اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا سَوَاۤءٌ عَلَيْهِمْ ءَاَنْذَرْتَهُمْ اَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَ
خَتَمَ اللّٰهُ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ وَعَلٰى سَمْعِهِمْۗ وَعَلٰٓى اَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَّلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌࣖ
“Sesungguhnya orang-orang yang kufur itu sama saja bagi mereka, apakah engkau (Nabi Muhammad) beri peringatan atau tidak engkau beri peringatan, mereka tidak akan beriman. Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka. Pada penglihatan mereka ada penutup, dan bagi mereka azab yang sangat berat”.
Tulisan sebelumnya membahas sedikit tentang peran ulama dengan judul “Dibawah Cahaya Keagungan Tuhan”. Pada pertemuan kesembilan penulis memperkuat tulisan tersebut tentang pentingnya kaderisasi ulama di era modern saat sekarang ini. Ada dua yang mendasari tulisan ini lahir; pertama, ketika penulis mengikuti kegiatan MTQ di Kota Dumai beberapa hari lalu. Kegiatan MTQ ini telah membuka cakrawala bahwa penulis tentang arti penting ulama dalam membangun sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Meskipun secara kasat mata, kegiatan ini bersentuhan dengan berbagai kepentingan, penulis tetap optimis bahwa setiap Kepala Daerah mengingingkan masyarakat mencintai Al-Qur’an, mencintai Al-Hadist, mencintai karya ulama dan mencintai agama nya. Proses keinginan besar tersebut tidak bisa diwujudkan dalam hitungan hari perlombaan. Ada proses sangat panjang untuk melahirkan masyarakat Islami sebagai jalan hidup (way of life)yang dicita-citakan oleh pemerintah dan masyarakat.
Baca juga : Konfercab Nirakati Umat
Kedua, penulis mengikuti kegiatan Konferensi Cabang Nahdlatul Ulama (Konfercab). Acara tersebut adalah suatu jalan untuk mencari sosok ulama dalam memimpin suatu organisasi NU dan sosok panutan masyarakat dalam hal berkaitan dengan persoalan ubudiyah, akhlak al-karimah, dan kegiatan sosial lainnya dalam dimensi yang sangat luas. Sebab meskipun di era digital saat sekarang ini, masyarakat mudah mencari sumber-sumber ilmu pengetahuan dan persoalan-persoalan berkaitan dengan keagamaan, mereka tidak bisa melepaskan diri dari watak sosial (zoon politicon) yang bersentuhan langsung antara manusia dengan manusia lain di dunia nyata dalam bentuk perkumpulan, organisasi, atau juga instrument sosial yang sah seperti RT, RW, desa dan seterusnya. Sebab dibalik kemajuan zaman sebenarnya manusia juga semakin merasa kesepian dan akan terus-menerus mencari jawaban untuk mengatasi hal tersebut. Jawaban yang paling mudah untuk menyelesaikan yaitu ketika mereka bisa bertemu, berkumpul dan menyampaikan segala persoalan. Interaksi tersebut ada nilai-nilai perkumpulan yang tidak ada pada dunia maya, yaitu hubungan emosional yang terbangun secara mendalam. Perasaan yang mendalam dalam wujud cinta kasih, saling pengertian dan saling memahami dalam berbagai aspek ini yang kemudian menjadi jalan menyelsaikan masalah.
Kini manusia semakin cerdas intelektual. Siapapun yang kreatif dan terus-menerus belajar dari berbagai media yang ada, ia akan menjadi orang hebat, bisa menjadi ilmuwan atau ulama. Namun sayang nya, syarat menjadi ulama hakiki adalah bukan sebatas pada ukuran-ukuran luasnya ilmu pengetahuan. Teknologi modern yang lahir saat ini laksana pasar bebas, apa yang diinginkan dalam wujud apa saja bisa didapatkan dan dinikmati seketika. Manusia saat sekarang ini benar-benar telah dimanjakan dengan fasilitas yang super canggih. Sehingga sebagian anak-anak muda mulai melupakan tradisi para pencari ilmu pada masa dulu yang sangat “mematuhi proses”, “interaksi dengan sumbernya” dan “menjaga akhlak yang agung”.
Ketika ketiga tradisi ini sudah hilang pada diri seorang pencari ilmu, ia mempunyai potensi jenius pada sisi intelektual, kering pada sisi emosional dan spiritual. Ilmu “sundul langit”, terkadang ucapannya, isi dalil-dalil nya hanya bertujuan untuk menghujat dan caci maki. Dalil Al-Qur’an dan Hadist hanya digunakan sebagai penguat dari caci-makian yang terus disebarkan ke seluruh penjuru mata angin tanpa merasa bersalah. Bahkan kadang ada rasa bangga karena bisa mengujat orang-orang yang dianggap sebagai musuh dengan leluasa. Menganggap dirinya sudah hebat, dan orang lain dianggap tidak bermartabat.
Baca juga : Konfercab PCNU yang Unik dan Dramatis
Berdasarkan persoalan-persoalan tersebut pendidikan calon ulama membutuhkan wadah yang representatif. Salah satu nya yaitu Perguruan Tinggi Agama Islam. jika mengacu kepada sejarah, perguruan tinggi telah menjadi wadah efektif melahirkan ulama-ulama dan para ilmuwan yang mempunyai kredibilitas mengagumkan. Penulis telah membuka lembaran sejarah, saat Islam mencapai puncak kejayaan pada masa Dinasti Abbasiyah, ada dua tempat yang mempunyai peran penting dalam melahirkan ulama-ulama dan ilmuwan yaitu Perguruan Tinggi dan Perpustakaan. Dua tempat ini merupakan tempat yang sangat bergensi. Tidak ada tempat lebih bergensi dari kedua tempat tersebut. Perguruan tinggi dan perpustakan menjadi tempat pertemuan para ulama mengkaji rahasia-rahasia Al-Qur’an dan Hadist yang kemudian hari mampu menginspirasi penelitian-peneletian ilmu pengetahun baik ilmu eksasta maupun non-eksasta. Maka lahirlah ulama yang prolific, bukan hanya luas ilmu agama, dan ilmu umum, juga dalam ilmu tauhid, indah akhlak nya dan damai saat memandang wajah,tubuh dan perilakunya.
Kini kelihatannya kedua tempat yang dulu sebagai tempat yang asyik menjadi rujukan para pencari ilmu sepertinya mulai terkikis di sebagian tempat. Mahasiswa dan juga orang tua mulai melihat perguruan tinggi sebagai jalan untuk mendapatkan pekerjaan. Tujuan tersebut memang tidak bisa dipungkiri. Sistem kehidupan modern telah menuntut sebagian pencari ilmu mengambil jalan pintas untuk mendapatkan hal tersebut dan terkadang melupakan hakikat dirinya sebagai pembawa obor ilmu pengetahuan. akibatnya, ruh perguruan tinggi tidak lagi sebagai lembaga penegak ilmu-ilmu syariat dan penjaga panji-panji peradaban, tapi sudah seperti layaknya tempat untuk memproduksi para pekerja-pekerja di masa depan. Padahal, kini di depan mata kita sudah terlihat, pada sebagian pekerjaan sudah dikendalikan oleh robot dan tenaga mesin. Pekerjaan-pekerjaan sudah tidak membutuhkan manusia lagi sebagaimana sebelumnya.
Jika niat mencari ilmu terbatas hanya untuk mendapatkan pekerjaan, maka sungguh sangat rugi. Ilmu pengetahuan harus dikembalikan lagi pada rel yang tepat yaitu sebagai jalan mengenal Allah semakin dekat dan mengasikan melalui ibadah, belajar, bekerja dan mentransfer ilmu pengetahuan. Ketika ilmu pengetahuan dan hasilnya diletakan untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka penulis mempunyai keyakinan bahwa Allah akan mencukupi kebutuhan para pencari ilmu, betapapun modern-nya dunia saat ini. Mendidik kesadaran ke arah tersebut kepada para pencari ilmu bukan hal yang mudah dan menjadi pekerjaan rumah perguruan tinggi yang tidak kalah pentingnya dari urusan administrasi yang sering menghantui para dosen-dosen dan pendidik lainnya.