Oleh : Imam Ghozali (Wakil Ketua III STAIN Bengkalis)
Beberapa hari ini agak sedikit viral tentang fatwa MUI tentang salam lintas agama. Kenapa viral? Karena masyarakat Indonesia mempunyai mempunyai latarbelakang agama yang berbeda-beda. Bahkan dalam satu agama mempunyai keberagaman aliran (sekte) dalam merealisasikan ajarannya dalam kehidupan sehari-hari.
Islam muncul beragam aliran antara lain: Khawarij, Syiah, Asy’ariyah, Mu’tazilah dan masih banyak lagi (ada buku lama tulisan KH.Sirajuddin Abas telah membaca panjang lebar tentang aliran dalam Islam). Setiap aliran juga masih bercabang lagi. Dari aliran-aliran tersebut mempunyai standarisasi ulama yang berbeda-beda yang digunakan sebagai rujukan dalam memahami dan mempraktekan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.
Selain Islam, agama-agama lain juga mengalami persoalan lahir beragam sekte dan mengalami problematika internal yang tidak kunjung selesai hingga saat sekarang ini. Bahkan diantara mereka juga terkadang saling menuduh kafir dan sesat.
Dalam ajaran Islam sangat komplek hal-hal yang mempunyai potensi perbedaan pandangan baik berkaitan dengan akidah, ibadah, politik dan muamalah lainnya. Tulisan ini tidak cukup untuk membahasnya.
Contoh kecil tentang nikah mut’ah (nikah dibatasi oleh waktu, satu minggu, satu bulan dan seterusnya). Aliran Syi’ah masih memperbolehkan nikah tersebut hingga saat sekarang ini dengan alasan bahwa itu bagian dari penerapan syariat Islam. Sebab perintah nikah mut’ah adalah perintah nabi, berarti bagian dari sunnah yang dikerjakan mendapatkan pahala.
Sedangkan madzhab empat yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali memandang nikah mut’ah hukum nya haram. Sebab menurut mereka pernikahan adalah suatu ikatan yang agung dan sakral yang menyangkut beragam hukum akibat dari perkawinan tersebut seperti waris, wali, hadhanah dan lain-lain. Ia ikatan yang sangat kuat dan tumbuh dari kasih sayang yang tulus.
Satu lagi tentang dosa. Kelompok aliran khawarij menilai bahwa dosa tidak ada yang disebut dosa kecil. Semua dosa adalah dosa besar. Menurutnya, suatu keimanan seorang muslim harus kaffah dan tidak boleh melakukan dosa sekecil apapun. Jika seorang muslim melakukan dosa, berarti telah mengingkari status keimanannya dan keluar dari Islam. Itu sebabnya aliran tersebut sangat mudah sekali mengkafirkan seorang muslim yang melakukan dosa dan sudah dianggap halal darah.
Kelompok Islam aliran asy’ariah dan al-maturidiyah yang dianut oleh ormas besar Islam seperti NU melihat dosa kecil tidak sampai dihukumi sebagai dosa besar. Seperti umpama saat saya berjalan di Mall atau Plaza melihat gadis cantik, lalu ia melihat ku dengan tersenyum sebenarnya sudah melakukan maksiat atau dosa mata. Cara mengilangkannya sebenarnya cukup dengan istighfar dan tidak mengulangi lagi. Bahkan jika mengikut dawuh sayidina Ali bagian dari kenikmatan. Menurutnya, “Pandangan pertama pahala mu, pandangan kedua adalah dosamu”.
Dua peristiwa hukum tersebut di atas sangat berdampak pada kehidupan sosial. Bahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pandangan hukum model Khawarij sangat mengerikan dan berpotensi terjadi gejolak sosial yang sangat membahayakan bukan hanya pada persoalan pandangan keagamaan, tapi juga pada keutuhan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemaksaan pandangan agamanya yang sangat eksklusif tersebut menimbulkan diskriminasi presepsi, padahal kebenaran tafsir manusia atas firman Tuhan bersifat relatif. Ketika hal tersebut dipaksakan sebagai satu-satunya rujukan kebenaran, maka gejolak sosial bisa memuncak pada peperangan saudara sesama agama atau berbeda agama sebagaimana yang telah terjadi di masa lalu.
Pengalaman masa lalu saat masih kecil, guru-guru ku ketika masuk kelas dan memulai pelajaran biasanya mengucapkan kalimat “selamat pagi” jika dipagi hari, “selamat siang” jika di siang hari dan “selamat sore” jika di sore hari. Ketika sekolah semakin tinggi saya belajar bahasa Inggris, Arab dan Jerman. Saya diperkenalkan kalimat seperti “good morning”, “guten morgen”, dan “shobahul khair”. Semua nya mempunyai arti makna universal, yaitu mendoakan kebaikan. Siapapun bisa menggunakan dan darimana latarbelakang agama bisa menggunakan doa kebaikan tersebut.
Dulu juga saya sering menggunakan kata “Sang Hyang Widhi” untuk menyebut kata “Allah”, yang ternyata kata tersebut berasal dari agama hindu yang artinya Tuhan Yang Maha Esa. Tapi sampai detik ini juga penulis memahami makna “Sang Hyang Widhi” adalah “Alloh” yang kami sembah dengan pendekatan “Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah swt”. Jadi kalimat Sang Hyang Widhi tidak merubah keimanan dan keyakinanku. Tiap hari saya tetap sholat lima waktu dan tidak pernah sekalipun pergi ke Pura atau menyakini Tuhan milik orang Hindu yang menggunakan kata tersebut dalam ibadah nya.
Saya dan Masyarakat di kampung ku lebih akrab kata “sembahyang” daripada kata “sholat”. Ternyata setelah saya telusuri, kata sembahyang juga berasal dari terminologi ibadah orang hindu “sembah” dan “hyang”. Itu Hindu banget. Mbok De ku selalu menyuruhku untuk “sembahyang”. Jangan dikira mbok de ku orang abangan. Justru mbok de ku adalah orang yang sangat taat sekali beribadah kepada Allah swt. Selain sholat lima waktu, sholat-sholat sunnah seperti sholat duha, tahajud dan lain-lainnya senantiasa menjadi rutinitas yang hampir tidak pernah ditinggalkan. Meskipun demikian ia menggunakan kata “sembahyang” untuk sholat dan “langgar” untuk mushola. Saya pun bergegas ke tempat wudhu (padasan) lalu sholat wajib model Islam; subuh, dhuhur, ashar, maghrib, dan isa.
Kata Tuhan juga bukan berasal dari Islam, tapi dari bahasa sanskerta yang sering menjadi penggunaan istilah untuk agama hindu yaitu “Tuh” dan “Hyang” yang artinya kepala para Tuhan atau pimpinan Tuhan. Jadi ini tidak Islami banget. Islam memperkenalkan Tuhan dengan kata “Ilahun” dan Allah dalam kalimat “Tidak ada tuhan selain Allah”.
Apakah penggunaan kata “Tuhan” telah mendegradasi keimanan umat Islam? Saya kira tidak. Bahkan sampai detik ini, umat Islam di kampung-kampung masih akrab dengan kata “Tuhan”, “Sang Hyang Widhi”, “langgar” dan “sembahyang”. Bahkan kalimat dalam Pancasila sila pertama juga berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, bukan “Allah Yang Maha Esa”. Tapi realita Sejarah, para ulama Islam tidak mempersoalkan. Sebab dalam kontek ke-Indonesia-an, penggunaan kata tertentu telah menjadi suatu budaya bukan suatu keyakinan. Para penganut masing-masing agama telah memagari keimanan masing-masing sebagaimana penganut agama Islam dengan konsep “lakum dienukum wali yadien”. Artinya dalam hal keimanan, istilah-istilah yang bersliweran yang “ngefek” sama sekali terhadap perubahan perilaku ibadah seseorang penganut agama.
Jika kata “Ketuhanan Yang Maha Esa” saja tidak dipersoalkan, kenapa ucapan salam menjadi persoalan?. Apakah kalimat “Ketuhanan” kalah sakral nya dengan kalimat “Assalamu’alaikum”, “salam Sejahtera” shalom, dan Om Swastyastu. Apa bedanya kalimat tersebut dengan kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang jelas-jelas juga bukan berasal dari Islam?, apakah Islam dipaksa menggunakan kata “Tuhan” untuk mengganti “Allah”?. Kenapa yang lebih sakral menyangkut keimanan justru tidak dipersoalkan?
Kenapa kita tidak mempersoalkan kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang jelas mempunyai arti “Tuh Hyang Yang Maha Esa” adalah Tuhannya orang Hindu? Apakah tauhid umat Islam hancur gara-gara mengucapkan sila pertama dalam Pancasila atau hatinya tetap yang dimaksud “Tuhan” adalah “Allah” dalam hati setiap muslim?. Ternyata tidak “ngefek” sama sekali terhadap keimanan umat Islam. mereka yang mengucapkan sila pertama dari pancasila juga tetap sholat dan pergi haji ke Baitullah di Mekah.
Dari paparan tersebut sebenarnya sudah clear, bahwa kalimat “ketuhanan” yang merupakan resapan bahasa sanskerta menjadi ciri khas penggunaan bahasa resmi agama hindu dan menjadi kata sesembahan orang hindu bisa diterima menjadi sila pertama Pancasila yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pada sisi ini, ulama muslim yang terkumpul dalam sidang PPKI tidak mempersoalkan sama sekali. Sebab fungsi kata dan keyakinan dalam kehidupan sehari-hari sering berbeda-beda penerapannya. Sebab betapa sulitnya para pendiri bangsa merumuskan keberagaman suku, etnis, budaya dan agama dalam kalimat-kalimat di konstitusi. Lagi-lagi kearifan dan kedalaman ilmu para pendiri bangsa melakukan kesepakatan dengan menggunakan terminologi agama tertentu untuk digunakan seluruh penganut agama yang berbeda-beda.
Kini para pejabat negara telah menggunakan kata salam tidak hanya “Assalamu’alaikum”, tapi menggunakan salam lanjutan dari agama lain seperti “salam Sejahtera” shalom, dan Om Swastyastu”. Sebagai kepala negara, kepala daerah atau pejabat publik adalah pejabat yang harus hadir untuk semua golongan agama. Pertimbangan kedua, tentu saja pengucapan salam bukan bagian dari kalimat tauhid yang menyebutnya keluar dari agamanya. Ucapan tersebut tidak sesakral “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai bagian keyakinan yang dimiliki oleh masing-masing orang. Itupun orang Islam menggunakan kalimat tersebut dalam Konstitusi sebagai perwujudan pada tafsir kata Allah Yang Maha Esa.
Atas dasar pemikiran ini saya kira, para pejabat seperti kepala negara, kepala daerah dan kementrian-kementrian seperti kementrian agama menggunakan ucapan salam lintas agama adalah perwujudan budaya bukan masuk pada keyakinan. Sebagaimana penggunaan kata-kata atau kalimat yang telah penulis jelaskan di atas. apalagi para pemimpin yang mempunyai tugas untuk membangun keharmonisan lintas agama, saya kira mencari formula doa sebagai kepentingan administrasi dan penghormatan keberagaman semata.
Tentu saja ada pro dan kontra dan itu hal yang biasa. Pandangan Kementrian agama dan MUI berbeda. Itu hal yang sangat lumrah sekali. Penulis sudah terbiasa berbeda pendapat dalam membahas persoalan hukum dan bahkan menjadi tradisi saat kami melakukan sawir (musawarah hukum) saat masih menjadi santri di Pesantren. Boleh berbeda pendapat, tapi tidak boleh saling meng-kafir-kan. Meminjam istilah Gus Dur, “Gitu Aja Kok Repot”.