Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Selama ada cahaya, semua benda meng-hadirkan bayang-bayang. Sebab, ia terjadi akibat cahaya yang merambat pada garis lurus. Bayang-bayang terjadi pada sisi yang gelap dan terbentuk saat cahaya yang menerangi terhalang oleh sebuah benda (objek). Hanya ketika cahaya-Nya menyinari alam, tampil wujud bayang-bayang sesuai sunnatullah. Tanpa cahaya-Nya, bayang-bayang akan sirna.
Meski bayang-bayang tak berpengaruh pada manusia, namun fenomenanya jarang dikaji dan menjadi perhatian. Padahal, melalui bayang-bayang, Allah menyampaikan pesan pada manusia yang berakal (ulul albab). Sebab, eksistensinya ternyata mengandung banyak pelajaran bagi kehidupan. Adapun pesan yang dapat diambil melalui bayang-bayang antara lain :
Pertama, Bayang-bayang bagaikan doa dan kasih sayang ayah dan ibu untuk anak-anaknya. Ia selalu bersama dan menyertai kemanapun langkah akan diayunkan. Demikian pula pesan anak yang shaleh akan senantiasa menghadirkan munajat pada Allah untuk kebaikan pada kedua orang tuanya. Keduanya selalu bersama bak bayang-bayang yang menyertai diri. Kekuatan ini dinyatakan Rasulullah melalui sabdanya : “Tiga doa yang mustajab (terkabul) dan tak diragukan lagi yaitu : doa orang yang dizalimi, doa orang yang berpergian (musafir), dan doa orang tua pada anaknya” (HR. Bukhari).
Demikian setianya bayang-bayang ber-sama manusia dan objek lainnya. Namun, hanya manusia yang acapkali melupakan dan tak menghargai bayang-bayang. Hal yang sama acapkali terjadi pada manusia bila ditolong justeru lupa dan khianat. Kalanya berprilaku bak pepatah “bagai menolong anjing terjepit”. Tak tersisa jasa kebaikan yang pernah diperoleh. Hanya terbangun hasrat dengki yang dominan.
Kedua, Bayang-bayang bagaikan gemerlap dunia. Bila dikejar ia akan lari dan tak pernah bisa disentuh, apatahlagi dikuasai. Demikian dunia yang hanya bisa didekati tanpa bisa dikuasai dan dimiliki. Untuk itu,
Rasulullah SAW mengingatkan melalui sabdanya : “Bila kamu melihat Allah memberi pada hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah Istidraj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah” (HR. Ahmad).
Begitu jelas peringatan yang disampaikan oleh Rasulullah pada umatnya. Pesan agar bijak mempergunakan nikmat sebagai media meraih ridha-Nya. Untuk itu, ia akan meraih nikmat dengan jalan kebajikan. Sementara, hamba yang meraih keinginan dengan menghalalkan segala cara akan memetik buah busuk semata. Untuk itu, jangan sampai kufur nikmat dengan cara yang bathil dengan menyebar kebencian (fitnah) dan membangun kesombongan. Bila hal ini yang dilakukan, maka ia telah kufur atas nikmat-Nya. Akibatnya, semua yang diperoleh “disangka nikmat, ternyata berupa laknat” yang bermuara kenistaan.
Ketiga, Bayang-bayang bagai pantulan sosok manusia yang tak mampu hadir sendiri. Bayang-bayang sebuah objek hanya hadir karena dihadirkan oleh cahaya. Sumber cahaya abadi hanya milik Allah semata. Andai cahaya redup dan tenggelam, bersamaan hilangnya bayang-bayang dari arenanya. Demikian karakter manusia dan bayang-bayang. Manusia yang tak memiliki kemampuan hanya hadir mengandalkan “sosok cahaya” orang lain. Adakalanya sosok “cahaya” bisa berwujud manusia yang berpengaruh, keluarga, tumpukan uang, atau varian lainnya. Kesemua “sosok cahaya” menjadikan bayang-bayang tampil berani, padahal ia tak memiliki kemampuan untuk tampil tanpa cahaya. Untuk itu, tatkala ada pihak yang memiliki cahaya, ia akan berusaha menutupi dengan berbagai sebaran fitnah dan berita hoax (black campaign). Upaya ini hanya dipercayai oleh manusia tanpa “cahaya”. Sementara bagi manusia pemilik cahaya akan tau “mana emas, mana besi”. Sebab, hamba yang meraih cahaya-Nya tak pernah mampu dibendung untuk memun-culkan cahaya yang menghadirkan bayang-bayang kebenaran hakiki.
Keempat, Bayang-bayang melambangkan teman. Ia hadir bersama bila ada cahaya. Tapi, tatkala cahaya tiada, ia hilang “ditelan bumi”. Demikian sosok teman yang selalu hadir ketika suka, tapi hilang ketika duka.
Bayang-bayang bagaikan orang yang dipuja dan memuja. Ketika diri “bercahaya”, begitu jelas bayang-bayang membersamai-nya. Tapi, begitu “cahaya diri” tak lagi ada (gelap), bayang pun sirna entah kemana. Tersisa hanya diri tanpa bayang-bayang lagi. Fenomena ini bagaikan setetes madu yang dikerumuni semut. Ketika madu habis bersamaan manis telah hilang, maka semut akan mencari madu yang lain. Demikian karakter manusia yang diingatkan dalam pepatah “habis manis sepah dibuang”. Tak ada yang kekal, kecuali kepentingan (nafsu) yang abadi. Akibatnya, prilaku pengkhianatan menjadi kebiasaan, hidup bagai bunglon menjadi pilihan, serta bermulut manis dan sumpah palsu dengan nama Allah menjadi taruhan.
Kelima, Bayang-bayang kalanya menampil-kan bentuk dan ukuran diri yang mendekati wujud sebenarnya. Namun, kalanya ia menampilkan bentuk dan ukuran diri yang berbeda jauh dari ukuran wujud yang sebenarnya. Demikian tampilan atribut (gelar, status, posisi, atau varian lainnya) seseorang. Kalanya sesuai dengan tampilan dan atribut dengan karakter mulia yang dimiliki. Tampil sosok yang tawadhu’ memancarkan ketauladanan.
Namun, ada kalanya semua atribut hanya sebatas prestise untuk menutupi kesombongan. Padahal, sifat ini sangat dibenci oleh Allah. Sifat sombong dinyata-kan sebanyak 16 kali dalam al-Quran, di antaranya pada QS. al-Baqarah : 34, QS. al-Hujurat : 11, QS. an-Nahl : 22-23, QS. Luqman : 18, QS. al-A’raf : 146, QS. al-Mu’min : 35, QS. al-Ira’ : 37, dan QS. al-Ghafir : 60. Bangunan kesombongan akan melahirkan kezaliman (tangan besi) dan kedengkian yang merusak peradaban.
Keenam, Bayang-bayang menjadi penunjuk arah dan waktu. Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “Apakah kamu tidak memperhatikan (penciptaan) Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan (dan memendekkan) bayang-bayang dan kalau Dia menghendaki niscaya Dia menjadikan tetap bayang-bayang itu, kemudian Kami jadikan matahari sebagai petunjuk atas bayang-bayang itu. Kemudian Kami menarik bayang-bayang itu kepada kami dengan tarikan yang perlahan-lahan” (QS. al-Furqan : 45-46).
Menurut Ibnu Katsir, bayang-bayang alam dihadirkan-Nya melalui cahaya matahari. Melalui bayang-bayang akan diketahui arah dan waktu. Menurut penulis, arah bayang-bayang menunjukan pilihan yang akan dilalui dan waktu menyadarkan manusia atas kualitas amal yang telah dilakukan. Pemilik kebijakan menghadir-kan bayang kebajikan. Sedangkan pemilik kebiadaban memunculkan bayang-bayang kezaliman. Andai pilihan keliru yang diambil, meski keberhasilan yang diraih hanya berisi istidraj baginya. Sebab, disangka nikmat (kekuasaan, harta, kedudukan, atau kemuliaan), ternyata wujud murka-Nya. Untuk itu, Allah meng-ingatkan melalui firman-Nya : “Maka serahkanlah kepada-Ku (urusannya) dan orang-orang yang mendustakan perkataan ini (al-Qur’an). Kelak akan Kami hukum mereka berangsur-angsur dari arah yang tidak mereka ketahui” (QS. Al-Qalam : 44).
Menurut Ibnu Katsir, ayat di atas menjelas-kan ancaman Allah pada manusia yang diberikan nikmat tapi khianat dan kufur. Mereka mengira apa yang diraih sebagai nikmat Allah, padahal sebenarnya berisi murka-Nya (istidraj). Untuk itu, bayang-bayang menjadi media mengukur dan melihat diri. Prilaku yang menistakan dan memanipulasi bayang-bayang diri dengan tampilan asesories semu pertanda sifat manusia munafik. Andai terhadap diri ia dustai, apatahlagi pada orang lain. Apabila prilaku yang demikian berkaitan dengan amanah, maka akan berdampak luas. Untuk itu, Rasulullah secara tegas meng-ingatkan melalui sabdanya : “Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.”
Ada seorang sahabat bertanya; ‘bagaimana maksud amanat disia-siakan? ‘ Nabi menjawab; “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu” (HR Bukhari).
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa suatu hari Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku (seorang pemimpin) ?. Lalu, Rasulullah menepuk bahuku dan bersabda, ‘Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya hal ini adalah amanah, ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya, dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya)” (HR Muslim).
Hadis di atas menjelaskan karakter Abu Dzar yang dinilai oleh Rasulullah tak akan mampu memikul amanah. Untuk itu, Rasulullah tak memberikan tanggung-jawab tersebut padanya. Abu Dzar memaklumi dan sadar atas ketidakmampu-annya. Namun, berbeda pula sifat manusia segelintirnya. Memandang diri paling mumpuni tanpa mengukur “bayang” diri (kemampuan). Sebab, ia dipengaruhi oleh dominasi nafsu dibanding akal dan iman. Padahal, firman Allah dan sabda Rasul-Nya begitu jelas. Namun manusia acapkali melupakan dan menganggap semuanya hanya sebatas teks bisu yang tak perlu diikuti. Demikian keangkuhan manusia atas ajaran agama. Untuk itu, Imam al-Ghazali dalam as-Siyasah as-Syar’iyah ikut menjelaskan kriteria pemimpin yang baik, yaitu : “selayaknya diketahui dan siapakah orang yang paling layak untuk posisi setiap jabatan. Kepemimpinan yang ideal memiliki dua sifat dasar, yaitu kuat (profesional dibidangnya) dan amanah”. Bila memiliki kemampuan dan amanah, maka nikmat Allah tiada terbatas. Namun bila tanpa kemampuan (hanya keinginan) dan khianat, mengadu domba, penyebar fitnah, berburuk sangka, atau munafik, maka azab Allah begitu pedih. Kalanya, ia bukan hanya menimpa pada pelaku tapi akan berdampak pada orang lain. Pilihan tentu ada pada setiap diri pada semua level. Hanya iman yang kokoh dan sifat malu pada-Nya yang mampu menghantar-kan hadirnya sosok pembawa keadilan dan keselamatan. Idealnya, ilmu mem-perkuat iman, keimanan melahirkan rasa malu, rasa malu melahirkan harga diri, harga diri menjadi ruh wujud prilaku. Namun bila sebaliknya, maka akan hancur seluruh sendi-sendi peradaban. Sungguh, semua bayangan akan menggambarkan kualitas sosok yang memiliki diri. Sebab, bayang-bayang hanya hadir bagi pemilik cahaya. Ia akan sadar bahwa “bayang-bayang sepanjang tubuh”. Ia akan mengukur kemampuan diri secara obyektif. Sementara manusia tanpa cahaya tak akan pernah melihat bayang-bayang dirinya dan hanya melihat bayang orang lain. Akibatnya, hadir sifat jumawa yang menumbuhkan pohon kesombongan dan membuahkan berbagai bentuk wujud kezaliman. Karakter manusia yang demiki-an diperparah bila “hidup di bawah bayang-bayang”. Tak memiliki kemampuan tapi ingin hadir tegak (tanpa malu) dengan berselindung pada kekuatan pemilik bayang-bayang. Akibatnya, ia tak memiliki kemerdekaan (terjajah) dan selalu “disetir” pihak lain. Karakter manusia yang demiki-an pada akhirnya menjadi bak “bayang-bayang disangka tubuh” (lupa asal usul dan lupa diri). Andai terhadap pemilik karakter ini dititipkan amanah, maka tak bisa diharapkan mampu membangun peradaban. Untuk itu, sudah waktunya manusia tampil cerdas dan bijak dalam menentukan sosok yang tepat untuk memikul amanah. Hanya sosok pemilik cahaya kebenaran yang menampilkan bayang-bayang-Nya di muka bumi. Bukan sebaliknya. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 17 Februari 2025