Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Meski hanya hewan, seekor ayam ternyata mengajarkan banyak pelajaran bagi manusia. Namun, tak semua manusia sempat menangkap pesan-Nya nelalui seekor ayam. Padahal, tak ada yang sia-sia pada ciptaan-Nya (QS. al-Qiyamah : 36). Semua mengandung i’tibar bagi manusia untuk melaksanakan fungsi kekhalifahan-nya di muka bumi Adapun pelajaran yang bisa diambil dari seekor ayam, antara lain :
Pertama, Ayam jantan senantiasa ber-kokok di tengah malam. Ia bangunkan manusia dikeheningan malam untuk tunduk dan bermunajat pada Pencipta Alam Semesta. Ayam begitu sabar dan tak pernah henti berkokok setiap malam untuk mengingatkan manusia. Ia tak pernah dipuji dan berharap pujian atas apa yang dilakukan. Meski ayam jantan tak pernah memakai jam dan alarm, tapi ia konsisten mengetahui kapan waktu ia perlu berkokok dan tujuannya berkokok. Sungguh, ayam telah mengimplementasikan firman Allah SWT : “Demi masa (waktu). Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugi-an. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasehati untuk kebenaran dan kesabaran” (QS. al-‘Asr : 1-3).
Sementara segelintir manusia tak mau bila diingatkan dan menganggap diri paling hebat. Bila “berkokok” tak tau waktu dan tempat. Untuk itu, Allah hadirkan pembawa kebenaran untuk mengingatkan hamba-Nya. Pembawa kebenaran bisa berwujud manusia, alam, terutama akal dan hatinya. Namun anehnya, kebanyakan manusia justru tak mau diingatkan dan menerima nasehat. Seakan, ia tampil bak manusia sempurna. Untuk itu, Allah hadirkan sosok pada karakter yang sama untuk mengingat-kannya. Sosok “penasehat penuh siasat” dan muslihat. Anehnya, sosok yang demikian sangat disenangi dan mendapat “panggung” gemerlap fasilitas.
Padahal, Rasulullah SAW memperlihatkan sisi kemanusiaan dalam kehidupannya. Beliau menerima nasehat dan pendapat para sahabat lainnya berkaitan urusan duniawi. Hal ini dapat dilihat pada peris-tiwa perang Khandaq. Beliau menerima saran Salman al-Farisi dan memerintahkan sahabat untuk membuat parit sebagai benteng pertempuran. Sebab, Rasulullah tau mana nasehat emas, mana sampah.
Kedua, Bertelur satu, tapi riuh (berkotek) sekampung. Meski demikian, keriuhannya memiliki bukti. Wujud bukti sebutir telur yang dihadirkan. Sementara segelintir manusia justeru hanya bisa membuat riuh dan gaduh tanpa bukti atas apa yang dikumandangkan. Gaduh yang berbuntut perseteruan dan dendam. Karakter yang demikian bak pepatah “tong kosong, nyaring bunyinya”. Namun, anehnya tipikal pembuat gaduh tanpa karya selalu laris tampil di atas panggung sandiwara. Ia hanya mengandalkan teriakan nyaring menggelegar di atas “mimbar” dan media sosial, tapi suara kosong tanpa isi. Hadir-nya bak burung beo membenarkan kata tuannya. Untuk itu, wajar bila pemilik burung beo semakin jauh dari jalan-Nya. Seiring tersingkirnya pemilik ilmu yang menuntun kebenaran. Dengan menyingkir-kan pemilik kebenaran, maka sisi kesalah-annya tak akan terlihat. Mungkin kemulia-an duniawi akan diperoleh, tapi sebenar-nya hanya berwujud istidraj yang didapat- kannya. Sebab, hal itu merupakan bentuk murka-Nya (QS. al-Qalam : 44) semata.
Beruntung manusia bijak dan berisi. sosok-nya teduh bagaikan “padi tunduk berisi”. Ia hadikan karakter “berbuat kebaikan dan berkarya dalam keheningan. Ia biarkan kesuksesan karyanya kelak yang akan mengguncang peradaban.” Setiap nama (prilaku) menunjukan sifat (karakter) dan setiap sifat menunjukkan kualitas hati. Manusia yang senantiasa menjaga kuali-tas hati dengan cinta-Nya, maka ia sedang melakukan amalan dan adab kaum sufi. Sebab, ia sedang berupaya “bersembunyi di tengah cahaya terang benderang dan bersepi di tengah keramaian”.
Berbeda karakter manusia “tong kosong” apalagi “tong sampah”. Ia selalu menampil-kan (mempublikasikan) diri mengalahkan terangnya matahari dan riuh membahana di tengah keramaian. Semua dilakukan untuk menutupi kejahilan yang sebenarnya.
Ketiga, meski warna, jenis (ras), jantan atau betina, dan makanan berbeda-beda, tapi warna telur yang dikeluarkan putih berseri. Ayam mengajarkan makna produksi kesucian. Demikian seyogyanya sifat manusia. Meski berbeda SARA, asal, status, dan varian lainnya, namun yang dikeluarkan kepermukaan adalah kebaikan dan karya peradaban. Meski kebahagiaan atau kesusahan menerpa, tapi tawadhu’ dan sabar yang diperlihatkannya. Jangan hanya sibuk memamerkan status, derajat, atau kenestapaan semata. Hal ini diingatkan oleh Rasulullah melalui sabdanya : “Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik dan harta mu, tetapi Ia melihat hati dan amalmu” (HR. Muslim).
Meski hadis di atas begitu jelas, namun acapkali “disamarkan”. Akibatnya, tampilan fisik (status, titel atau variannya) dan harta menjadi tujuan utama. Tak peduli bagai-mana mendapatkan, semua jalan dan cara ditempuh. Fenomena aturan “bak tuhan” ala scopus disusun untuk memenuhi keinginan yang ada. Terbuka lebar pintu “transaksi”. Semua berlindung dengan aturan bocor, bukan moral (adab) bersendi agama. Wajar bila hadir sosok “manusia gemerlap asesosries” tanpa mampu membawa peradaban yang beradab. Melenggang serasa tanpa dosa. Bangga tanpa malu dan tak risih bila bersalah.
Berbagai isu yang berkaitan upaya culas mengejar status dan atribut intelektualitas membuat pilu dan malu bangsa ini. Seakan sedang terjadi penghamburan atribut dan status bak “kacang goreng”. Hilang ruh harga diri pemilik ilmu. Semua tersingkir oleh kepentingan semu. Semua terdiam membisu dan segelintirnya tak lagi peduli. Tersisa wujud begitu “anggun berkilauan”, tapi yang dikeluarkan sebatas kotoran bagi peradaban. Padahal, baginda Rasulullah telah mengingatkan melalui sabdanya : “Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara subhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara subhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjeru-mus dalam perkara subhat, maka ia bisa terjerumus pada perkara haram. Sebagai-mana ada penggembala yang menggem-balakan ternaknya di sekitar tanah larang-an yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah, setiap raja ada tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Terkadang, seekor ayam lebih bijak dan mulia dibanding manusia. Ayam berusaha sesuai kemampuannya, bukan “membayar” guna memiliki kemampuan agar telurnya menjadi “emas”. Sementara, segelintir manusia justeru berprilaku sebaliknya. Hadir anggun bersih berseri dengan deretan status menjulang tinggi. Namun, acapkali yang dikeluarkan dari akal, hati, dan mulutnya tak lebih sebatas kotoran yang menodai peradaban.
Keempat, Ayam makhluk tak putus asa. Meski hanya kais pagi makan pagi, kais petang makan petang, tapi pantang berpangku tangan. Ayam yakin pada janji dan jaminan yang dijanjikan-Nya. Ayam seakan melaksanakan inti firman Allah : “…. Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah….” (QS. az-Zumar : 53).
Sementara, segelintir manusia justeru berpangku tangan. Mengandalkan nasab untuk meraih dan mengukir nasib. Tak berkemampuan tapi merasa paling mulia. Tak beradab tapi ingin menciptakan peradaban. Mungkin apa yang diinginkan akan diperoleh, tapi tanpa ketenangan hakiki. Meski yang diinginkan dapat diraih, tapi wujud aslinya akan terlihat jua. Kesenangan tanpa bahagia. Manusia seperti ini dinukilkan Allah dalam firman-Nya : “Sesunguhnya mansia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan, ia amat kikir” (QS. al-Ma’arij :19-21).
Kelima, Bila diberi asupan istimewa, ayam perlu hati-hati. Sebab, ia akan dijadikan taruhan di arena pertarungan. Bisa jadi makanan yang disebarkan hanya cara untuk menangkap dan disembelih.
Demikian tontonan kehidupan ini. Manusia sakit bukan karena puasa (menahan nafsu), tapi melepaskan nafsu tanpa kendali. Manusia celaka dan hina bukan karena keterbatasan, tapi tatkala dipuncak ketenaran. Ternyata, berbagai “asupan” membuatnya lupa diri atas nikmat yang didapat. Ia lupa jurang di depan yang menganga. Semua terjadi disebabkan ia tak lagi pernah bersyukur, tapi berharap ingin “mencukur” (habis) semua yang ada. Sifat manusia yang demikian ini diingatkan Rasulullah melalui sabdanya : “Seandainya seorang anak Adam memiliki satu lembah emas, maka ia masih menginginkan lembah yang kedua dan seterusnya. Mulutnya tak pernah puas sampai terisi dengan tanah (kematian). Allah akan menerima taubat bagi siapa yang bertaubat” (HR. Mutafaqun ‘Alaihi).
Sungguh, keserakahan manusia seakan tanpa batas. Hanya beda pada objek, wujud asesoris, dan waktu. Tapi, substansi dan dampak atas keserakahannya tetap sama, menghacurkan tatanan peradaban
Keenam, Ayam berbagi tugas mengasuh anak. Si induk dengan telaten mendidik dan menjaga anak-anaknya. Meski tak tau menghitung, tapi induk ayam tau bila ada anaknya yang hilang. Ketika datang musuh yang mengancam, induk ayam siap menyerang meski nyawa taruhannya. Sepanjang sejarah, ayam tak pernah menyerahkan hak asuhnya pada ayam lain dan tak pula menjual anaknya untuk memperoleh makanan. Sungguh begitu beruntung anak ayam memiliki induk yang peduli dan bertanggungjawab. Memberi asupan makanan ke mulut anaknya, tanpa ia makan terlebih dahulu. Ia dahulukan kebahagian anaknya, bukan dirinya.
Ketujuh, Ayam dan semua hewan kawin dengan lawan jenisnya. Tak ada hewan yang kawin sejenis. Padahal, ia makhluk tanpa akal. Sementara, dalam lintas sejarah perkembangannya, justeru manusia tampil sebagai makhluk aneh. Kecenderungan pada sejenis pada kaum nabi Luth AS terus hadir. Meski aneh, populasinya semakin meningkat. Bahkan, komunitas ini berjuang untuk dilegalkan.
Andai logika teori evolusi Darwinsm digunaka, maka tatakala spesies monyet berevolusi menjadi manusia, lalu manusia yang berkecenderungan sejenis berevolusi ke mana ? Sebab, tak ada makhluk yang memiliki kecenderungan sejenis, kecuali manusia yang melampaui batas kejahilan.
Sungguh, kalanya dengan seekor ayam saja manusia seyogyanya malu. Kemulia-an yang disandang acapkali dalam wujud teoritis belaka. “Berkotek dan berkokok” di media sosial dan mimbar “menara gading” melebihi ayam, meski tak pernah sedebu pun karya mampu dihasilkan.
Sungguh beruntung bila manusia menjaga kemuliaan dirinya melalui karya (apa yang dimiliki) yang bernilai manfaat bagi seluruh alam semesta. Ia telah berbuat meski banyak upaya menutupi. Andai dengan seekor ayam saja ternyata manusia tak mampu lebih baik, maka bagaimana mungkin mampu melaksana-kan tugas kekhalifahan di muka bumi. Bila tipikal yang dimiliki masih berada di bawah karakter ayam, maka sadari dan segera perbaiki diri untuk kembali menjadi manusia hakiki. Bertafakurlah atas keang-kuhan yang ada untuk memunculkan dimensi penghambaan hanya pada-Nya. Semua tergantung pada kualitas diri. Bila hidayah-Nya mampu diraih dengan bijak, maka selamatlah diri dan alam semesta. Tapi, bila hidayah-Nya senantiasa didusta-kan dan diterlantarkan, maka nistalah diri dan semakin hancur peradaban.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 05 Agustus 2024