Oleh : Saifunnajar (Dosen STAIN Bengkalis)
Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Istilah ini dapat diterapkan pada pemerintahan, organisasi dan kelompok sektor swasta, serta individu.
Ada dua kebijakan dasar pemerintah dalam mengatur kehidupan beragama; Pertama, pemberdayaan umat beragama. Kedua, memberikan rambu-rambu bagi upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama.
- Pada masa Orde Lama.
Di era orde lama, upaya pemerintah membangun kerukunan nasional termasuk kerukunan keagamaan dengan mempertahankan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sesuai dengan aslinya.
Pada masa Orde lama dikeluarkan Penetapan Presiden No.1/PNS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
- Pada masa Orde Baru.
Pada masa Orde Baru juga tetap mempertahankan Pancasila sesuai aslinya.
- Pada pemerintahan masa Reformasi.
Pada masa reformasi Pancasila juga tetap dipertahankan sesuai dengan aslinya. Tetapi Undang-Undang Dasar 1945 untuk merespons perkembangan zaman dilakukan amandemen. Pada era ini kebijakan politik demokrasi lebih liberal dan otonomi daerah diberlakukan, meskipun pembinaan agama tetap dilakukan secara sentralistis.
- Kebijakan Kementerian Agama RI.
Kementerian Agama selaku penanggung jawab pembinaan kerukunan keagamaan juga telah lama menerbitkan regulasi dan mengembangkan konsep-konsep kebijakan yang bersifat normatif dan akademik.
a. Era Menteri Agama KH. Moh. Dahlan
Kabinet Ampera II dan Pembangunan 1 Pada aspek regulasi, Era Menteri Agama KH Moh. Dahlan, diterbitkan Surat keputusan Bersama(SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 01/BER/mdn-mag/1969, tentang pelaksanaan tugas aparatur pemerintahan dalam menjamin ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pengembangan dan ibadat agama oleh pemeluk-pemeluknya.
la mempelopori musyawarah antar umat beragama tanggal 30 November 1967, agar peristiwa-peristiwa intoleransi antar agama tidak terulang lagi, memimpin pertemuan, mengajukan pokok-pokok pikiran rencana persetujuan, yang intinya agar propaganda agama tidak dilakukan dengan tujuan meningkatkan jumlah pemeluk masing-masing agama, namun dilaksanakan untuk memperdalam pemahaman dan pengamalan tentang agamanya masing-masing.
b. Era Menteri Agama Mukti Ali. Kabinet Pembangunan II. 1973-1978
Dari aspek kebijakan yang bersifat normative, Menteri Agama Mukti Ali dikenal sebagai motor penggerak kerukunan keagamaan yang mengedepankan konsep agreement in disagreement (setuju dalam perbedaan). Setiap umat beragama hendaknya menerima adanya orang lain yang berbeda agama.
c. Pada era Menteri Alamsyah Ratu perwiranegara Kabinet Pembangunan III. 1978 – 1983
Pada Era Menteri Agama Alamsyah Ratuperawiranegara mengeluarkan kebijakan kerukunan beragama dikenal dengan konsep kebijakan yang menekankan trilogy kerukunan umat beragama, yakni kurukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama, kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah.
Menteri Alamsyah mengeluarkan Keputusan Bersama Mentari dalam Negeri dan Menteri Agama RI Nomor 1 Tahun 1979 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada lembaga keagamaan di Indonesia, agar tidak terjadi benturan dalam penyiaran agama.
Konsep Kerukunan intern umat beragama antara lain dimaksudkan agar pertentangan yang mungkin timbul di antara pemuka agama yang bersifat pribadi jangan sampai mengakibatkan perpecahan diantara para pengikutnya, segala perselisihan yang timbul di lingkungan intern umat beragama, hendaknya dapat diselesaikan dengan semangat kerukunan.
Mewujudkan kerukunan antar umat beragama merupakan bagian usaha menciptakan kemaslahatan umum serta kelancaran hubungan antara manusia yang berlainan agama, sehingga setiap golongan umat beragama dapat melaksanakan bagian dari tuntunan agama masing-masing.
Kerukunan yang berpegang kepada prinsip masing-masing agama menjadikan setiap golongan umat beragama sebagai golongan terbuka, sehingga memungkinkan dan memudahkan untuk saling berhubungan. Bila anggota dari suatu golongan umat beragama telah berhubungan baik dengan anggota dari golongan-golongan agama lain, akan terbuka kemungkinan untuk mengembangkan hubungan dalam berbagai bentuk kerjasama dalam masyarakat dan bernegara.
Kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah diharapkan agar semua pihak senantiasa menyadari kedudukan masing-masing sebagai sesama komponen bangsa dalam usaha menegakkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Tugas pemerintah adalah memberikan bimbingan dan pelayanan agar setiap penduduk dalam melaksanakan ajaran agamanya dapat berlangsung dengan rukun, lancar dan tertib. Maka pemerintah menjadikan umat beragama melalui pemuka dan tokoh agama sebagai mitra yang dapat berpartisipasi aktif dalam memelihara kerukunan dalam rangka menjaga, ketertiban dan suksesnya pembangunan nasional.
d. Pada masa Menteri Agama Munawir Sjadzali. Kabinat Pembangunan IV dan V. 1983 -1993
Pada masa Menteri Agama Munawir Sjadzali lahir konsep trilogy kerukunan dilanjutkan dengan dengan istilah Tri Kondial (Tiga Kondisi Ideal) kerukunan umat beragama Kondisi bangsa akan ideal kalau kerukunan intern umat dalam satu agama, kerukunan antar umat berbeda agama dan kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah terwujud.
e. Pada masa Menteri Agama Tarmizi Taher. Kabinet Pembangunan VI. 1993-1998.
Pada era Menteri Agama Tarmizi Taher, Kementerian Agama lebih memfokuskan pada kebijakan pengembangan Bingkai Teologi Kerukunan, yang intinya mengedepankan perlunya titik temu konsep ajaran semua agama yang bisa dijadikan landasan kerukunan antar umat beragama, para pemuka agama yang tergabung dalam Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama bersama dengan pemerintah mengusahakan adanya semacam kerangka atau bingkai teologi dari agama masing-masing sebagai pedoman dan acuan membina, memelihara untuk meningkatkan kerukunan hidup di antara umat beragama tersebut tanpa mengurangi iman atau akidah agama masing-masing.
f. Pada masa Menteri Agama Said Aqil Husein Al-Munawwar. Kabinet Gotong Royong 2001-2004
Masa Menteri Agama Said Aqil Husein Al-Munawar, beliau menawarkan konsep fikih hubungan antar Agama berbasis wawasan multikultural Intinya menjelaskan konsep “membalikkan sudut pandang pluralisme bangsa Indonesia dari sumber konflik menjadi suatu berkah” Sebagai sumber kekuatan yang dapat dikembangkan mempercepat kesejahteran dan persatuan bangsa melalui pengembangan kaidah-kaidah lembaga adat (nilai kultural).
Semua usaha yang dilakukan dalam membangun kerukunan antar umat beragama akan terwujud bila masing-masing penganut agama membangun harmoni sosial dan kebersamaan sesuai dengan hakekat setiap agama. Jalan terbaik untuk itu adalah menumbuh kembangkan kesadaran terhadap ajaran agamanya dengan memperdalam nilai-nilai spritual yang implementatif bagi kemanusiaan. Karena itu diperlukan re-interpretasi (ijtihad) baru, terutama dalam menemukan ijtihad dalam hubungan antar agama.
Seiring dengan dinamika kehidupan yang terus, dan semakin konfliknya persoalan kerukunan maka pokusnya lebih diarahkan pada perwujudan rasa kemanusiaan dengan pengembangan wawasan multikultural serta dengan pendekatan yang sifat “bottom up”. Dalam kaitan ini kita akan mengembangkan wawasan multikultural pada segenap unsur dan lapisan masyarakat yang mempunyai kesadaran tidak saja mengakui perbedaan, tetapi mampu hidup saling menghargai, menghormati secara tulus, komunikatif dan terbuka, tidak saling curiga, memberi tempat terhadap keragaman keyakinan, tradisi, adat maupun budaya, dan yang paling utama adalah berkembangnya sikap tolong menolong sebagai perwujudan rasa kemanusiaan yang dalam dari ajaran agama masing-masing. Diantara trategi yang perlu dilakukan adalah mengembangkan wawasan multikultural bagi segenap lapisan dan unsur masyarakat melalui jalur pendidikan, penyuluhan, riset. Kemudian fungsionalisasi pranata lokal, seperti adat istiadat, tradisi dan norma-norma sosial yang mendukung upaya kerukunan.
g. Pada masa Menteri Agama RI Maftuh Basuni. Kabinet Indonesia Bersatu. 2004 – 2009
Pada masa Menteri Agama Maftuh Basuni, dilahirkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat.
Menurut Maftuh Basuni Keberadaan PBM Menag dan Mendagri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 telah menghasilkan keadaan hubungan antar umat beragama dan kerukunan beragama secara global dan sangat baik dari keadaan sebelumnya, meskipun beberapa masalah harus dilakukan ke depan.
PBM ini masih belum tersosialisasikan secara baik dan merata kepada masyarakat, termasuk juga kepada jajaran pemerintah daerah sampai tingkat terbawah. Siklus pergantian kepemimpinan pemerintah daerah yang dinamis melalui Pemilukada yang telah teratur setiap lima tahun, membuat keperluan sosialisasi PBM secara terus menerus menjadi semakin penting.
PBM mengatur tiga hal yaitu; Pertama, apa tugas-tugas kepala daerah/wakil kepala daerah dalam pemeliharaan kekrukunan umat beragama di daerahnya, termasuk bagaimana kaitan tugas-tugas itu dengan tugas kepala daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Kedua, amanat kepada pemerintah daerah untuk mendorong masyarakatnya segera membentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di setiap provinsi dan kabupaten/kota dan memfasilitasi FKUB itu agar dapat menjadi mitra pemerintah dan dapat menjalankan fungsinya sebagai katalisator aspirasi masyarakat. Ketiga, memberikan rambu-rambu kepada pemerintah daerah dalam proses pemberian izin mendirikan bangunan yang akan digunakan sebagai rumah ibadat. Hal ketiga ini dipandang perlu diatur, karena kehadiran suatu rumah ibadat di tengah-tengah masyarakat, selain menjadi simbul keberadaan suatu umat atau masyarakat pengguna rumah ibadat itu, juga berdampak terhadap masyarakat sekitarnya dalam interaksi antar umat beragama.
Menurut M. Ridwan Lubis Lubis peran FKUB pada tataran ideal keberadaan FKUB tidak lagi menjadi persoalan. Namun pada kenyataannya, kiprah FKUB belum sebagaimana yang diharapkan karena para pemuka agama belum berhasil menempatkan diri sebagai titik temu dari semua keragaman masyarakat. Oleh karena itu, penguatan FKUB secara politik memerlukan dukungan mulai dari eksekutif, legislatif dan yudikatif. Termasuk dari kalangan penggiat kerukunan khususnya kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat.
Penerbitan Peraturan Bersama (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 ini merupakan salah satu puncak hasil kearifan pemerintah dan masyarakat Indonesia. Peraturan Bersama Menteri (PBM) dirumuskan secara bersama dengan semua Majlis Agama tingkat Pusat (MUI, PGI, KWI, Parisada Hindu Darma, dan Walubi) melalui 11 kali seri pertemuan, dalam waktu enam bulan sejak Oktober 2005 sampai dengan diterbitkannya PBM itu yaitu tanggal 21 Maret 2006. Meskipun PBM itu kemudian ditandatangani oleh Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, tetapi pada hakikatnya PBM itu adalah hasil kesepakatan Majlis-Majlis Agama tingkat pusat yang kemudian disahkan oleh kedua Menteri itu.
Hubungan tugas Pemerintah memelihara ketentraman dan ketertiban mayarakat diwujudkan dengan penguatan regulasi dan sejumlah program kegiatan. Hubungan Pemerintah, FKUB, dan pemuka agama adalah sebagaimana yang diatur dalam PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 Pasal 8: Pemerintah bertugas memfasilitasi terbentuknya FKUB. Sedangkan FKUB bertugas membantu pemerintah dalam rangka membangun, memelihara dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dengan cara antara lain membangun komunikasi dengan pemuka agama dari seluruh komponen umat beragama baik yang sudah terwakili atau belum terwakil dalam FKUB.
Meskipun demikian, masih ada sejumlah hal yang masih harus ditata ke depan. Isi PBM itu masih belum tersosialisasikan secara baik dan merata ke masyarakat, termasuk juga kepada jajaran pemerintahan daerah sampai tingkat terbawah. Siklus pergantian kepemimpinan pemerintah daerah yang dinamis melalui Pemilukada yang telah teratur setiap lima tahun, membuat keperluan sosialisasi PBM secara terus menerus menjadi semakin penting lagi.
Masalah lain yang mungkin muncul ialah semacam kegamangan kepala daerah/wakil kepala daerah mengenai status hukum PBM ini. Kedudukan PBM sebagai peraturan Menteri membuat banyak orang mempertanyakan apakah PBM ini harus mengikat para kepala daerah/wakil kepala daerah. Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah memang terikat dengan keputusan Presiden, tetapi bagaimana dengan peraturan menteri. Atau peraturan bersama?. Mungkin Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah merasa lebih terikat dengan peraturan daerah daripada peraturan menteri. Dalam kaitan ini Menteri Dalam Negeri Moh. Maruf dalam kata sambutannya dalam acara sosialisasi I PBM pada tanggal 17 April 2006 di hadapan para wakil gubernur seluruh Indonesia menjelaskan bahwa PBM ini dapat dilihat dalam kerangka UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan dalam rangka UU Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam kerangka UU Nomor 32 Tahun 2004, PBM ini dikatakan sebagai salah satu bentuk penjabaran dari pasal 22 huruf a antara lain tentang kewajiban daerah dalam menjaga kesatuan, persatuan, dan kerukunan nasional dan pasal 27 ayat (1) huruf c tentang kewajiban kepada daerah dan wakil kepala daerah dalam pemeliharaan ketentraman dan ketertiban masyarakat, selain pasal 26 ayat (1) huruf b tentang tugas wakil kepala daerah untuk membantu kepala daerah dalam mengkoordinasikan instansi vertikal di daerah. Dalam kerangka UU Nomor 10 Tahun 2004 dikatakan oleh Menteri Dalam Negeri Moh. Maruf bahwa PBM ini terkait dengan pasal 6 ayat (3) dan pasal 25. Penjelasan Menteri Dalam Negeri Moh. Maruf ini dipandang masih belum memadai. Salah satu jalan keluarnya ialah pengadobsi seluruh atau sebagian isi PBM itu menjadi peraturan daerah atau peraturan gubernur/bupati/walikota sebagaimana telah dilakukan oleh sebagain daerah. Pelaksanaan PBM ini menjadi bagian integral dari sistem pemerintahan dan pembangunan daerah. Dengan pengadobsian PBM menjadi peraturan daerah itu maka ketiadaan sanksi dalam PBM yang menjadi faktor lemahnya suatu peraturan atau hukum, dapat dilengkapi oleh peraturan daerah itu.
Ke depan, dengan semakin besarnya tantangan kerukunan, peran dan pemberdayaan kepada FKUB sebagai mitra pemerintah di tiap Provinsi dan kabupaten/kota oleh pemerintah daerah mutlak perlu ditingkatkan, karena selama ini peran dan perhatian pemerintah daerah kepada FKUB belum merata secara maksimal. Pada saat Rekornas FKUB lahir pemikiran dan usulan penguatan FKUB melalui penguatan regulasi dari sekedar Peraturan Bersama Menteri menjadi Keputusan Presiden (Kepres) Apalagi dengan terwujudnya Asosiasi FKUB se Indonesia, tentu perlu diakomudir dalam regulasi Kepres.
h. Pada masa Menteri Agama RI, Lukman Hakim Syaifuddin, Kabinet Indonesia Bersatu II, Periode 2014 – 2019
Lukman Hakim Syaifuddin, dilantik oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono sebagai menteri Agama RI menggantikan Suryadharma Ali di Kabinet Indonesia Bersatu II, Periode 2014 – 2019.
Ia pencetus program penguatan Moderasi Beragama, maka dikenal sebagai bapak Moderasi. Moderasi Beragama dimaknai sebagai memahami dan mengamalkan ajaran agama sebagai jalan tengah, tidak ekstrem; baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri.
Indikator moderasi beragama menekankan pada komitmen kebangsaan, anti kekerasan, toleransi dan penerimaan terhadap tradisi.
Berdasarkan uraian di atas, dalam memelihara kerukunan beragama di Indonesia, implementasi kebijakan kerukunan beragama yang telah dilaksanakan sudah sesuai masalah serta berat tantangan konflik yang dihadapi pada era masing-masing pemerintahan.
Allahu ‘Aklam bi Showab.