Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Kehadiran ilmu matematika tak asing bagi pengenyam dunia pendidikan. Bahkan, bagi masyarakat umum, matematika dikenal dengan ilmu hitung. Dalam konteks Islam, ditemukan beberapa ayat yang berhubungan dan memuat prinsip-prinsip dasar sains, peradaban, kedokteran, kesehatan, sosiologi, psikologi, siayasah, sains alam, tata surya (planet), flora, fauna, kimia, matematika, dan objek ilmu lainnya.
Berkaitan matematika, ditemukan beberapa ayat yang berkaitan prinsip ilmu matematika, antara lain prinsip penambahan, yaitu : “Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi)” (QS. al-Kahfi : 25).
Al-Quran juga menggunakan penambahan dan pengurangan. Hal ini terlihat pada firman-Nya : “Dan sesungguhnya Kami telah meng-utus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim” (QS. al-‘Ankabut : 14).
Bahkan, al-Quran juga berbicara beberapa prinsip lainnya seperti kata perkalian (QS. al-Baqarah : 261 ; QS. Hud : 18 ; QS. an-Nur : 2 dan 4), pecahan dan pembagian (QS. an-Nisa’ : 12 ; QS. Muzammil : 20), serta bilangan genap dan ganjil (QS. al-Fajr : 3 ; QS. al-Qadr : 3 ; QS. Hud : 65). Kesemua firman-Nya yang berkaitan hitungan menandakan luasnya wawasan al-Quran untuk difikirkan, direnung-kan, dan dipedomani.
Dalam konteks kehidupan, beberapa prinsip matematika, menurut hemat penulis, ternyata ikut menunjukkan karakter manusia. Karakter tersebut di antaranya terdapat pada prinsip penambahan. Andai disodorkan pertanyaan penambahan, maka ada beberapa kemungkin-an jawaban, antara lain :
Pertama, penjumlahan 10 + 10 = 20. Pemilik jawaban ini merupakan manusia berilmu dan jujur (beradab). Ia menjawab dengan ilmu dan berkata dengan kejujuran. Ilmu yang diperoleh dan dimiliki secara benar, bukan sebatas “lipstik” atau transaksi penuh onar. Kejujuran yang dibangun dengan ilmu akan berbuah adab mulia. Pemilik tipikal ini akan diangkat derajat kemuliaan di sisi-Nya. Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat…” (QS. al-Mujadalah : 11).
Jawaban orang berilmu dan beradab akan menunjukan kualitas sebenarnya. Ia meng-hadirkan benang merah yang nyata antara pemilik ilmu dan si dungu. Hal ini ditegaskan melalui firman-Nya : “Katakanlah, apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui ?. Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran” (QS. az-Zumar : 9).
Begitu jelas ayat di atas menjelaskan per-bedaan kualitas hamba-Nya. Bak pepatah Melayu“sudah terang lagi bersuluh”. Meski kehadirannya acapkali tak dihiraukan. Pemilik ilmu acapkali kurang disenangi. Sebab, ia bersuluh pada kebenaran, bukan “keinginan”. Suluhnya membuat cahaya yang menerangi penduduk langit, meski ditutupi awan kelam oleh penduduk bumi.
Kedua, penjumlahan 10 + 10 = 100. Pemilik jawaban ini merupakan pemilik ilmu yang berilmu, kreatif, dan visioner. Ia kembangkan apa yang ada agar lebih memberi manfaat dan keuntungan (keumatan) lebih luas. Sosok ini menggunakan ilmu yang dimiliki bagi membangun peradaban agar terwujud fungsi kekhalifahannya di muka bumi. Hal ini sesuai firman-Nya : “Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku nama semua (benda) ini, jika kamu yang benar !” (QS. al-Baqarah : 31).
Sungguh mulia hamba-Nya yang berilmu dan mampu melaksanakan amanah-Nya di muka bumi. Seluruh potensi anugerah Ilahi diguna-kannya untuk menghadirkan rahmatan lil ‘aalamiin. Ia hadir dengan torehan tinta emas bagi bangunan peradaban, tanpa berharap untaian pujian. Keikhlasan yang menghantar-kannya “berdagang” untuk berharap laba cinta Allah semata.
Karakter 1 (satu) dan 2 (dua) merupakan sosok ilmuan (khalifah) hakiki. Sibuk meng-hadirkan kebenaran, meski kehadirannya tak banyak yang memperdulikan. Seiring tumbuh subur ilmuan abal-abal tanpa adab yang mengisi peradaban.
Ketiga, penjumlahan 10 + 10 = 0. Pemilik jawaban ini merupakan karakter pencuri (perampok). Berapa pun jumlah yang ada, semua diambil. Semua habis tanpa tersisa. Prilaku ini dicela oleh agama. Hal ini dinyata-kan melalui firman-Nya : “Laki-laki yang men-curi dan perempuan yang mencuri, potonglah kedua tangannya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Maha Perkasan dan Maha Bijaksana” (QS. al-Maidah : 38).
Hukum potong tangan merupakan bentuk menghadirkan efek jera, baik pada pelaku maupun orang lain yang berpotensi melaku-kannya. Bagi manusia berakal, bentuk hukum-an ini menjadikannya malu dan takut untuk melakukan pencurian. Hanya manusia tanpa akal (gila) yang akan melakukan perbuatan yang secara jelas terlihat nyata dampaknya. Andai di seluruh dunia melaksanakannya, mungkin akan terlihat begitu banyak manusia hadir tanpa tangan. Namun, tak semua negeri melakukannya. Wajar bila hadir tampilan layaknya sempurna, tapi sebenarnya tak lebih sosok pencuri kelas kakap yang pongah bersenandung di alam bebas, tanpa mampu tersentuh oleh kebenaran dan keadilan.
Keempat, penjumlahan 10 + 10 = 10. Pemilik jawaban ini merupakan manusia penipu dan pembohong. Dalam penjumlahan, terselip keinginan mengambil sebagian untuk dirinya. Ia sisakan untuk orang lain, tanpa lupa meraup keuntungan untuknya. Andai tak jeli, maka perbuatannya tak akan diketahui. Apalagi bila yang mengoreksi pemilik sifat yang sama bak “gunting dalam lipatan”.
Kelima, penjumlahan 10 + 10 = tidak tau / tidak mau tau. Pemilik jawaban ini tentu gambaran manusia tanpa ilmu (bodoh) atau kering rasa kepedulian. Meski katanya sosok berpendidikan, tapi mungkin diperoleh melalui jalan “transaksi atau sentuhan”. Wajar bila tipikal ini serba tak tau (jahil) atau hilang rasa kepedulian untuk tau apa yang terjadi.
Dalam konteks jahil, al-Quran memperinci pada 4 (empat) kategori, yaitu : (a) hukm jahiliyah (QS. al-Maidah : 50). (b) zhan jahiliyah (QS. Ali Imran : 154). (c) tabarruj jahilyah (QS. al-Ahzab : 33). (d) hammiyah jahiliyah (QS. al-Fath : 26). Keempat jenis kejahilan ini menjadi penyebab kerusakan seluruh tatanan peradaban sepanjang sejarah manusia di muka bumi. Untuk itu, Allah SWT mengutus para nabi dan rasul untuk menyam-paikan ilmu (kebenaran). Meski sebagian mampu menerimanya, namun tak sedikit yang tetap mempertahankan, senang, dan “membudidayakan” kejahilannya.
Keenam, penjumlahan 10 + 10 = terserah mana baiknya tuan. Sebab, jawaban tuan yang terbaik. Pemilik jawaban ini wujud karakter penjilat dan cari selamat (posisi). Menurut KBBI, penjilat adalah “perbuatan yang ditujukan untuk mendapat keuntungan sendiri dengan menyenangkan orang lain (berkonotasi negatif)”. Katanya penuh pujian dan prilakunya begitu simpatik. Namun, disebalik pujian dan prilakunya tersebut terselubung niat licik yang keji. Untuk itu, Islam melarang umatnya menjadi penjilat. Sebab, suka menjilat bukan prilaku seorang mukmin. Rasulullah mengingatkan melalui sabdanya : “Sesungguhnya ada lelaki yang keluar dari rumahnya dan masih memiliki agama, kemudian dia bertemu seseorang yang dia punya keperluan dengan-nya. Lelaki ini pun berkata, “Sesungguhnya engkau itu begini dan begitu”, lelaki ini memuji orang tersebut sambil berharap agar mau menolong keperlu-annya. Maka Allah pun murka kepada lelaki itu, dia pun kembali ke rumahnya dalam keadaan tidak memiliki agama” (HR. Ahmad dan Hakim).
Begitu terang sabda Rasulullah atas status manusia yang suka “menjilat” dalam keadaan tanpa agama. Sebab, eksistensinya yang bersifat munafik sangat berbahaya bagi peradaban. Ia hanya baik dan memuji tatkala ada kepentingan yang tersebunyi. Tapi, pujian akan berubah menjadi cibiran bila tujuan telah tercapai, apatahlagi bila gagal digapai.
Ketujuh, penjumlahan 10 + 10 = berapa untuk saya. Pemilik jawaban ini wujud manusia berkarakter penerima sogokan. Semua yang dilakukan mengedepankan hitungan pundi. Bak pepatah Melayu “tak ada makan siang yang gratis”. Semua berbuntut pamrih materi, meski melanggar aturan agama dan hukum. Semua dilakukan untuk menumpuk pundi dan memuaskan keserakahannya. Untuk itu, wajar bila Rasulullah mengingatkan tipikal manusia seperti ini melalui sabdanya : “Dua serigala yang lapar yang dilepas di tengah kumpulan kambing, tidak lebih merusak dibandingkan dengan sifat tamak manusia terhadap harta dan kedudukan yang sangat merusak agamanya” (HR. at-Tarmdzi, Ahmad, ad-Darimi, ath-Thabrani, Ibnu Hibban).
Sifat manusia yang dinyatakan Rasulullah, berkaitan dengan karakter yang dikatakan Allah sebagai manusia yang melampaui hewan (QS. al-A’raf : 179).
Kedelapan, penjumlahan 10 + 10 = berapa saudara mau (wani piro). Pemilik jawaban ini merupakan bentuk manusia berkarakter pemberi sogok-an atau memfasilitasi terjadinya transaksi negosisasi.
Untuk pemilik tipikal ke-7 (tujuh) dan ke-8 (delapan) merupakan perbuatan korupsi yang dilarang dalam ajaran Islam. Hal ini secara tegas dinyatakan : “Rasulullah SAW melaknat penyuap, penerima suap, dan perantara dari keduanya” (HR. Ahmad dan Thabrani).
Ulama menjelaskan ruang lingkup korupsi (risywah) meliputi : sogok-menyogok, uang pelicin, suap-menyuap, pungli, gratifikasi, money politic, dan sejenisnya. Islam sangat mengutuk perbuatan risywah. Bahkan, Allah SWT berulangkali mengingatkan manusia, antara lain melalui QS. al-Baqarah : 188 ; QS. al-Nisa’ : 10, 29, 91 ; QS. al-Maidah : 42 ; dan QS. al-Taubah : 34). Hasil yang dimakan atau digunakan dari perbuatan risywah merupakan suatu yang haram. Hal ini diingatkan melalui firman-Nya : “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS. al-Baqarah : 188).
Melalui ayat di atas, nyata terlihat bahwa perbuatan risywah sangat dimurkai-Nya. Meski penegakan hukum dapat dinegosisasi dan direkayasa, tapi tak mampu ditutupi dari pengawasan malaikat Raqib dan Atid. Semua akan terbuka pada waktunya dan dipertang-gungjawabkan dihadapan Allah Yang Maha Adil. Pelakunya tak pernah memiliki ketenang-an dalam hidup. Bahkan, dampaknya akan menimpa pada komponen (keturunan) yang memakan harta haram.
Meski semua pendekatan matematika karak-ter begitu jelas dinyatakan dalam al-Quran dan hadis, namun pilihan manusia acapkali seakan menafikan dan mendustakannya. Berbagai cara dan rekayasa dilakukan untuk menutupi semua kesalahan. Tapi, kebenaran dan kesalahan tak pernah bisa dimanipulasi dihadapan-Nya. Kebaikan dan keburukan bagai minyak dan air yang tak pernah bisa dipertemukan dan menyatu. Sebab, “materi dan posisi kalanya tak mampu membeli kebenaran, tapi hanya sanggup membeli kesalahan”. Meski manusia mampu merekayasa kebenaran dan kesalahan atau sebaliknya, tapi tak pernah mampu menipu Allah Yang Maha Melihat.
Ketika kesemua tipikal prinsip penjumlahan pada “matematika karakter di atas dihitung secara statistik, diperoleh hasil bahwa :
Type 1 dan type 2 (25 %) merupakan karakter positif yang berupaya membangun peradab-an. Sedangkan type 3 sampai type 8 (75 %) hanya sosok pemilik karakter negatif yang berpotensi menggadaikan peradaban.
Namun, secara statistik posisi 25 % tergerus dan dilenyapkan oleh kehadiran angka 75 %. Apalagi dominasi prosentase besar memiliki peluang untuk tampil kepermukaan dengan menguasai ruang publik. Akibatnya, kehadir-an angka 25 % nyaris tak terdengar di tengah gemuruh irama “nyanyian musik” dominasi mayoritas (75 %) yang gegap gempita. Apatahlagi bila angka 25 % tak mampu mem-pertahankan keilmuan dan idealismenya, maka semakin hilang ruh kebenaran prinsip penjumlahan matematika yang sebenarnya.
Ternyata, hanya melalui prinsip matematika yang paling sederhana mampu menyingkap karakter diri manusia. Andai prinsip kebenar-an matematika yang lebih rumit digunakan, mungkin akan banyak terungkap aib dan misteri yang sengaja ditutupi manusia di muka bumi, entahlah. Sungguh, Allah Maha Kaya, Maha Mengetahui, dan Maha Kuasa. Kadang, ketika Allah berkehendak, semua karakter manusia terbuka lebar hanya melalui teori sederhana yang tanpa rekayasa.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 14 Oktober 2024