Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Andai pada seekor kambing disuguhkan padanya 2 (dua) pilihan berupa sebutir permata dan seikat rumput, maka pasti ia akan memilih seikat rumput. Padahal, bila kambing memiliki akal sehat untuk berfikir, maka ia akan memilih sebutir permata. Sebab, bila dijual nilai sebutir permata akan dapat membeli rumput yang bisa dimakan bersama komunitasnya selama hidup. Tapi, si kambing tak pernah dan tak mampu berfikir hal yang demikian. Ia justeru memilih rumput yang pandang lezat dan mengenyangkan. Pilihannya didorong oleh nafsu untuk mengisi perut-nya, bukan pilihan akal sehat untuk membangun peradaban masa depannya yang lebih bernilai. Untuk itu, wajar bila komunitas kambing tak pernah maju dan berubah peradabannya. Komunitas ini lebih mengedepankan perut untuk pemenuhan kebutuhan sesaat dan membuang kesempatan masa depan yang lebih berharga (baik).
Pilihan ini wajar terjadi pada seekor kambing. Sebab, ia tak memiliki akal untuk berfikir dan hati untuk memberi pertim-bangan. Namun anehnya, fenomena mendahulukan perut ketimbang akal terkadang terjadi dalam peradaban manusia. Padahal, manusia diberikan akal dan hati sebagai karunia Ilahi yang mulia. Pilihan mendahulukan perut (nafsu) membuat akal dan hati tertutup. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Sekali-kali tidak !. Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka” (QS. al-Muthaffifin : 14).
Ayat di atas turun sebagai bantahan atas tuduhan orang-orang kafir yang mengata-kan bahwa al-Quran bukan petunjuk, tapi hanya dongengan belaka. Sementara dalam konteks modern, hanya meletakkan al-Quran sebatas kitab suci yang sekedar ada, dibaca, diperlombakan, atau dihafal. Namun, ia tak terlihat sebagai acuan untuk membersihkan hati dan pedoman bagi perilakunya. Sebenarnya apa yang terjadi merupakan wujud nyata kualitas hati dan akal yang telah tertutup. Kebiasaan ini menjadikan perilaku dosa, kebohongan, dan khianat menjadi kebiasaan, seiring hati semakin keras, gelap, dan tertutup laksana logam yang berkarat. Akibatnya, manusia yang demikian tak mampu membedakan antara kebohongan dengan kebenaran, atau sebaliknya. Baginya, semua dapat dilakukan meski harga diri tergadai bahkan terjual. Hati yangdemikian hanya bisa dibersihkan dengan taubat yang sempurna (taubat nasuha), bukan taubat “cabe rawit”. Ketika pedas terasa (musibah), taubat dilakukan. Namun, ketika rasa pedas telah hilang, ia akan kembali mencari cabe untuk dimakannya.
Sungguh, manusia tertutup akal dan hatinya oleh selimut nafsu (perut) dan ambisi yang lebih dominan. Apatah lagi bila agama sebatas jualan dan tempat persembunyian untuk menutupi keburukan. Meski kambing akan berhenti makan rumput tatkala perutnya penuh terisi, namun manusia yang didorong nafsu tak pernah berhenti meski perut terisi melebihi kapasitasnya. Ia akan terus menumpuk apa yang akan dimakan, layaknya seekor monyet yang berebut makanan. Manusia yang demikian tak menyadari, bahwa ketika perutnya telah terisi, maka akalnya menjadi beku.
Pada sisi kenehan lainnya, meski telah berada pada posisi dewasa, tapi akal dan hatinya seperti anak balita. Hidup pada era modern, tapi masih berorientasi era purbakala. Ia lebih mengedepankan pola berfikir dan bertindak pada primordial masa kecil (lalu), padahal usia telah tua renta. Seyogyanya, manusia berakal perlu melepaskan diri dari ruang primordial, sebab ia bukan lagi anak kecil yang berebut mainan.
Potensi sikap dan sifat aneh yang menerpa manusia bak seekor kambing bisa mendera setiap diri, lintas status dan SARA, bahkan atribut “mulia” lainnya. Eksistensinya akan dinilai aneh bagi pemilik hati yang bersih dan akal yang sehat. Namun, bagi pemilik hati yang kotor dan akal yang sakit, kecenderungan ala kambing menjadi kewajaran dan ditradisikan setiap putaran peradaban antar generasi. Bahkan, kotornya hati dan kerakusan diri melampaui batas kewajaran akal sehat. Sifat rakus manusia yang demikian telah diingatkan Rasulullah SAW melalui sabdanya : “Seandainya manusia diberi satu lembah penuh dengan emas, ia tentu ingin lagi yang kedua. Jika ia diberi yang kedua, ia ingin lagi yang ketiga. Tidak ada yang bisa menghalangi isi perutnya selain tanah. Dan Allah maha menerima taubat siapa saja yang mau bertaubat” (HR. Bukhari).
Fenomena peradaban manusia sebagai-mana tampilan di atas semakin tak terbendung. Apatahlagi kebusukan yang dimiliki mampu ditutupi melalui selembar pakaian duniawi. Gemerlap asesosoris dan kemewahan pakaian kemuliaan yang menyilaukan mata, membuat semua yang melihat menjadi silau dan terpana. Meski busuk tercium, tapi mulut terkunci. Sambutan meriah diperoleh. Kondisi ini tak disadari bahwa pemilik kemuliaan adalah pakaian, bukan diri yang memakai. Eksistensinya bagai seekor burung cenderawasih yang bernilai tinggi dengan bulunya yang indah dan burung gagak yang bernilai rendah dengan bulunya yang hitam menakutkan. Nilai keduanya dibedakan pada bulunya semata. Padahal, keduanya sama-sama hewan yang berkualitas sama. Pakaian kemuliaan meski mampu tampil memukau, namun tatkala cahayanya meredup dan mati, ia akan ditinggalkan. Bagai sebuah lampu bohlam, ketika tak lagi bercahaya, maka ia akan dibuang tak berguna. Sementara cahaya matahari tak pernah mampu ditatap dikarenakan sinarnya yang memancar penuh keikhlasan.
Manusia yang berhati bersih dan berakal sehat hidup bagai matahari, rembulan, atau bintang. Ia menerangi seluruh alam tanpa melihat siapa dan status yang diteranginya. Ia hadir tanpa harap pujian. Apa yang dilakukan matahari, rembulan, dan bintang merupakan wujud hamba pemilik cinta-Nya. Untuk itu, Allah SWT mengingatkan melalui firman-Nya : “Dan sebagian dari tanda-tanda kebesaran Allah ialah malam, siang, matahari dan bulan” (QS. Fussilat : 37).
Sementara manusia berhati kotor dan akal yang sakit bagai lampu senter. Ia hanya menerangi pada objek terbatas yang dituju. Ia tak peduki pada sisi yang tak diinginkan akan mengalami kegelapan. Baginya, penerangan hanya diarahkan untuk mereka yang diinginkan, tanpa peduli dengan yang lain. Pilihannya hanya pada siapa yang disukai, bukan pada siapa yang mumpuni.
Sungguh, begitu jelas ayat-ayat Allah telah tersajikan di depan mata. Ayat tertulis dan terhampar bagaikan tumpukan permata yang terbuang percuma. Ia hanya sebatas dilihat tapi dibutakan, diakui tapi diingkari, dibeli tapi dibuly, dibaca tapi tak dipedomani, diingat untuk alpakan, atau sebatas identitas tanpa kualitas. Manusia yang demikian hanya ter-giur meraih onggokan jerami dan saling memperebutkannya.
Sungguh, “setiap orang ada masanya dan setiap masa ada orangnya”. Pepatah yang selalu diucap sebagai pengakuan atas sunnatullah yang ditetapkan-Nya. Namun, persoalan yang luput diperhatikan dan difikirkan adalah “bagaimana kualitas orang pada masanya ?”. Andai diperoleh sosok pemilik kualitas amanah dan adab yang bijak memilih sebutir permata, maka visi kekhalifahan akan tercapai (rahmatan lil ‘aalamiin). Tapi, bila sosok khianat, sombong, primordial, dan tak beradab yang “senang seikat rumput” untuk mengisi masanya, maka kehancuran derajat manusia yang akan terjadi (mafsadah lil ‘aalamiin). Semua pilihan yang yang diambil pasti akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Hal ini merujuk pada sabda Rasulullah SAW : “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung-jawaban atas yang dipimpinnya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Mungkin pertanggungjawaban dunia bisa dikebiri dengan siasat licik. Berbagai strategi, pengerahan kekuatan, siasat kepentingan, dan “kesepahaman pundi-pundi” mungkin bisa melepaskan. Namun, pertanggungjawaban akhirat tak akan mampu didustai.
Tipikal manusia atas pilihan sebutir permata dan seikat rumput dapat dikembangkan pada 3 (tiga) pilihan, yaitu :
Pertama, Memilih sebutir permata. Sikap ini hanya dilakukan pemilik akal sehat dan hati yang suci. Ia tau nilai permata. Meski hanya butiran dengan ukuran kecil, permata memiliki nilai yang tinggi. Nilainya bukan pada ukuran, tapi kualitas. Pilihan manusia cerdas pada sebutir permata menandakan ia bijak dan mengerti kualitas, bukan mengorbankan kualitas demi perut dan kepentingan sesaat. Pilihan bijak ini hanya akan dilakukan manusia berilmu dan beradab. Pilihan yang mengangkat martabatnya pada tingkat kemuliaan.
Kedua, Memilih seikat rumput. Sikap ini hanya dilakukan ciptaan-Nya yang tak berakal (sehat). Seluruh inderanya hanya diisi oleh nafsu perutnya belaka. Ia tak peduli atas kualitas pilihannya. Ia hanya menyandarkan pilihan pada pemenuhan keinginan nafsunya semata. Tak peduli dampak atas pilihan akan merugikan diri dan peradaban. Ia hanya peduli terpenuhi perut dan seleranya sesaat.
Pilihan tipikal ini hanya dilakukan oleh varian komunitas kambing. Ia tak bisa memilih sebutir permata secara bijak karena tak memiliki akal dan hati. Pilihannya didorong pada tujuan mengisi perut dan kualitas akalnya.
Ketiga, Memilih permata dan memakan rumput. Sikap ini lebih berbahaya ketimbang pilihan kedua. Sikap kerakusan dan keserakahan yang nyata. Semua diambil tanpa menyisakan yang ada. Tak peduli halal dan haram, benar dan salah, atau baik dan buruk. Sikap ini merupakan prilaku hamba yang berakal manusia, tapi bernafsu hewan. Sebutir permata diambil dengan berbagai cara dan seikat rumput pun tetap dimakan. Sikap ini merupakan prilaku teramat nista.
Pilihan tipikal ini merupakan karakter manusia setengah hewan. Zahirnya manusia, namun karakternya menginjak-injak kemuliaan manusia. Inginnya dimanusiakan, namun perilakunya menunjukkan kehewanan dan tidak memanusia-kan sesamanya. Tipikal ketiga ini merupakan tipikal yang sangat berbahaya dan laten. Tampilan lahiriyahnya sebagai manusia (asesoris tampilan kebaikan), namun akal, hati, dan sifatnya melebihi pemilik tipikal kedua. Manusia seperti ini dijelaskan Allah melalui firman-Nya : “Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan banyak dari kalangan jin dan manusia untuk (masuk neraka) Jahanam (karena kesesatan mereka). Mereka memiliki hati yang tidak mereka digunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah), memiliki mata yang tidak mereka digunakan untuk melihat (ayat-ayat Allah), dan memiliki telinga yang tidak mereka pergunakan untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah” (QS. al-A’raf : 179).
Demikian jelas firman Allah menunjukkan sifat manusia yang melebihi hewan. Firman yang menggunakan kata langsung, tanpa bahasa kiasan. Tujuannya agar manusia ingat dan memahaminya. Sebab, daya tarik dunia bagi komunitas ini acapkali dan terus terjadi sepanjang sejarah. Untuk itu, Rasulullah mengingat-kan agar bijak bersikap melalui sabdanya : “Sesungguhnya Allah mencintai tiga hal dan membenci tiga hal. Perkara yang dicintai adalah sedikit makan, sedikit tidur, dan sedikit bicara. Sedangkan perkara yang dibenci adalah banyak bicara, banyak makan, dan banyak tidur” (HR. Baihaqi).
Meski ayat dan hadis di atas demikian jelas, namun jelas pula keingkaran pilihan yang terjadi. Sikap yang disenangi Allah dilanggar, tapi sikap yang dibenci Allah justeru yang sering dilakukan dan disenangi dengan pola kepongahan yang nyata. Bahkan, apa yang diambil melampaui kebutuhan yang diperlukan. Akibatnya, perilaku yang wajar dinilai sikap tak beradab dan sikap tak beradab dinilai perilaku yang wajar.
Kondisi di atas akan semakin berdampak negatif tatkala dilakukan secara kolektif dan masif. Kondisinya hadir bagaikan angin yang terasa ada tapi tak mampu disentuh. Atau bagaikan api yang demikian nyata, tapi tak mampu didekati. Ketika coba didekati, justeru akan membakar semua yang coba mendekatinya. Hanya hati sebening embun pagi yang mampu meredam semuanya.
Namun, alam akan melakukan seleksi atas perilaku manusia. Sebagai ayat-Nya, alam akan berbicara terhadap manusia sesuai tipikal yang dipilihnya. Sebab alam tak bisa diperdaya. Seleksi alam pasti adanya. Alam akan menunjukan sifat dan kualitas setiap manusia. Bagai, muntahan yang memperlihatkan apa (isi) yang dimakan. Sadari bahwa manusia berada dan akan kembali dalam pelukan alam semesta. Pilihan alam tak pernah keliru. Sebab alam senantiasa bertasybih mengagungkan Ilahi. Sementara pilihan manusia berpeluang keliru. Sebab manusia acapkali lupa dan alpa mengagungkan Sang Pencipta. Antara sifat lupa dan alpa yang dimiliki, Iblis berpotensi mengisi sisi sifat hewan pada diri manusia, bahkan melebihi sifat asli yang dimiliki hewan.
Meski demikian jelas ayat qauliyah dan kauniyah menunjukan kebenaran, namun manusia acapkali mengingkarinya. Hati dan akalnya saja diingkari, apatahlagi isi alam semesta. Tak ada lagi kebenaran sebagai pilihan seiring menguatnya kepentingan menggiring melakukan kesalahan. Andai Allah membuka hijab manusia, mungkin banyak yang menjerit ketakutan melihat wajah asli dirinya. Entahlah, mungkin telah hilang akal, hati, dan malu pada diri. Demikian angkuhnya manusia yang mengangkangi semua firman Allah dan akhlak Rasulullah SAW. Jika demikian, masihkah manusia mengharap surga di tengah upayanya yang keras untuk selalu mendekati, mencintai, dan membeli neraka ?
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 12 Pebruari 2024