor, dan (12) kuat pendirian terhadap hal-hal yang menurutnya harus dikerjakan, penuh keberanian, tinggi antusiasme, bukan pena
kut dan tidak berjiwa lemah atau kerdil.
Oleh karena sangat jarang ada orang yang memiliki semua kualitas luhur tersebut, kalau terdapat lebih dari satu, maka menu- rut Farabi yang diangkat menjadi kepala negara seorang saja, sedangkan yang lain menanti gilirannya. Tetapi kalau misalnya tidak terdapat seorang pun yang memiliki secara utuh dua belas atribut tersebut, pimpinan negara dapat dipikul secara kolektif antara sejumlah warga negara yang termasuk kelas pemimpin. Misalnya “pre- sidium” negara itu diketuai oleh seorang yang memiliki kebijaksanaan dan kearifan, dan beranggotakan seorang pencinta keadilan, seorang pemikir yang tangguh, seorang pembicara ulung, seorang ahli ilmu perang dan sebagainya, dengan catatan bahwa kalau terdapat cukup jumlah warga negara yang memiliki tiap kualitas tadi, te tapi tidak ada seorang pun yang memiliki kearifan, maka negara itu tetap tidak mempunyai raja, padahal suatu negara tanpa raja tidak akan tahan lama dan akan mengalami kehancuran. Bagi Farabi kepala yang memimpin negara yang utama atau bahagia itu adalah sekaligus seorang guru, penuntun dan pengelola, karena tidak semua orang secara fitri mengetahui tentang cara mencapai kebahagiaan. dan tidak semua orang mengerti tentang hal-hal yang harus atau perlu diketahui. Oleh karena itu dibutuhkan adanya guru dan penuntun.
Negara yang bodoh. Sebagai kebalikan dari negara yang utama terdapat negara yang bodoh, negara yang rusak, negara yang merosot, dan negara yang sesat. Negara yang bodoh adalah negara yang rakyatnya tidak tahu tentang kebahagiaan dan tidak terbayang pada mereka apa kebahagiaan itu. Kalau dituntun mereka tidak mau mengikuti dan kalau diberitahu tidak mau percaya. Negara yang bodoh itu bermacam-macam. Ada negara yang sangat primitif, yang perhatian rakyatnya hanya terbatas pada pemenuhan ke butuhan hidup seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan jodoh, serta kerjasama untuk pengadaan keperluan tersebut. Ada negara yang lebih maju, tetapi perhatian rakyatnya terpusat pada kerjasama untuk meningkatkan kemudahan-kemudahan materi dan penumpukan kekayaan. Ada negara yang tujuan hidup rakyatnya adalah untuk menikmati makanan, minuman, seks dan berbagai hiburan yang lain. Ada negara yang tujuan hidup rakyatnya adalah untuk dihormati, dipuji, dan tersohor dalam pergaulan antarbangsa. Ada negara yang perhatian rakyatnya terpusat pada nafsu untuk menaklukkan negara-negara lain, dan bangga dapat menguasai negara-negara tetangganya. Yang terakhir dari macam negara yang bodoh itu adalah negara yang masing-masing dari rakyat menikmati kebebasan untuk berbuat sekehendaknya, yang akan berakibat timbulnya anarki.
Adapun negara yang rusak adalah negara yang rakyatnya tahu apa kebahagiaan itu, sama halnya dengan rakyat di negara yang utama, tetapi mereka berperilaku dan hidup seperti rakyat di negara yang bodoh. Dengan kata lain mereka tahu tentang hal-hal yang baik, tetapi yang mereka lakukan perbuatan-perbuatan yang hina. Negara yang merosot adalah negara yang rakyatnya mempunyai pandangan hidup dan perilaku yang sama dengan pandangan hidup dan perilaku rakyat di negara yang utama, tetapi kemudian berubah dan terjerumus ke dalam kehidupan yang tidak terpuji lagi. Korupsi dan perkosaan terhadap kebenaran dan keadilan merajalela. Sedangkan negara yang sesat adalah negara yang diliputi oleh kesesatan, penipuan dan kesombongan. Rakyatnya tidak percaya akan adanya Tuhan, dan sebaliknya kepala negara menipu rakyatnya dengan pengakuannya bahwa dia menerima wahyu dari Tuhan, dan bahwa rakyat harus ikut apa yang dikatakan dan lakukannya sebagaimana mereka harus mengikuti apa yang dikatakan dan dilakukan oleh seorang nabi. Yang terakhir adalah “rumput-rumput jahat”. Lawan negara yang utama itu tidak hanya negara-negara yang bodoh dan sebagainya tadi. Tidak kurang bahayanya adalah “rumput-rumput jahat” yang mungkin terdapat dalam tubuh negara yang utama sekalipun. Yang dimaksudkan dengan “rumput-rumput jahat” itu ialah orang-orang atau unsur-unsur yang rendah budi pe kertinya, manusia berwatak liar dan tanpa budaya, yang dapat mengganggu keserasian kehidupan masyarakat di negara yang utamapun.
Wallahu ‘Aklam bi Showab