Oleh : Dr. Imam Ghozali, S.H., M.Pd.I (Wakil Ketua III STAIN Bengkalis)
Kata open house populer tahun 1998-an. Istilah tersebut digunakan untuk para pejabat ketika di bulan Idul Fitri menerima tamu-tamu yang datang ke rumahnya. Biasanya hanya sebatas para kolega, dan orang-orang yang terikat kerja dengannya terutama di kalangan pemerintahan dan pengusaha. Namun open house justru popular karena Gus Dur. Salah satu penyebabnya adalah keterbukaan rumahnya menerima tamu yang beragam kelas mulai dari pejabat sampai rakyat biasa. Jelas, ini merupakan tradisi yang belum pernah terjadi oleh para pejabat sebelumnya. Gus Dur benar-benar menjadikan rumahnya di Ciganjur sebagai rumah rakyat, bahkan ketika menjadi presiden kesakralan Istana negara yang sering hanya dapat disentuh oleh kelompok menengah ke atas, berubah menjadi Istana rakyat yang siapa saja bisa berkunjung ke Istana tersebut.
Open house pada masa dulu merupakan ruang silaturahim dan diskusi. Segala problem bisa dibahas, mulai dari persoalan kelas ikan Kakap sampai pada level kelas ikan Teri. Di forum diskusi itu tidak ada hak istimewa. Seorang suku pedalaman boleh datang dan mengadukan masalahnya, sebagaimana Rasulullah menerima suku pedalaman yang ingin mengajak diskusi tentang problematika kehidupan. Tidak ada privilege. Semua di ruangan itu sama. Bahkan ketika Rasulullah mencoba membangun strategi politiknya dengan memberi posisi strategis kepada para bangsawan di ruang diskusi, Allah menegurnya sebagai bentuk langkah nabi yang kurang bijak. Sebab para pejabat dan bangsawan adalah orang-orang yang penuh dengan kepentingan-kepentingan diri sendiri, sedangkan rakyat biasa membawa persoalan yang mewakili suara mereka tanpa batas.
Baca juga: Puasa dan Ilmu Padi
Open house sebagai ruang diskusi merupakan ruang “dengar pendapat”, yang sebagian orang mendengar, dan sebagian lagi berpendapat. Sebagai ruang diskusi, tidak semua apa yang disampaikan bisa diterima, dan tidak semua pendapat bisa menjadi solusi. Bahkan bisa jadi, orang-orang yang berada di ruangan tersebut belum tentu bisa menerima nya dengan segala kepuasaan ketika mereka kembali ke tempat masing-masing. Tapi, tradisi diskusi adalah jalan ideal membuka kran dialog segala persoalan yang komplek. Sebab memang open house bukan menjadi penyelesai segala persoalan. Di alam demokrasi, persoalan tidak bisa diselesaikan semua. Ada aturan main tentang makna kebebasan, tanggungjawab dan segala regulasi yang mengaturnya. Suara mereka memang harus didengar, dan mereka membutuhkan jawaban. Mereka juga membutuhkan penyelesaian dengan lebih arif dan memberi pemahaman semaksimal mungkin tentang makna demokrasi dalam pengertian subtantif, bukan sebatas demokrasi formatif.
Penyelesaian dengan pendekatan subtantif berarti pendekatan dengan cara memanusiakan mereka secara manusiawi (ngewongke-Jawa). Meskipun dalam kehidupan, manusia mempunyai keberagaman status sosial, Islam tetap menekankan kepada umatnya agar bisa berkomunikasi dengan wajar dan tidak terganggu oleh sekat-sekat status sosial berupa jabatan, keturunan dan kekayaan. Islam mendidik bahwa nilai kehidupan yang paling berharga adalah persaudaraan atas dasar iman dan Islam. Persaudaraan ini sudah tidak melihat status manusia pada asesoris dunia, tapi mengukur persaudaraan atas dasar sebagai sama-sama makhluk nya Allah. Ketika ini menjadi standar persaudaraan, maka sudah tidak ada kesombongan pada status yang ada pada dirinya. Mereka semua sama dalam ikatan persaudaraan dalam rangka mengabdi kepada Allah swt. Tentu saja, dasar pengabdian kepada-Nya melahirkan manusia ikhlas menerima masukan dan kritikan yang membangun. Apapun namanya, ketika hanya mencari ridha allah, maka semua bernilai ibadah.
Baca juga: Kado Terindah dari Tuhan
Semoga pada bulan syawal, selain kita masih membukan pintu-pintu rumah menerima tamu saudara-saudara kita yang ingin bersilaturahim, ada yang lebih penting lain yang adanya keterbukaan hati menerima dan memberi maaf dengan tulus dan penuh persaudaraan.