Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Manusia merupakan ciptaan-Nya yang sempurna. Semua potensi dianugerahkan-Nya secara dinamis. Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “Sungguh, Kami telah Menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS. at-Tin : 4).
Sungguh, ayat di atas berkaitam dengan 3 (tiga) ayat sebelumnya. Setelah Allah bersumpah dengan empat nama, yaitu : at-Tiin, az-Zaitun, Thuurisiiniin, dan al-Baladil Amiin (QS. at-Tin : 1-3), maka ayat 4 merupakan jawaban atas sumpah-Nya. Lalu, Allah ciptakan manusia dengan sebaik-baik dan seindah-indahnya bentuk.
Melalui kesempurnaan yang dianugerah-kan-Nya, manusia mampu mengemban amanah yang dititipkan-Nya sebagai ‘Abd dan khalifah fi al-ardh (QS. az-Zariyat : 56).
Meski manusia diciptakan dalam bentuk yang sempurna, namun status kehambaan menyisakan keterbatasan yang perlu disadari setiap diri. Sebab, kesemua kesempurnaan absolut hanya milik-Nya semata. Melalui keterbatasan tersebut, diharapkan manusia menyadari atas kedudukannya sebagai hamba-Nya di muka bumi. Dengan demikian, manusia dimungkin selalu tawadhu’ dalam melaksanakan amanah-Nya. Tatkala sifat ini mampu dimiliki, maka keberkahan diperoleh dan kemuliaan di sisi Allah akan diraih. Untuk itu, Allah menghadirkan petunjuk-Nya berupa al-Quran, alam semesta, para nabi dan rasul, serta seluruh potensi yang ada pada dirinya. Semua dihadirkan-Nya sebagai tuntunan, bukan menjadi sebatas tontonan belaka.
Namun, acapkali manusia lalai dan tak menggunakan petunjuk dan potensi yang ada. Semua sebatas ucapan lisan tanpa mampu mengakar pada karakter diri. Bahkan, melalui kesempurnaan dan potensi yang dimiliki, manusia tergiring pada kesombongan dan menganggap dirinya paling baik dan suci. Padahal, tanpa disadari, dirinya merupakan makhluk yang senantiasa membawa “tong sampah” (kotoran) ke mana-mana.
Sungguh, kehadiran tong sampah (berisi kotoran) begitu dekat dengan kehidupan manusia. Secara sederhana, eksistensinya berfungsi untuk menampung sampah dan berbagai kotoran untuk dibuang. Setiap rumah pasti ada tong sampah. Demikian pula diri manusia. Ternyata, setiap manusia selalu membawa “tong sampah” atas kotoran dan melekat padanya. Sebab, tak ada manusia yang bersih dan (apatah-lagi) menganggap diri paling suci. Sebab, nyatanya ia selalu membawa “tong sampah” yang berisi kotoran dirinya. Meski demikian jelas apa yang dibawa, tapi tak membuat manusia tafakur atas semuanya.
Ada beberapa pelajaran atas eksistensi diri manusia dan tong sampah, antara lain :
Pertama, Sebersih apa pun manusia, bahkan setelah mandi paling bersih, tapi bila ingin dicari kotoran daki jasmaninya, maka akan masih tetap ada (ditemukan). Apatahlagi bila kotoran yang dicari dengan sengaja ditempelkan pada tubuhnya, maka akan semakin mudah ditemukan kotoran (daki) yang ingin dicari. Bahkan, acapkali justeru “si pencari kotoran” justeru tak luput dari daki yang mungkin lebih tebal dan busuk dibanding yang “dicari”. Oleh karenanya, jangan menganggap diri bersih dan mulia. Setiap manusia pasti “berdaki”. Andai Allah buka aib diri, maka manusia tak bisa mengelak dan tak pula mampu menutupinya. Untuk itu, Allah mengingat-kan manusia atas asal penciptaannya melalui firman-Nya : “Bukankah Kami men-ciptakanmu dari air yang hina (mani) ?” (QS. al-Mursalat : 20).
Melalui ayat di atas, Allah mengingatkan manusia atas asalnya yang hina. Lalu Allah muliakan dengan menempatkannya dalam rahim seorang ibu. Dengan rahman dan rahim-Nya, semua kebutuhan manusia di alam rahim dicukupi. Tatkala lahir, tak ada yang dibawa, kecuali sejumlah kotoran. Demikian tatkala manusia hidup di dunia, bahkan setelah mati akan menuju tempat yang kotor (tanah). Ia akan dihantarkan ke pusara oleh mereka yang statusnya mungkin dipandang sebelah mata sewaktu hidup di dunia. Sementara mereka yang dianggap sederjat (kemuliaan) hanya sebatas menghantarkan dan melepasnya dengan pandangan mata.
Setiap diri tak akan bersih dengan mencari dan menyebarkan kotoran orang lain. Setiap diri tak akan mulia dengan mencari aib sesama. Sebab, Allah telah mengingat-kan melalui firman-Nya : “Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok)” (QS. al-Hujurat : 11).
Menurut Ibnu Katsir, ayat di atas secara tegas merupakan larangan Allah pada manusia yang menghina, meremehkan, dan mengolok-olok orang lain. Barang-siapa yang tidak bertobat, maka mereka tergolong orang-orang yang zalim. Apatah lagi manusia yang menjadi sumber hadirnya fitnah dan sengaja mencari aib sesamanya, maka ia telah melakukan kezaliman yang nyata.
Kedua, Bila dianalisa secara biologis, ternyata manusia merupakan makhluk yang senantiasa membawa kotoran. Kehadirannya sebatas membawa tong sampah. Dari ujung rambut sampai ujung kaki, hanya kotoran yang dibawa.
Potensi kotor dapat dilihat sejak rambut hadir berbagai kotoran, mulai debu, ketombe, sampai kutu. Demikian pula mata, hidung, mulut, telinga, mulut, tangan, badan, “pintu depan dan belakang”, kaki, bahkan kuku kaki. Semua menyisakan kotoran. Apatahlagi pusat kotoran yang ada pada perutnya. Semua tumpukan kotoran tersebut bak “tong sampah” yang dibawa manusia kemana-mana, sembari meneriakkan diri suci dan mulia. Padahal, begitu jelas terlihat, ternyata biologis yang dibanggakan dan diberi berbagai asupan atau asesories ternyata hanya membawa sejumlah kotoran. Lalu, apa yang perlu disombongkan. Kecuali hanya karya yang mencerdaskan, menyadarkan, dan bermuara ketaqwaan.
Melihat kenyataan apa yang dibawa setiap saat, seyogyanya manusia sadar atas diri yang kotor. Kesadaran yang seharusnya mampu meluluhlantakan kesombongan yang ada. Kesadaran yang menghadirkan sifat tawadhu’ dan selalu mawas diri.
Apabila ayat Allah atas kotoran pada diri tak mampu menyadarkan, maka akan memberi peluang pada Iblis untuk menutup hati manusia. Manusia yang hanya sibuk melihat dan mengoreksi kotoran sesama akan alpa melihat kotoran dirinya. Akibatnya, seluruh panca indera, akal, dan hatinya hanya tertuju.pada kotoran orang lain. Tak ada sisi suci, benar, baik, beradab, hebat, atau sesuai aturan yang dimiliki orang lain, kecuali hanya ada pada dirinya semata. Ia akan berteriak suci tapi bernajis, berteriak sholeh tapi berlaku salah, seakan bijak tapi mengejek, dan saling memfitnah lupa kembali ke tanah. Untuk itu, Allah mengingatkan melalui firman-Nya : “Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya. (Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenaran-nya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu)” (QS. an-Nisa’ : 83).
Meski demikian jelas Allah menampilkan berbbagai kotoran yang ada, namun manusia acapkali tak pernah menyadari. Hari-harinya hanya disibukan mencari kotoran atau mengotori orang lain. Seluruh energi seakan hanya dikerahkan untuk mencari kesalahan orang lain, tapi melupa-kan kesalahan yang dilakukannya. Hadir kebanggaan tatkala berhasil menemukan kotoran orang lain, bahkan dianggap berprestasi. Sementara ketika kotorannya “menguap dan berbau”, sejuta upaya akan dilakukan untuk menutupinya. Andai tak ditemukan cara menutupi kotorannya, maka dilakukan berbagai cara kotor lainnya agar terlihat bersih. Sungguh, kotoran tak pernah bisa membersihkan kotoran, tapi akan semakin mengotori seluruh sisi peradaban.
Sebait gurindam pengingat, penulis hadir-kan untuk menyadarkan diri ini sebagai hamba pembawa “tong sampah” :
“Semakin diri merasa suci, semakin nyata kotoran ditutupi. Semakin diri merasa hebat, semakin banyak sesama dibabat. Semakin diri merasa pintar, semakin banyak manusia kesasar (tersesat). Semakin diri merasa bijak, semakin banyak sesama dipijak. Semakin diri merasa cerdas, semakin banyak aturan dipangkas. Semakin diri punya kuasa, semakin banyak manusia nestapa. Semakin banyak rumah “beratap”, semakin menganga diri tak beradab. Semakin diri merasa terhormat, semakin mengundang datangnya kiamat”.
Belajarlah dengan air di laut. Ia asin tapi tak pernah menyatakan dirinya asin. Sebab, ia sadarbtak mampu mengasinkan ikan yang berenang kian kemari. Belajarlah dengan gunung. Ia tinggi tapi tak pernah sombong atas ketinggiannya. Belajarlah dengan bangau. Sebab, setinggi-tingginya ia terbang, tapi akan kembali kesarangnya di bumi. Ingatlah pesan Sayidina Ali bin Abi Thalib, “Angin berhembus bukan untuk menggoyangkan pepohonan, tapi hembus-an untuk menguji kekuatan akarnya”. Untuk itu, kesempurnaan jasmani pada hakikatnya untuk menguji kualitas rohani agar lebih mengenal-Nya.
Andai, ayat Allah yang begitu dekat dan ada pada diri tak mampu menuntun pada kebaikan, bagaimana mungkin ayat Allah yang jauh dari diri. Tak ada yang tau kualitas kesucian diri, kecuali Allah dan hamba yang memiliki kesucian (ikhlas) hati yang rindu pada Ilahi. Tapi, bagi manusia yang tertutup oleh kotoran, maka hanya akan melihat kotoran orang lain semata, tanpa pernah sadar atas kotoran pada dirinya.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 29 April 2024