Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Meski Covid-19 telah menyetak kesadaran dan kesiapan untuk aktif di era digital. Meski telah sirna, tapi dampak “abrasi kemanusiaan” begitu terasa. Sebab, tanpa sadar eksistensinya telah menggerus beberapa dimensi adab (moral) yang seyogyanya terjaga. Hampir semua dimensi interaksi yang sebelumnya face to face terganti melalui interaksi digital tanpa ruh. Dunia perbankan, transaksi ekonomi, bahkan dunia pendidikan tak kuasa menahan kuatnya arus digitalisasi. Meski dibelahan peradaban yang sudah mapan pilihan ini merupakan pilihan terbaik, namun bagi belahan peradaban yang belum mapan (rendah) sebenarnya dunia digital justeru belum layak atau belum waktunya digunakan. Sebab, banyak variabel era digital yang tak mampu dipahami dan digunakan secara baik, benar, dan beradab.
Menurut Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari menyebutkan bahwa “adab bermakna menerapkan segala yang dipuji oleh orang, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Sebagian ulama juga mendefinsikan, adab adalah menerapkan akhlak-akhlak yang mulia.” Cerminan terlihat pada tujuan kenabian dan akhlak Rasulullah SAW. Berkaitan hal ini, pepatah Arab mengatakan “al-adabu fauqal ‘ilmi” (adab lebih tinggi dibanding ilmu).
Ada beberapa catatan atas ketidaksiapan memilih pilihan era digital yang tanpa ruh dan adab, antara lain :
Pertama, Hilangnya komunikasi verbal dan non verbal (silaturrahim) yang sarat makna dan pesan. Interaksi dan komunikasi dominan dilakukan secara online. Pesan memang tersampaikan, namun ruh pesan acapkali terabaikan. Hilangnya komunikasi verbal berakibat kesalahan memaknai pesan yang disampaikan. Akibatnya, acapkali terjadi miskomunikasi yang berujung kesalahfahaman. Bahkan, komunikasi media digital di tangan manusia tak beradab dijadikan media mempublikasikan fitnah dan hujatan kebencian tanpa bertanggungjawab. Bagi manusia berperadaban tinggi, semua “cuitan” melalui media digital akan diterima dengan bijak dan dicari kebenarannya. Media digital digunakan untuk mencerdaskan dan digunakan untuk membangun peradaban. Namun, bagi manusia berperadaban rendah dan tak beradab, media digital digunakan untuk menyebar isu negatif, kebencian, fitnah, dan menghancurkan peradaban. Meski di era digital jumlah informasi yang berisi peradaban tinggi lebih dominan, namun kurang memperoleh sentuhan. Sementara informasi yang berisi karakter manusia berperadaban rendah dan rendahan justru menarik perhatian dan mudah diingat.
Kedua, Mudah terprovokasi pada kesalahfahaman atas keterbatasan komunikasi era digital. Keterbatasan penjelasan verbal kalah oleh kecepatan informasi digital meski akurasi kebenarannya belum tentu valid. Demikian mudah informasi di dunia maya dipenggal-penggal sesuai yang diinginkan. Informasi yang tak utuh tentu menyebabkan kesalahan dalam memaknai pesan.
Ketiga, Hilangnya moralitas, kejujuran, dan sisi kemanusiaan. Informasi tak bertanggungjawab demikian mudah dipublikasi. Sumber penyebar informasi tertuang pada nama, namun tanpa wujud. Eksistensinya bagai hantu yang punya nama, tapi tanpa tubuh dan wujud. Interaksi kemanusiaan hilang berganti komunikasi kepentingan sebatas syarat perantara yang penuh ambisi. Tujuan menanamkan moral berubah menarik investasi berselubung era digitalisasi. Anehnya, para pengawas interaksi sepi dan membisu seakan melakukan pembiaran tak terpuji yang terjadi.
Era digital tak semestinya dibiarkan bebas tanpa batas merambah semua dimensi. Ada wilayah yang perlu dipagar supaya digitalisasi tak menguasai nilai-nilai sakral yang ada. Beberapa wilayah dimaksud antara lain :
Pertama, Dunia pendidikan. Ketika Covid-19 menerpa, seiring perubahan bentuk interaksi proses belajar mengajar dilakukan melalui online. Interaksi yang konon maju, namun tak pernah dievaluasi dampaknya. Bagi pemilik peradaban tinggi, sistem yang demikian tak banyak berpengaruh pada kualitas interaksi. Namun, bagi pemilik.peradaban rendah, sistem ini justeru semakin memperparah “carut marut” kualitas pendidikan. Kerenggangan murid dan guru terjadi. Keseriusan menuntut ilmu dari membaca kitab berubah menjadi mencari “barang jadi” bahkan acapkali sebatas “mencuri” (plagiasi). Semua dilakukan serba instan tanpa mengedepankan kualitas dan pertanggungjawaban, baik secara hotizontal apatahlagi vertikal.
Kedua, Wilayah komunikasi kekeluargaan. Pada konteks ini, komunikasi yang dimaksud komunikasi yang berdimensi interaksi keluarga inti, keluarga sedarah, keluarga ikatan pernikahan, keluarga sekitar tempat tinggal, atau pertemanan. Komunikasi begitu intens dan akrab bila berjauhan, namun ketika bersua justeru serasa berjauhan. Semua sibuk dengan gadget yang digenggam. Suasana terasa sepi dan asing. Tak ada interaksi dan kehangatan komunikasi. Hidup bagai hanya diri dan gadget dengan berbagai fitur yang tersedia.
Ketiga, Wilayah penamanan moral (akhlak). Akibat dominasi interaksi serba “daring”, penanaman akhlak menjadi terhambat. Padahan, penanaman akhlak menekankan pada aspek kenyataan (realitas) yang bisa dilihat dan dipraktekkan. Meski era digital menawarkan berbagai fitur visual dan verbal yang menyajikan nilai-nilai moral, namun belum mampu menggantikan interaksi secara langsung yang menjelaskan lebih komprehensif.
Apa yang disuguhkan era digital atas nilai dan prilaku akhlak acapkali terbatas. Akibatnya, nilai-nilai moral dan kemanusiaan menjadi terbatas dan tersingkirkan pula.
Keempat, Wilayah ekonomi, terutama agar terhindar prilaku penipuan. Meski transaksi ekonomi era digital tumbuh subur dan memangkas kontak langsung dan waktu, namun masih tersisa transaksi yang mengarah pada gharar.
Kelima, Wilayah hukum. Pada dimensi ini, era digital berperan positif dalam penegakan hukum di negeri ini. Melalui kekuatan era digital yang mempu menembus dimensi dan bergerak bagai kilat, banyak fenomena yang tertutup (selama ini) justru terbuka. Mulai pemandangan hidup hedonis, glamour, sisi kelam keadilan, pungli (bahkan menjurus perampokan), dan kejahatan lainnya terbuka menganga. Berbagai respon muncul beraneka ragam. Mulai ungkapan biasa-biasa saja, sudah tradisi, rahasia umum, terkejut, heran, dan varian respon lainnya. Bahkan acapkali pelakunya mereka yang tak dimungkinkan akan melakukannya. Sedangkan medan operasinya dipusat “keamanan” yang tak mungkin terjadi. Semua hanya mampu berkata “mereka juga manusia”. Tapi, sebelum terkuak, acapkali “mereka” merasa paling suci dan benar. Andai tidak di era digital, mungkin semua tersimpan rapi dalam “peti besi”. Sungguh, pepatah pernah menyebutkan, “tempat yang paling aman adalah tempat yang paling berbahaya”. Penjahat yang pintar pasti menerapkan prinsip “membasuh muka dengan batu dan tidur beralaskan aliran air”. Pepatah yang sarat makna bagi mereka yang berfikir, tamparan keras bagi pemilik akal sehat, dan ukuran kualitas manusia bagi pemilik harga diri. Tapi bagi manusia tanpa rasa, moralitas bukan standard utama, tapi apa yang diinginkan tercapai meski menghalalkan semuanya.
Meski era digital telah memberikan kontribusi bagi peradaban, namun kesiapan masyarakat atas era digital perlu diperhatikan. Jangan sampai bak pepatah “bagai si kudung (tak berjari *pen) mendapatkan cincin”. Ia senang dan bangga memiliki cincin, namun tak sadar kemana akan disarungkan cincinya. Sebab, cincin untuk asesoris jari, sementara ia tak memiliki jari. Ia senang memasuki era digital, tapi tak paham sehingga menggunakannya tanpa moral (adab). Sungguh sikap yang demikian indikasi kehancuran peradaban dan gagalnya fungsi kekhalifahan yang diamanahkan oleh Allah pada manusia.
Sungguh, ramadhan membuka peluang untuk membangun kembali adab yang telah hilang ditelan kepentingan nafsu duniawi. Melalui media ramadhan, adab manusia kembali diberi amunisi vitamin untuk menyentak keimanan dan peng-hambaan yang padam. Jangan sampai hadirnya ramadhan tak mampu menyentuh dan menyentak keimanaan diri akibat karat (kekufuran) yang menggelincirkan frekuensi penghambaan.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.