By. Abu Anwar (Ketua STAIN Bengkalis)
Pada musim haji tahun 2024 ada istilah yang baru selain istilah mabit ( berdiam) di muzdalifah juga ada istilah murur (lewat) di muzdalifah. Munculnya istilah tersebut tentu mengagetkan sebagian orang Islam dan timbul suatu pertanyaan apakah hal tersebut dibenarkan dalam Islam atau justru menjadi persoalan secara hukum sehingga berimplikasi pada keabsahan ibadah haji. Tentu saja ada berbagai persoalan penyebab munculnya istilah murur ada beberapa penyebab kemaslahatan lebih besar yang dilakukan oleh petugas haji Indonesia.
Salah satu kegiatan ibadah haji yang dilakukan oleh para jama’ah haji yaitu mabit (bermalam atau berdiam) di muzdalifah. Hanya saja ada beberapa persoalan teknis yang menjadi titik pemikiran Ketika melakukan mabit di muzdalifah, pertama, bermalam atau berdiam di muzdalifah memiliki waktu dan tempat terbatas yang tidak sama dengan padang arafah yang tempatnya sangat luas. Akibatnya perlu melakukan super disiplin untuk menjaga hal-hal yang tidak dinginkan akibat jamaah haji yang sangat banyak. Kedua, lonjakan jumlah jama’ah haji dari tahun ke tahun sangat tinggi dan dratis. Sementara tempat untuk mabit lokasinya sangat terbatas menyebabkan perlu ada tinjau ulang efektifitas murur di muzdalifah. Ketiga, adanya jumlah jama’ah haji yang sebagian besar lanjut usia. Ketika adanya situasi yang sempit dan kemungkinan terjadi desak-desakan sangat yang ekstrim dan sangat berbahaya, maka perlu langkah dari pihak pemerintah, sebagai pengelola haji, untuk menjaga kondisi mereka agar tetap selamat dari berbagai kemungkinan yang tidak diinginkan terjadi di muzdalifah.
Mabit di Muzdalifah dengan cara murur adalah mabit atau bermalam yang dilakukan hanya dengan cara melintas di Muzdalifah namun tetap melakukan niat mabit, tanpa turun dari kendaraan. Selanjutnya bus akan langsung membawa jemaah haji menuju tenda Mina. Skema ini diterapkan sebagai upaya menjaga keselamatan jiwa jema’ah haji dari potensi kepadatan di tengah terbatasnya area Muzdalifah.
Hukum mabit di Muzdalifah sendiri diperselisihkan di antara ulama. Ada yang memandangnya wajib. Sebagian lain memandangnya sunnah. Status hukum itu sendiri akan menentukan konsekuensi bagi yang tidak melaksanakannya. Menurut jumhur ulama (mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i) jama’ah haji yang tidak mungkin mabit di Muzdalifah karena uzur seperti terkena macet di jalan, atau tersesat jalan, atau salah tempat, sehingga lewat waktu mabit, maka yang sersangkutan tidak dikenakan denda apapun.
Para ulama juga berbeda pendapat seputar berapa lama kadar minimal seseorang mabit di Muzdalifah. Menurut Mazhab Maliki, antara salat Magrib dan Isya’, beristirahat sejenak di Muzdalifah, dan boleh meninggalkannya walaupun sebelum pertengahan malam. Mazhab Syafii dan Hambali berpendapat, kadarnya adalah sesaat sebelum tengah malam dan baru boleh meninggalkan Muzdalifah setelah pertengahan malam. Beda lagi dengan Mazhab Maliki, jema’ah baru boleh meninggalkannya setelah shalat Subuh tanggal 10 Zulhijjah. (Al-Mughni fi Fiqhil Hajj wal-`Umrah). Adanya beragam perpedaan pendapat tersebut, Ketika petugas ibadah haji mengambil Teknik murur dalam rangka menjaga kemaslahatan lebih besar itu adalah merupakan langkah yang sangat jenius. Dalam islam ada prinsip yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Namun, dalam beberapa kondisi, islam memberikan ruang untuk keluar apabila terjadi kesulitan-kesulitan. Sebab langkah tersebut sebagai bagian dari perwujudan maqasid syariah yaitu hifd an-nafs (menjaga keselamatan jiwa). Oleh karena itu kepada semua Masyarakat muslim tidak perlu mempermasalahkan ‘murur muzdalifah’ namun tetap berniat melakukan mabit. Allah berfirman,
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَبْتَغُوْا فَضْلًا مِّنْ رَّبِّكُمْ ۗ فَاِذَآ اَفَضْتُمْ مِّنْ عَرَفٰتٍ فَاذْكُرُوا اللّٰهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ ۖ وَاذْكُرُوْهُ كَمَا هَدٰىكُمْ ۚ وَاِنْ كُنْتُمْ مِّنْ قَبْلِهٖ لَمِنَ الضَّاۤلِّيْنَ
“Tidaklah suatu dosa bagimu mencari karunia dari Tuhanmu (pada musim haji). Apabila kamu bertolak dari Arafah, berdzikirlah kepada Allah di Masyarilharam. Berzikirlah kepada-Nya karena Dia telah memberi petunjuk kepadamu meskipun sebelumnya kamu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.” (QS.al-Baqarah: 198)
Asalnya, perintah menunjukkan kewajiban hingga ada dalil yang mengalihkannya dari kewajiban. Berdasarkan hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam dari Urwah bin Mudhras radhiallahu anhu dan beliau bersamanya dalam shalat Fajar di hari Muzdalifah, dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, sungguh aku sangat lelah dan hewanku letih, tidaklah aku dapati sebuah bukit kecuali aku singgah di sana. Maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
من شهد صلاتنا هذه ، ووقف معنا حتى ندفع ، وقد وقف قبل ذلك بعرفة ليلاً أو نهاراً ، فقد تم حجه ، وقضى تفثه
“Siapa yang menyaksikan shalat kami ini, dan wukuf (di Muzdalifah) bersama kami hingga berangkat dan sebelumnya wukuf di Arafah baik di malam atau siang hari, maka hajinya sempurna dan telah bersihkan kotorannya.”
=====================================00000==============================