Oleh: Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Sungguh semua aktivitas manusia berputar sesuai peredaran Matahari dan seluruh tata surya. Pada hakikatnya, semua tak ada yang baru. Peristiwa yang terjadi merupakan episode pengulangan sesuai putaran masa. Pembedanya hanya pada subjek, objek, wujud, asesories, dan waktu kejadian.
Sejak alam terbentang sampai kiamat, semua alam semesta mengalami pengulangan atas putaran yang terjadi. Bahkan, Allah beritakan berbagai kisah dalam Al-Qur’an sebagai pelajaran bagi manusia. Hal ini sesuai firman-Nya: “dan kami turunkan (Al-Qur’an) itu dengan sebenar-benarnya dan Al-Qur’an itu telah turun dengan (membawa) kebenaran. Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan” (QS. al-Isra’ : 105).
Dalam konteks di atas, Manna al-Khalil al-Qathan menjelaskan bahwa “qishashul Qur’an sebagai pemberitaan atas hal ihwal umat-umat dahulu, para nabi, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi secara empiris”. Kesemuanya ditampilkan untuk menjadi pelajaran agar manusia bijak atas pilihan sejarah yang pernah hadir pada masanya.
Pada masa Nabi Ibrahim AS, hadir sosok Namrudz bin Kan’aan. Pada zaman nabi Musa, hadir sosok Fir’aun, Haman, Bal’am bin Ba’ura, dan Qarun. Sosok ini diabadikan Allah melalui firman-Nya: “Dan (juga) Qarun, Fir’aun dan Haman. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka Musa dengan (membawa bukti-bukti) keterangan-keterangan yang nyata. Akan tetapi mereka berlaku sombong di (muka) bumi, dan tiadalah mereka orang-orang yang luput (dari kehancuran itu)” (QS. al-Ankabut : 39).
Ayat di atas menjelaskan sejarah Fir’aun, penguasa yang zalim dan mengaku tuhan. Ia dibantu oleh Haman, sosok seorang Menteri sekaligus teknokrat, penasihat, dan “pembisik-nya”. Haman merupakan pelaksana berbagai “proyek mercusuar” yang bertujuan untuk membuktikan kuasa Fir’aun agar terlihat sebagai “tuhan”. Hal ini disampaikan Allah melalui firman-Nya: “Dan, berkata Fira’un, ‘Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, yaitu pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta'” (QS. al-Mu’min : 36-37).
Kehadiran Haman sangat vital bagi roda pemerintahan Fir’aun. Meski awalnya sosok Haman dianggap fiktif, namun kebenaran al-Quran atas sosok Haman akhirnya dapat dibuktikan ketika ditemukan prasasti Batu Rosetta (ditemukan tahun 1799 M). Melalui batu prasasti tersebut, terungkap bukti keter-kaitan Haman dengan Fir’aun secara jelas.
Fir’aun dan Haman dibantu Bal’am bin Ba’ura, seorang ilmuan (ulama) dan ahli berdebat. Ia sosok pemilik ilmu yang piawai untuk membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Awalnya, Bal’am menolak ajakan Fir’aun dan Haman. Sebab, ia tahu bahwa ajaran yang dibawa nabi Musa merupakan kebenaran. Tapi, setelah dibujuk dan men-dapat imbalan besar, Bal’am berpihak pada Fir’aun dan Haman melawan nabi Musa AS.
Kehebatan Fir’aun didukung suplai finansial yang dimiliki oleh Qorun. Untuk menjaga keberlanjutan usahanya, ia memilih berpihak pada Fir’aun yang sedang berkuasa.
Bila dilihat secara seksama, kekuasaan dan kezaliman Fir’aun telah ditopang oleh “trisula kuasa”, yaitu Haman (birokrat), Bal’am bin Ba’ura (intelektual dan ulama), dan Qorun (pemilik kekayaan). “Trisula kuasa” tersebut bekerja sama membantu Fir’aun mewujudkan keinginannya. Akibatnya, ia semakin lupa diri, sombong, zalim, kejam, sewenang-wenang, dan bahkan mengaku tuhan.
Kesemua sejarah di atas begitu jelas dibuktikan secara sains. Pembuktian atas kebenaran firman Allah SWT yang secara berulang kali dinyatakan dalam Al-Qur’an. Bila Al-Qur’an ditelusuri secara seksama, nama Fir’aun diulang sebanyak 74 kali, Haman diulang 6 kali, Bal’am (dimaksud QS. al-A’raf : 175) ditsebut 1 kali, dan Qorun diulang 4 kali. Sungguh, ketiganya merupakan sejarah “trisula” penopang kezaliman Fir’aun yang tak terbantahkan.
Pada masa nabi Muhammad SAW hadir pula sosok Abu Lahab dan Abu Jahal. Secara khusus, sosok Abu Lahab dinukilkan Allah dalam firman-Nya: “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia. Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (neraka). Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah). Di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal” (QS. al-Lahab : 1-5).
Meski Abu Lahab merupakan paman dari Rasulullah Muhammad SAW, namun ia merupakan penentang utama yang selalu memusuhi keponakannya tersebut. Dalam riwayat, Abu Lahab hanya pernah hadir kebahagiaannya pada saat kelahiran Nabi Muhammad. Untuk itu, setiap hari kelahiran nabi, Allah angkat siksa-Nya terhadap Abu Lahab.
Dengan posisinya sebagai tokoh yang terpandang di Makkah, ia gunakan untuk memprovokasi penduduk Makkah dan kafilah yang ada untuk memusuhi dan menentang ajaran yang dibawa oleh ponakannya. Ia katakan pada masyarakat luas bahwa Muhammad sebagai pendusta dan tukang sihir. Bukan sebatas menghasut dan menyebar berita hoaks, tapi acapkali ia berusaha menyakiti Baginda Rasulullah dan sahabat secara fisik dengan kejam.
Sungguh, setiap nabi dan rasul membawa kebenaran, bersamaan hadir sosok penentang kebenaran yang dibawa. Sosok wujudnya beraneka ragam, tapi hakikatnya memiliki kemiripan ala Fir’aun, Haman, Bal’am, Qorun, Abu Lahab dan Abu Jahal. Demikian putaran alam sesuai sunnatullah. Semua berputar pada setiap masa dengan wujud berbeda, tapi substansi yang hampir sama. Semua seakan berisi pengulangan video kemanusiaan dan alam semesta.
Ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik atas putaran sejarah “Trisula” Haman, Bal’am, Qorun, dan variannya, antara lain :
Pertama, menjadi pelajaran dan cermin kehidupan. Begitu jelas al-Quran memaparkan semua peristiwa yang telah terjadi. Semua dihadirkan untuk menjadi pedoman manusia. Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” (QS. An-Nahl: 89).
Andai pilihan bijak dijadikan pegangan, kekuatan dan kelicikan “trisula Fir’aun” (Haman, Bal’am, dan Qorun) yang menyakiti dan membunuh kebenaran diganti dengan “catur peradaban” yang dimiliki oleh Rasulullah SAW.
Tampilan sosok penasihat bijaksana (Abu Bakar ash-Shiddiq), sosok pembela kebenaran yang gagah berani (Umar ibn Khattab), sosok saudagar kaya yang dermawan tanpa korupsi (Utsman ibn ‘Affan), dan sosok pemilik ilmu yang tawadhu’ dan mumpuni (Ali ibn Abi Thalib). Sosok pilar utama “catur peradaban” yang menopang bangunan dan cita-cita kemakmuran yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Andai sosok “trisula Fir’aun” tak lagi hadir, bersamaan kokohnya “catur peradaban” yang dimiliki oleh Rasulullah, maka seluruh alam akan damai dalam “taybih” mengangungkan kebenaran (Allah) semata. Munajat yang mengundang hadirnya nikmat Allah pada seluruh alam semesta.
Kedua, Pedoman atas dampak pilihan dalam menata kehidupan. Semua tampilan sejarah begitu jelas terlihat, dibuktikan secara keilmuan, dan diterima oleh akal manusia yang sehat. Semua pilihan memiliki dampak pada peradaban dan nikmat-Nya.
“Wahai orang-orang yang beriman. Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan” (QS. al-Hasyr : 18)
Ketiga, Membangun sifat tawadhu’ atas semua yang ada. Sebab, Allah secara jelas telah menghancurkan hamba-Nya terdahulu akibat kesombongannya. Mulai Iblis yang sombong atas status genetikanya yang berasal dari api, Namrudz dan Fir’aun atas kekuasaannya, Haman atas kepiawaian birokrasinya, Bal’am atas keulamaan dan keilmuannya, Qorun atas kekayaannya, atau Abu Jahal atas status sosialnya. Kesemuanya ada pada setiap generasi dan hadir dihamparan bumi ini. Mereka mewakili tipikal manusia yang sombong yang hadir setiap generasi. Murka Allah begitu jelas dan pasti, namun seakan tak pernah menjadi i’tibar (pelajaran) bagi pelaku kemungkaran. Bahkan terkesan “tak mengimani” atau melakukan pembangkangan atas peristiwa yang telah disampaikan-Nya dalam al-Quran. Padahal, Allah sangat membenci hamba yang sombong dan mengingkari kebenaran ayat-ayat-Nya. Sebaliknya, hamba yang dicintai-Nya adalah hamba yang tau bersyukur dan beradab. Hal ini secara jelas dinyatakan melalui firman-Nya : “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan” (QS. al-Furqan : 63).
Begitu jelas tipikal hamba yang disenangi dan hamba yang dibenci. Semua disampaikan-Nya tanpa perlu diragukan. Bukan sebatas firman tertulis, tapi firman yang terbentang dalam wujud berbagai peristiwa nyata. Namun, meski demikian, seiring pergantian waktu, semua ayat dalam wujud peristiwa acapkali terulang kembali. Seakan putaran siang dan malam yang terus berulang.
Sungguh, ditemukan pameo bahwa“setiap orang ada masanya dan setiap masa ada orangnya”. Namun, persoalannya siapa orang pada masanya dan kapan masa yang diharap-kan orangnya. Kedua silogis ini perlu menjadi kajian dan renungan. Bila orangnya sosok Nabi Musa, maka masanya dikelilingi sosok nabi Harun (sosok ulama) dan Yusya’ bin Nun (sosok birokrat). Tapi, bila orangnya sosok Fir’aun, maka masanya dikelilingi sosok Haman (sosok birokrat), Bal’am (sosok ilmuan dan ulama), serta Qorun (sosok pemilik modal). Putaran hidup sesuai sunnatullah, tapi bentuk pilihan atas putaran waktu tergantung kualitas setiap diri. Terbentang lebar 2 (dua) pilihan jalan, yaitu jalan fujur (kesesatan) dan jalan taqwa (kebenaran). Secara jelas, pilihan ini dinyata-kan Allah dalam firman-Nya : “maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya” (QS. asy-Syams : 8).
Ayat di atas dijelaskan Ibnu Abbas, bahwa Allah telah mengilhamkan pada manusia pilihan kebaikan dan keburukan. Pilihan yang diilhamkan-Nya melalui akal dan hati yang didukung pancaindera dan ayat-Nya. Kelak, semua pilihan akan dipertanggungjawabkan.
Meski semua sadar, tapi sulit menghadirkan kesadaran diri secara konsisten (istiqomah). Kalanya sadar untuk menghadirkan iman sesuai janji di alam mitsaq. Namun, kalanya sadar tanpa mau menyadari atas semua yang difirmankan-Nya. Akibatnya, sadar atas apa yang diimani, tapi alpa menghadirkan wujud iman pada realita prilakunya. Katakter manusia seperti ini merupakan wujud hamba yang mempermainkan ayat Allah dan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah. Untuk itu, Allah mengingatkan melalui firman-Nya : “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab,
“Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok ?” (QS. at-Taubah : 65).
Ayat di atas secara tegas dijelaskan Ibnu Katsir abahwa tidak usah kalian minta maaf, karena kalian telah kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan dari kalian (lantaran mereka bertobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebab-kan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. Penjelasan yang begitu tegas, tapi acapkali sengaja dilupakan. Tipikal ini bagai sosok “trisula Fir’aun”. Tipikal ini bisa berwujud sama pada “ruang asesories”, tapi kalanya berwujud beda tapi esensi yang sama (penyebar kebencian dan perpecahan). Kedua tipikal ini merupakan sosok yang menghancurkan peradaban dan nilai-nilai kemanusiaan.
“Trisula Fir’aun akan bisa disingkirkan tatkala umat mampu membangun lingkunan berkarakter “catur peradaban” sebagaimana yang ditampilkan melalui sosok khulafa ar-rasyidin. Pilihan ini akan menghantarkan manusia mampu melaksanakan tugas penghambaan dan kekhalifahannya di muka bumi secara harmonis.
Semua pilihan memiliki potensi untuk dimunculkan dan bergulir. Ia berotasi sesuai putaran sumbu yang diinginkan manusia pada zamannya. Pilihan jelas terbentang. Pilihan pada putaran “trisula” Fir’aun atau “catur peradaban” Rasulullah SAW. Setiap pilihan menunjukan kualitas karakter diri. Semua karakter tak bisa didustai, meski sejuta upaya menutupinya. Karakter setiap pemimpin dan dipimpin akan bertemu pada gelombang frekuensi karakter yang sama. Bila sosok seluruh elemen merupakan pemilik karakter mulia, maka sosok “catur peradaban” yang mengawal Rasulullah SAW akan menjadi pilihan utamanya. Pilihan yang meghadirkan dimensi rahmatan lil ‘aalamiin. Namun, bila hadir sosok elemen pemilik karakter sang pengkhianat dan zalim ala
Namrudz, maka “trisula Fir’aun” yang akan menjadi pilihannya. Pilihan yang akan menghancurkan peradaban (mafsadah). Mungkin di dunia dipandang mulia, tapi di mata Allah dinilai hina (QS. al-Ghasyiah: 2). Semua gerak dan putaran karakter yang tampil akan terkoneksi pada pemilik frekuensi karakter yang sejenis. Semoga, pilihan catur peradaban Rasulullah yang membawa rahmat, bukan trisula Fir’aun yang menghancurkan, aamiin.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.***