Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Belakangan ini, beberapa negara (terutama Indonesia) sibuk melakukan mitigasi bila terjadi gempa Megathrust. Sebab, BMKG memprediksi potensinya cukup besar terjadi. Secara ilmiah, gempa bumi Megathrust merupakan gempa bumi berdaya dorong sangat besar. Ia berpotensi terjadi pada zona subduksi di sepanjang batas jalur lempeng konvergen destruktif (Samudera Pasifik dan Samudera Hindia). Daerah ini memiliki satu lempeng tektonik tertekan di bawah lempeng yang lain. Gempa pada zona subduksi ini akan memicu aktivitas vulkanik yang terkait dengan zona Sabuk Alpida (kawasan Cincin Api Pasifik). Gempa ini adalah gempa bumi lintas lempeng yang paling kuat terjadi di muka bumi. Besaran potensi momen (Mw) yang terjadi mampu melebihi angka 8,0 SR. Namun, kapan gempa ini terjadi, ilmu penge-tahuan manusia belum mampu menjawabnya secara pasti. Tapi, andai ini terjadi, maka dampak kehancuran dan korban jiwa tak bisa dibayangkan.
Langkah mitigasi menghadapi gempa bumi dan musibah alam lainnya memang diperlu-kan. Semua sebagai upaya meminimalkan dampak yang terjadi. Kajian ilmiah perlu dilakukan untuk telaah antisipasi. Berbagai simulasi patut dilakukan secara masif dan matang. Namun, manusia jangan sampai berhenti pada kajian dan upaya ilmiah semata (hilir). Perlu disadari penyebab alam “meronta” (hulu) menurut kajian agama. Sebab, semua gerak alam merupakan gerak yang digerakan-Nya.
Dalam kajian Islam, semua fenomena alam (termasuk gempa) merupakan salah satu bentuk ayat Allah yang tak luput dari maksud dan tujuan tertentu. Sebab, tak ada satu pun kejadian yang tanpa maksud (ruang hampa). Semua ada sebab yang akan berdampak akibat. Hal ini merujuk pada firman-Nya : “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. ar-Rum : 41).
Terhadap ayat di atas, Ibnu Katsir menjelas-kan bahwa semua fenomena yang terjadi pada ayat di atas merupakan bentuk peringatan Allah SWT. Peringatan pada manusia atas berbagai kemaksiatan dan kezaliman yang dilakukan. Meski pelakunya hanya segelintirnya, namun dampak peringatan Allah menimpa pada makhluk-Nya secara luas. Demikian jelas, semua bentuk Rahman, Rahim, atau murka-Nya hadir sesuai “undangan” (permintaan) manusia. Pilihan pengharapan diri yang tertera pada setiap undangan (prilaku berwujud pinta). Undangan kebaikan akan dihadirkan nikmat-Nya dan undangan keburukan akan diturunkan murka-Nya. Hal ini dinyatakan Allah melalui hadis qudsi : Sesungguhnya Allah berfirman, “Aku menurut prasangka hamba-Ku. Aku bersama-nya saat ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam kesendirian, Aku akan mengingat-nya dalam kesendirian-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam keramaian, Aku akan mengingatnya dalam keramaian yang lebih baik daripada keramaiannya. Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku akan mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan datang kepadanya dengan berlari” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sungguh, semua fenomena hadir bagaikan kertas undangan untuk menghadiri suatu acara (pesta). Semakin banyak undangan kemungkaran dilakukan, maka semakin banyak musibah dan azab yang terjadi. Sebaliknya, bila semakin banyak undangan kebajikan disebarluaskan, maka semakin banyak pula keberkahan dan nikmat-Nya akan turun di muka bumi. Hal ini jelas dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “Musibah apa pun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri dan (Allah) memaafkan banyak (kesalahan-mu) (QS. asy-Syura : 30).
Gempa (berikut variannya) bukan sebatas fenomena alam. Ia bukan sebatas pergeseran lempeng bumi. Tapi, berbagai peristiwa sejak alam terbentang, kemunculannya merupakan bentuk murka-Nya. Hal ini dapat dilihat pada umat nabi Syu’aib (QS. al-Ankabut : 37 dan QS. al-A’raf : 78 dan 91-92), umat nabi Musa (QS. al-A’raf : 155), umat nabi Luth (QS. al-Ankabut : 34 dan QS. Hud : 82-83), umat (kaum Tsamud) nabi Shaleh (QS. al-A’raf : 73 dan QS. an-Naml : 50-52), umat nabi Nuh (QS. al-A’raf : 64), umat (kaum ‘Ad) nabi Hud (QS. al-Ahqaf : 24-25 dan QS. al-Haqqah : 6-8), umat (kaum Saba’) nabi Sulaiman (QS. Saba’ : 16-17), dan bahkan hal ini juga terjadi pada umat nabi Muhammad SAW.
Berkaitan gempa yang pernah terjadi, khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah berkata, bahwa “gempa merupakan bentuk teguran dan azab Allah atas hamba yang ingkar dan berbuat kezaliman. Agar azab diganti rahmat-Nya, maka umat (seluruh elemen) perlu berpegang teguh pada ajaran agama dan selalu berbuat kebajikan”. Ketauladanan dan kebajikan yang dipraktekkan Umar bin Abdul Aziz menjadi “undangan” untuk menghadirkan nikmat-Nya dan munajat agar Allah mengangkat murka-Nya. Untuk itu, wajar bila hanya dalam waktu 29 hari setelah menjadi khalifah, ia mampu mencapai kemakmuran seluruh rakyatnya.
Merujuk fenomena berbagai musibah di atas, maka peristiwa gempa dan bencana alam lainnya merupakan akibat keingkaran yang mengundang kemurkaan-Nya. Teguran atas berbagai pelanggaran tersebut antara lain :
Pertama, Berbagai kekufuran dan kezaliman yang tumbuh subur. Meski berbagai bentuk kemungkaran terjadi begitu jelas dipelupuk mata, namun sirna seakan menjadi sesuatu yang lumrah sesuai tuntutan zaman. Padahal, zaman tak pernah berubah, tapi manusia yang hadir pada setiap zaman yang telah berubah dan melupakan janji pada Tuhannya (perjanjian alam mitsaq). Seakan, sejarah umat terdahulu terulang kembali. Meski jelas ajaran agama telah difirmankan-Nya, namun semua semakin didustakan. Prilaku umat yang demikian telah diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Mereka mendustakannya (Syu‘aib), maka mereka ditimpa gempa yang dahsyat, lalu jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat-tempat tinggal mereka” (QS. al-‘Ankabut : 37).
Menurut Ibnu Katsir, ayat di atas merupakan bentuk azab Allah terhadap umat yang berprilaku menyimpang (LGBT). Sementara prilaku ini begitu nyata, namun tak diberantas secara tegas dengan alasan Hak Asasi Manusia (HAM).
Kezhaliman dan kemunafikan juga terjadi pada umat nabi Musa. Mereka berjanji untuk mengimani ajaran yang dibawa Musa bila Allah memberi makanan lezat yang tak ada di muka bumi. Tatkala semua diberikan, mereka tetap kufur dan menentang ajaran yang dibawa nabi Musa. Bahkan, meski Allah telah berikan waktu agar mereka bertaubat, tapi tak pernah mereka lakukan. Mereka tetap menyembah berhala dan berbuat kezaliman. Sungguh, mereka begitu mudah berjanji dan mempermainkan kata, tapi semua hanya dusta belaka. Untuk itu, Allah tidak suka terhadap semua permintaan yang dipanjat-kan tersebut. Sebab, semua hanya sekedar mempermainkan janji dengan polesan nama Allah. Padahal, setelah mereka peroleh apa yang diinginkan, mereka tetap kufur pada Tuhannya. Untuk itu, Allah datangkan azab (kebinasaan) untuk menjadi pelajaran pada umat sesudahnya.
Pelajaran atas kebenaran firman-Nya di atas dapat ditelusuri dalam sejarah dan dibuktikan secara ilmiah. Namun, acapkali generasi sesudahnya justru terkesan memilih untuk mengikuti kemungkaran mengundang azab, bukan ketaatan yang mengharap nikmat-Nya. Sumpah dan janji atas nama Allah, tapi berprilaku bertentangan dengan agama. Asesories bagai manusia pemilik keshalehan, tapi realitanya justru aktor pelaku kesalahan.
Kedua, Kemaksiatan dan kezaliman yang terkesan dibiarkan. Ibarat rumput yang berkembang subur, bila tak segera dipotong, maka menjadi tempat bersembunyinya hewan ganas. Mereka terlindungi oleh rimbunnya rerumputan yang sengaja dibiarkan. Kondisi ketidakpedulian ini pada gilirannya akan membuat hewan ganas tak lagi perlu bersembunyi. Mereka secara terang-terangan “melenggang lenggok” tanpa perlu ada yang ditakuti. Sebab, kumpulan manusia telah punah dan berubah menjadi kumpulan hewan ganas yang serupa. Ketika makanan masih tersedia, mereka akan saling melindungi. Tapi bila makanan telah habis, maka mereka akan saling menghabisi. Ketika kondisi ini hadir, maka berlaku hukum rimba. Hanya pemilik kekuatan yang mampu bertahan. Tak ada lagi akal dan hati nurani, hukum sebatas kepentingan sesaat untuk melegalkan kesalahan, serta pemilik kekuatan hanya akan menginjak rerumputan tanpa mampu menyentuh pohon yang besar dan tinggi. Kejahilan seperti ini secara tak disadari sedang mengundang dan berharap hadirnya azab Allah berupa gempa bumi megathrust. Anehnya, manusia takut dan khawatir datangnya gempa, tapi tak ingin merubah prilaku kemungkarannya. Dampak prilaku tercela ini telah diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Karena mereka mendustakannya (Nuh), Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera serta Kami tenggelamkan orang-orang yang mendusta-kan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya)” (QS. al-A’raf : 64).
Hadirnya azab Allah pada ayat di atas disebabkan umat yang mendustakan kebenaran (agama). Meski peringatan telah disampaikan, namun prilaku yang ditunjukan tetap mendustakannya. Apatahlagi gempa magathrust berkekuatan tinggi, berpotensi terjadinya gejolak air laut (tsunami).
Ketiga, Hilangnya muruah penjaga agama dan nilai-nilai kebenaran. Bagai seorang pemotong rumput dan penjaga kebun yang tak lagi melaksanakan tugasnya. Ia tak lagi berminat untuk membersihkan rerumputan. Sebab, ia telah memperoleh rezeki berlimpah. Tanpa perlu “memangkas rumput” dan menjaga kebun, ia telag mendapatkan kompensasi kehidupan serba mewah. Akibatnya, tak ada lagi tersisa sosok pemotong rumput yang mau membersihkan rumput liar. Apatahlagi mesin pemotong rumput yang dimiliki telah berubah menjadi mesin ATM yang menyimpan tumpukan uang tak terbatas. Untuk itu, wajar bila “pemotong rumput” dan penjaga kebun (manusia) hanya sibuk menjaga “mesinnya” dan mengumpul-kan pundi semata. Akibatnya, wajar bila rumput semakin lebat dan liar, seiring semakin berkembang hewan ganas (harimau, ular, kalajengking, tikus, dan lainnya) yang bersembunyi untuk mengintai dan menyebar ketidaktenangan semua makhluk.
Sungguh, bila dilihat secara seksama, semua ayat al-Quran yang menceritakan tentang gempa bumi memiliki benang merah yang sama. Hadirnya sebagai bentuk murka Allah atas kemaksiatan dan kezaliman yang dilakukan (segelintir) manusia yang berbuat kerusakan di muka bumi. Tatkala manusia berkeinginan untuk mengundang gempa megathrust dan azab Allah lainnya, maka teruslah melakukan kemungkaran dan sebar kezaliman dengan penuh kesombongan. Andai ini tetap dan terus dilakukan, maka upaya mitigasi hanya sebatas hilirisasi sebuah akibat. Anehnya, mitigasi bencana alam terus dilakukan, seiring semakin nyata dan masifnya kemungkaran. Mungkin akal dan hati tak pernah memikirkan hulu semua penyebab yang terjadi. Semua fokus langkah hilir dan pasca musibah. Sebab, di tengah musibah menyisakan kesempatan meraih keuntungan bagi pemilik kejahilan.
Dampak setiap musibah alam akan menimpa makhluk tanpa pilih (beriman atau kufur). Tak sedikit hamba yang tak berdosa (teraniaya) menanggung akibat-nya. Padahal, semua azab-Nya hadir atas “undangan” segelintir pelaku kemungkaran dengan mempermain-kan nama Allah, tapi prilaku sebagai penyebab semuanya. Semua dosa akan dipertanggung-jawabkan atas kezaliman yang dilakukannya.
Berbagai tipu daya dilakukan membangun kezhaliman. Semua hanya akan memper-cepat sampainya surat “undangan” untuk menghadirkan azab-Nya. Tipu daya yang bisa menipu segelintir manusia yang jahil, tapi tak mampu menghalangi pengawasan Allah Yang Maha Adil. Pada waktunya, Allah akan mengembali-kan semua tipu daya yang dilakukan pada pelakunya. Hal ini dinyatakan dalam firman-Nya : “Mereka (orang-orang kafir) membuat tipu daya dan Allah pun membalas tipu daya (mereka). Allah sebaik-baik pembalas tipu daya” (QS. Ali Imran : 54).
Untuk mengangkat murka-Nya, Umar bin Abdul Aziz pernah memberi nasehat agar musibah gempa bumi tak terjadi. Caranya, semua manusia harus menghentikan prilaku kekufuran dan kezaliman. Sadari kesalahan yang telah dilakukan, sembari mohon pengampunan pada-Nya. Hanya melalui cara ini musibah dan azab-Nya akan berganti nikmat dan keberkahan-Nya. Alangkah beruntung hamba yang menjadi penyebab turunnya nikmat Allah atas semua hamba-Nya. Tentu, semua pilihan ada pada setiap diri. Pilihan telah diberikan Allah pada manusia berupa jalan menuju fujur (kemungkaran) atau taqwa (ketaatan) pada-Nya. Bila pilihan prilaku fujur, berarti sedang berupaya mengundang gempa megathrust atau musibah lainnya. Bila pilihan taqwa, berarti wujud pengharapan hamba untuk meraih nikmat dan cinta-Nya. Dengan demikian, Allah SWT akan angkat murka-Nya. Pilihan taqwa merupakan pilihan bijak dan perlu menjadi upaya bersama. Bagai upaya khalifah Umar bin Abdul Aziz bersama deng-an rakyatnya.
Bila hal ini dapat direalisasikan, maka negeri baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur akan mampu diperoleh. Semoga negeri keberkahan tersebut adalah NKRI. Negeri yang menggemakan munajat harap karunia Allah dan senantiasa berpegang teguh pada semua ajaran-Nya, aamiin.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 2 September 2024