Oleh : Saifunnajar (Dosen IAIN Datuk Laksemana Bengkalis)
Kalau ditanya pada anak-anakku Mahasiswa oleh dosen penasehat akademiknya apa pilihan kelak mau jadi hakim atau dosen ? Tentu jawabannya masih so so karena belum punya referensi apa kelebihan hakim dan apa pula kelebihan seorang dosen.
Lebih sulit lagi menentukan jawaban kalau belum mengenal karakter dirinya, kecendrungan dan bakatnya kemana. Kali ini aku ingin bercerita pengalamanku yang sudah lama sekali tentang penomena memilih jurusan ini, mungkin juga bisa menjadi perbandingan.
Waktu aku kuliah dahulu di IAIN Imam Bonjol Padang tahun 1984 sistem tingkat, tiga tahun kuliah dapat gelar BA, kalau ingin gelar Drs. Tambah kuliah dua tahun lagi tingkat doktoral sekaligus memilih jurusan. Bedanya dengan sekarang sistem pendidikan menggunakan SKS, prodi atau jurusan harus ditentukan sejak awal masuk kuliah.
Pada saat masuk tingkat doktoral aku dihadapkan pada dua pilihan, Jurusan Peradilan Agama atau jurusan Qadha istilahnya, mempersiapkan calon hakim agama. Pilihan kedua Jurusan Tafsir Hadits mempersiapkan mahasiswa menjadi pakar tafsir dan hadits, dan boleh menjadi calon tenaga edukatif atau dosen. Karena waktu itu tingkat sarjana sudah bisa jadi Dosen, belum dipersyaratkan harus tamat S2. atau S3. Walaupun tidak semua lulusan Tafsir Hadits kemudian menjadi dosen.
Banyak temanku waktu itu yang memilih jurusan Peradilan Agama, sekarang umumnya bekerja sebagai hakim senior di Pengadilan Tinggi Agama. Apa sebenarnya yang memotivasi kawan-kawan memilih jurusan Peradilan Agama ini. Dari Perspektif agama biasanya dimotivasi oleh Hadits yang berbunyi :
إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران، وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر
Terjemah Hadits:
“Apabila seorang hakim (pemimpin atau mujtahid) menetapkan hukum lalu berijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala. Jika ia menetapkan hukum lalu berijtihad, tetapi keliru, maka ia mendapat satu pahala.”.
(HR. al-Bukhari dan Muslim)
Makna hukum adalah keputusan atau penetapan yang dikeluarkan seorang pemimpin, hakim, atau ulama mujtahid. Sedangkan makna Ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh dalam menggali dan menetapkan hukum syariat dalam perkara yang belum ada nash (teks) yang eksplisit.
Terdapat Dua pahala bagi yang benar: Satu atas ijtihadnya, satu lagi atas kebenaran hasilnya. Satu pahala bagi yang keliru. Tetap mendapat pahala atas usaha ijtihadnya, meskipun hasilnya tidak tepat.
Hadits ini menunjukkan rahmat dan keadilan Allah, yang memberikan pahala atas usaha dan niat yang sungguh-sungguh, bukan hanya pada hasil akhir. Allah tidak menghukum kesalahan hasil yang tidak disengaja selama dilandasi niat ikhlas dan usaha maksimal. Namun perlu diingat, hanya yang layak dan ahli (mujtahid) yang bisa melakukan ijtihad. Ini bukan pembenaran bagi orang awam untuk sembarangan menetapkan hukum. Ada beban tanggung jawab moral dan agama yang besar dalam proses ijtihad.
Dalam Islam terdapat dorongan untuk berpikir dan berijtihad. Islam tidak membekukan akal, tetapi justru mendorong umat berpikir kritis dan metodologis, selama dalam batas keilmuan. Ijtihad adalah bagian dari dinamisnya syariat Islam dalam merespons realitas kehidupan yang terus berkembang. Hadits ini mengajarkan bahwa dalam Islam, usaha sungguh-sungguh yang dilandasi ilmu dan niat yang benar adalah ibadah, bahkan ketika hasilnya belum tentu sempurna. Islam adalah agama yang menghargai proses, bukan semata-mata hasil. Maka, keadilan dan kasih sayang Allah tampak dalam pemberian pahala kepada para mujtahid, baik yang benar maupun yang keliru.
Demikian mulianya berprofesi pemutus perkara di sisi Allah SWT. Bahkan Negara memberikan perhatian lebih kepada yang satu ini, dengan sebutan Pejabat Negara, juga diiringi dengan gaji tunjangan istemewa sebagai kompensasi atas pertanggung jawaban tugas berat yang diemban. Oleh karenanya pula banyak para hakim yang melanjutkan kuliah ke jenjang S2, S3 atau Doktor, dalam meningkatkan kemampuan akademis untuk menghadapi dinamika hukum yang terus berkembang.
Sementara aku memilih jurusan Tafsir Hadits. Apa sebenarnya membuat pilihanku jatuh ke jurusan tafsir hadist ?.
Pertama, ingin memahami tafsir dan ilmu tafsir, hadits dan ilmu hadits secara baik. Sebagai sumber hukum Islam.
Kedua, Sejak awal tertanam keiingan sebagai dosen, kelak penebar ilmu pengetahuan, khususnya tafsir dan hadits sebagai sumber hukum.
Sekitar Dua tahun setengah lamanya aku agak pokus belajar membaca kitab tafsir dan Hadits akhirnya Drs aku dapatkan. Dosenku yang sudah almarhum dan almarhumah semoga dilapangkan kuburnya di antaranya yaitu Pak.M.Sanusi Latief, Pak.Amir Syarifuddin, Drs.H.Tazar Qur’an, Buya Mawardi Muhammad, Ibu Isnawati Rais, dan lain-lain. Banyak memberi petunjuk dan bimbingan membaca kitab tafsir Al Manar, Fathul Qadir, Tafsir Ayat Hukum Muhammad Ali As-Sayis dan Tafsir Al-Maraghi. Kitab hadits Subulus Salam.
Setelah tamat sarjana, aku menjemput jalan hidup di awali mengabdikan ilmu di kampung halaman, mengajar di Mts dan MAS yang ada dikampungku, lalu bergabung dengan teman-teman membesarkan pondok pesantren di kampungku bernama PP Indragiri Tanjung Makmur, Alhamdulillah banyak muridku yang sudah sukses dalam berbagai lapangan kehidupan dan dalam bidang akademis.
Pada saat ini aku teringat ayat Al-Qur’an dalam Surah At-Taubah 122:
فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا۟ فِى ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُوا۟ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوٓا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Artinya: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Tujuan ayat agar yang belajar agama bisa kembali ke kampung halamannya dan mendidik serta memperingatkan kaumnya, membimbing mereka agar takut kepada Allah dan menjalankan syariat dengan benar.
Setelah aku mengajar di Pondok Pesantren Tanjung Makmur di kampung tiga tahun lamanya, ikut tes pegawai Kementerian Agama, dinyatakan lulus dan ditugaskan di Kantor Kementerian Agama Kabupaten Indragiri Hilir selama lebih dari tujuh tahun. Kemudian pindah ke Kanwil Kementerian Agama Provinsi Riau, bertugas selama 24 tahun. Sekitar tiga tahun sempat ditugaskan di Kamenag Kota Pekanbaru kemudian dipindahkan lagi ke Kanwil Kementerian Agama Riau.
Pada tahun 2017, terlintas keinginan untuk mengabdi sebagai dosen. Tepatnya 2018 usul sebagai dosen aku terima. Rupanya Allah SWT memberikan jawaban dosen yang pernah aku impikan. Tugas kuawali di STAIN Bengkalis yang sekarang berubah bentuk menjadi IAIN Datuk Laksemana. Pada waktu masih bernama Sekolah Tinggi Agama Islam Al Kautsar dengan Ketua bapak Asy’ari Nur, aku pernah membantu beliau sebagai tenaga pengajar sekitar empat tahun lama. Waktu aku masih di Kanwil Agama Riau.
Dengan menggunakan nama besar Datuk Laksemana diharapkan IAIN semakin tumbuh dan dikenali oleh halayak ramai bukan tingkat lokal tapi mendunia. Ditambah dengan dibukanya Program Pasca Sarjana IAIN Datuk Laksemana semakin memberi kesempatan kepada mahasiswa melanjutkan S2 di kampus sendiri dan menggapai persyaratan kelak menjadi Dosen.
Prospek calon hakim dan calon dosen sebenarnya sama-sama menjanjikan, membawa berkah, jika ditekuni dengan baik dan dijalankan dengan ikhlas.
Allahu a’klam bi showab.