وَقُلْنَا يٰٓاٰدَمُ اسْكُنْ اَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَاۖ وَلَا تَقْرَبَا هٰذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُوْنَا مِنَ الظّٰلِمِيْنَ ٣
Kami berfirman, “Wahai Adam, tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga, makanlah dengan nikmat (berbagai makanan) yang ada di sana sesukamu, dan janganlah kamu dekati pohon ini, sehingga kamu termasuk orang-orang zalim!”
Pasca pemilihan presiden sebentar lagi pilkada tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Tahapan-tahapan telah dimulai beberapa waktu lalu. Perkiraan pada bulan agustus mulai pendaftarannya. Dalam waktu yang tidak lama lagi, para tokoh dan merasa bagian dari tokoh terus mensosialisasikan secara tradisional seperti memasang baliho di jalan-jalan, silaturahim dengan berbagai tokoh dan kegiatan sejenisnya. Mereka juga menggunakan media online dan media sosial dalam upaya meningkatkan elektabilitas di tengah-tengah masyarakat.
Di era demokrasi, siapapun bisa mengikuti kontestasi politik. Persyaratan yang terlalu longgar dalam kontestasi politik ikut berkonstribusi lahir para pemimpin yang terkadang tidak memahami esensi tugas dari seorang pemimpin. Akhirnya mereka terjerat beragam kasus berkaitan pelanggaran moral maupun pidana.
Pada tahun 2022 sekitar ada 23 kepala daerah yang tertangkap KPK terkait Korupsi. Majalah Tempo menulis mulai tahun 2004 sampai 2022 ada sekitar 22 gubernur dan 148 bupati/walikota diciduk KPK atas dugaan korupsi, penyalahgunaan jabatan, dan penerimaan gratifikasi. Hal sama juga pada tahun 2023 terjadi kasus sama terjadi pada kepala daerah dengan kasus yang tidak jauh berbeda dari sebelumnya.
Baca juga : Pancasila dan Kebebasan Bertanggung Jawab
Dari sebagian data tersebut di atas menunjukan bahwa pemimpin tidak hanya sebatas mempunyai kekuatan elektabilitas, tapi juga mempunyai integritas dan profesionalitas yang tertanam pada dirinya. Sebab jika seorang pemimpin lahir dari modal “elektabilitas” dan (mohon maaf) dan berbekal “Isi Tas”, berpotensi besar akan melanggar nilai-nilai moralitas sebagaimana data-data tersebut di atas. Ironisnya, justru dalam prakteknya orang-orang yang mempunyai kedua modal tersebut lebih mudah untuk mencapai puncak karir dalam jenjang politik pada era demokrasi saat sekarang ini.
Jika merujuk kepada sejarah perpolitikan pada masa pertama adanya manusia, Islam telah memberikan contoh pada sosok nabi adam. Persaingan politik antara adam, malaikat dan iblis untuk menguasi kekhalifahan di dunia adalah persaingan yang penuh dengan intrik tingkat tinggi. Malaikat menyerang adam dengan potensi keturunannya sebagai pelanggar HAM, menumpahkan darah, merusak dunia, sedangkan iblis bersifat eklusifitas. Ia menempatkan diri sebagai kelompok darah biru yang paling pantas mendapatkan mandat sebagai seorang khalifah.
Tuhan sangat professional menentukan calon seorang khalifah yaitu elektabilitas yang lahir dari kemampuan intelektualitas, integritas, profesionalitas bukan pada kekuatan “isi tas”. Persyaratan tersebut ada pada adam, dan tidak ada pada diri malaikat dan iblis. Akhirnya, Tuhan memutuskan adam dan keturunannya sebagai khalifah di bumi.
Persoalan sekarang saat anak keturunan nabi adam menjadi penguasa, mereka bersaing dengan cara tidak elegan. Prediksi malaikat bahwa keturunan adam akan merusak bumi dengan menumpahkan darah dan sejenisnya terbukti. Penulis melihat saat sekarang ini adanya persaingan politik yang sudah tidak menggunakan nilai-nilai moralitas yang agung. Saat ini “perdebatan” dan “silat lidah” sebatas bumbu penyedap untuk mempromosikan siapa yang ingin diusung untuk menjadi pemimpin bukan siapa yang pantas menjadi pemimpin. Jika salah menggunakan bumbu penyedap tersebut maka pada kurun waktu tertentu bisa melahirkan penyakit-penyakit politik yang sangat akut dan menjadi bom waktu yang sangat mengerikan. Salah satu bakteri yang telah tumbuh laksana jamur di musim hujan yaitu adanya ketidakpercayaan terhadap para calon kepala daerah. Sebagian masyarakat apatis, lalu muncul pola pikir pragmatis dengan kalimat yang sangat menyedihkan, “siapapun yang bayar maka ia yang menang”.
Baca juga : Kisah Dua Kursi VIP
Selain prediksi malaikat, pola hidup model iblis pun bermunculan. Sebagian orang ramai-ramai menunjukan diri tanpa malu-malu sebagai orang yang baik dari keluarga baik-baik dan bahkan mengaku-ngaku dengan sombongnya sebagai bagian dari keturunan “darah biru” atau keturunan “manusia suci”. Mereka terus mengkampanyekan dirinya secara terus-menerus melalui berbagai mimbar dan terus membangun legitimasi tersebut untuk mendapatkan imbalan-imbalan kekuasan politik. Prediksi malaikat dan pola hidup model iblis telah menyatu kepada sebagian anak-anak cucu nabi adam dalam rangka mencapai puncak karir dan sudah kehilangan rasa malu pada dirinya dan kehilangan rasa “kasih sayang” kepada sesama saudaranya.
Sebagian keturunan nabi adam memang sudah jauh dari kakeknya. Saat Tuhan memerintah adam dan istri nya untuk tinggal di surga, ia pernah melakukan kesalahan satu kali (akibat tipu daya iblis), dan ia menangis seraya bertaubat kepada Allah selama 40 tahun. Pada Tuhan dan nabi adam sendiri menyadari perbuatan yang dilakukan nabi adam adalah perbuatan bukan atas inisiatif dirinya, tapi rekayasa dari iblis laknatullah.
Terlepas dari grand desain Tuhan kepada nabi adam, penulis melihat dari sisi kejujuran nabi adam yaitu mengakui atas kesalahan yang telah dia lakukan. Ini adalah watak seorang pemimpin yang sangat gentleman dan bertanggung jawab atas segala yang ia lakukan. Ia tidak malu-malu menebus satu kesalahan dengan melakukan taubatan nasuha selama 40 tahun.
Baca juga : Doa Unik dari Prof Khoiruddin
Ironis memang saat sekarang ini, sebagian calon pemimpin yang dirinya sendiri sudah mengetahui tidak mempunyai kapabilitas untuk memimpin dan mempunyai cacat hukum dan moral dengan bangga memasang baleho bertulis, “ kami hadir untuk membangun negeri menjadi lebih baik”.
Di negeri yang demokratis memang demikian, setiap orang boleh bermimpi seindah mungkin. Sebab bermimpi itu gratis. Namun mereka juga lupa bahwa orang bermimpi adalah orang yang sedang tidur. Pada tidur dan mabuk secara hukum sama tidak terkena hukum. Ketika ingin menjadi pemimpin, memang dia harus bangun dari tidur realita kehidupannya dan sadar akan siapa dirinya. Ketika sudah mengetahui dirinya dengan baik, baru melangkah lagi membangun masyarakat menjadi lebih baik. Bukankah demikian?