Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar IAIN Datuk Laksemana Bengkalis
Sebagai makhluk yang dianugerahkan kecerdasan, manusia berusaha menjadi pintar. Pada umumnya, upaya yang dilaku-kan dengan cara belajar dengan pemilik ilmu (ulama). Upaya ini menjadi langkah formal untuk menjadi pintar. Namun, berbeda dengan upaya yang dilakukan Abu Nawas. Ia justeru belajar dengan seorang gila yang ada di pasar Baghdad. Sosok orang tua berpakaian lusuh dan compang camping yang diteriaki penduduk sebagai orang gila. Sosok tersebut adalah Syaikh Kamaluddin. Ia adalah mantan penasehat khalifah yang cerdas dan jujur. Namun, karakternya yang jujur dan berilmu luas, membuatnya dibenci dan dimusuhi oleh para menteri yang ada disekitar khalifah. Untuk itu, ia difitnah oleh “para pembisik” sekitar kekuasaan yang tak senang pada kecerdasan dan kejujurannya. Berbagai cara dilakukan untuk meyakinkan khalifah agar ia disingkirkan. Akhirnya, khalifah terpengaruh dengan fitnah yang ditujukan padanya dan mengusirnya dari istana. Nasib pemilik kejujuran sepanjang masa.
Menyadari dirinya yang dibenci oleh seisi istana dan diusir khalifah, maka Syaikh Kamaluddin memilih menjadi “orang gila”. Cara ini dilakukan agar ia tetap bebas menyampaikan pesan kebenaran tanpa perlu berpura-pura. Ia tinggalkan semua status yang dimiliki dan ikhlas dianggap “orang gila” agar memperoleh ruang ke-bebasan berfikir, mempertajam rasa batin, dan bebas berpendapat tanpa ada yang murka atau tersinggung.
Ketika Abu Nawas mengutarakan niatnya untuk berguru, si “orang gila” tersebut tersenyum dan setuju untuk menerimanya sebagai murid. Tapi, si “guru gila” mengaju-kan persyaratan dan meminta agar Abu Nawas terlebih dulu “meninggalkan akal sehat di sungai dan membawa kesucian hati untuk menemukan kebenaran”. Sebab, akal sehat tak lagi diperlukan oleh pen-duduk dunia saat itu (ini). Sebab, akal sehat dan kejujuran hanya dianggap batu penghalang bagi manusia culas meraih keinginan dan keserakahan. Prilaku yang menghantarkannya “membeli pakaian dan selimut” yang terbuat dari api neraka.
Ada beberapa pelajaran yang diajarkan “guru gila” tersebut kepada Abu Nawas, antara lain :
Pertama, Makan tanpa makan. Makan tanpa memperturut nafsu, makan tanpa sesuatu yang haram (zat dan sifat), makan penuh kesyukuran, makan tanpa mubazir, serta makan sesuai kebutuhan tubuh dan haknya. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Wahai manusia, makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu” (QS. al-Baqarah : 168).
Melalui ayat di atas, Allah mengingatkan agar manusia bijak memilih dan memakan makanan yang halal, baik, dan bermanfaat bagi tubuh dan akal pikirannya. Sebab, se-tiap makanan sangat berpengaruh atas kualitas dan wujud prilaku manusia. Bila makan yang halal dan bergizi (thoyyib), maka akan baik totalitas dirinya. Demikian pula sebaliknya.
Kedua, Tidur tanpa tidur. Tidur tanpa pernah melupakan Allah. Hadir kedamaian tanpa perlu disibukan urusan dunia yang penuh kemunafikan dan membuat lupa dengan Allah.
Manusia yang tidur tanpa tidur merupakan hamba yang matanya terpejam, tapi hati-nya terus terjaga mengingat Allah. Hal ini sesuai firman-Nya :“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya…” (QS. az-Zumar : 42).
Mahalli dan As-Suyuthi dalam Tafsir Jalalayn menjelaskan mengenai kondisi jiwa waktu tidur. Jiwa yang dilepaskan hanya dimatikan perasaannya saja, tetapi ia masih hidup. Namun, jiwa hamba pilihan selalu bertasybih mengagungkan-Nya. Hal ini berbeda tidurnya orang awam.
Ketiga, Berbicara tanpa kata. Berbicaralah dengan diri atas semua yang dilakukan. Dengarkan dan biarkan kata hati dan akal sehatmu yang berbicara kebenaran. Dengarkan secara seksama karena Allah akan menghadirkan inti kebenaran. Untuk itu, jangan bicara karena nafsu lidahmu yang terdorong informasi yang didengar (telinga) dan dilihat (mata). Sebab, setiap pendengaran dan penglihatan hanya terobsesi berita negatif (hinaan) orang lain dan bangga atas sanjungan kemuliaan diri sendiri. Tipe manusia yang demikian akan menutup cahaya kebenaran dan hanya membuka mata kesombongan. Seakan, kebenaran adalah miliknya dan kesalahan tertimpa pada orang lain.
Berkata tanpa kata mengajarkan belajar mendengar kata hati dan bijak mengguna-kannya agar tak menyinggung orang lain. Untuk itu, Rasulullah SAW mengingatkan melalui sabdanya : “Barang-siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata baik atau diam” (HR. Bukhari dan Muslim).
Meski hadis di atas begitu jelas, tapi acap-kali tak dipedomani. “Jualan kata” manis tersusun rapi. Padahal, isinya kumpulan racun yang mematikan. Apatahlagi di era digital. Media sosial seakan ruang menum-pahkan kekesalan dan kata yang tak perlu disampaikan. Bagai kaum terkebelakang yang berkata tanpa disaring pikiran bijak.
Keempat, Lepaskan status duniawi yang melekat dan matikan ego (kesombongan diri). Hadirkan diri sebagai hamba-Nya dan sebarkan kebermanfaatan bagi seluruh alam semesta (rahmatan lil ‘aalamiin).
Sungguh, status sosial mampu menjadi-kan manusia dipuja tanpa cela. Ketika dipuja, semua merapat dan tunduk tanpa berani mengoreksi. Kekeliruan dianggap kewajaran dan bila melakukan kesalahan akan dicari “kambing hitamnya”. Semua dilakukan agar dinilai mulia dan dipuja.
Kelima, Menang tanpa bertarung dan mempermalukan musuh tanpa menyakiti. Kombinasikan pujian dan cobaan untuk menyadarkan. Demikian tanda pemilik kualitas ilmu sebenarnya. Berbeda pemilik karakter barbar. Menang dengan cara culas (politik belah bambu). Untaian pujian untuk meraih perhatian (posisi) dan fitnah untuk menyebar kebencian. Bila kemenang-an mampu diraih, maka terlihat watak asli yang selama ini ditutupi. Posisi yang diraih dijadikan kesempatan untuk menindas dan menyakiti. Karakter manusia yang demiki-an pertanda tak memiliki kemampuan.
Keenam, Melihat tanpa melihat (mata tertutup). Lihat dengan akal dan mata hati yang suci, bukan dengan mata zahir yang penuh kebencian dan kemunafikan. Deng-an demikian, akan terlihat nilai kebenaran dan keikhlasan tanpa terpengaruh oleh fenomena dunia nyata yang penuh kemunafikan dan ketidakjujuran.
Kualitas manusia dapat dilihat keterkaitan mata, hati, akal, telinga, rasa, dan seluruh potensi yang dimilikinya. Ketika kesemua potensi ini bersinergi secara obyektif dan benar, maka kebenaran akan diperoleh. Tak ada ruang bagi nafsu mempengaruhi-nya. Tapi, bila elemen potensi tersebut “dikebiri” dan dimatikan, maka kebenaran menjadi kesalahan dan kesalahan menjadi kebenaran. Tergantung kepentingan apa yang mendominasi keinginannya.
Sungguh, “guru gila” yang mengajarkan Abu Nawas makna kebenaran. Pengajaran yang mampu merubah karakter dirinya. Ia bahkan mampu menyadarkan Harun ar-Rasyid atas kesalahannya. Khalifah sadar bahwa ia selama ini hanya dikelilingi manusia penjilat, mementingkan diri, dan cari muka. Ia menyesal telah menyingkir-kan penasehat yang menjadi guru untuk menuntunnya ke surga. Namun, khalifah Harun ar-Rasyid adalah sosok khalifah (penguasa) yang mau diberi nasehat dan menerima masukan yang diberikan. Sementara, masih tersisa “para khalifah” yang justeru tak berilmu dan tak mau menerima nasehat. Ia hanya mendengar-kan “kata penjilat” yang sengaja dipelihara dan dijaga untuk memenuhi “kebutuhan” khalifah daripada mendengar nasehat “malaikat”, apatahlagi kata kebenaran yang berasal –dianggap– dari lawan. Sebab, hanya katanya sebagai hukum, meski secara nyata melanggar aturan.
Pilihan menempatkan pembantu dan pem-bisik (negatif) berangkat beberapa alasan, antara lain : (1) sosok yang sesuai karakter si pemilih. Bila pemilih berkualitas emas, maka ia akan memilih emas. Tapi, bila ia berkualitas besi tua, maka ia akan memilih besi tua. (2) penilaian keliru karena ketidak-tahuan dan “bisikan” (info) subyektif yang diperoleh pemilih atas sosok yang dipilih. (3) keterpaksaan pemilih atas “titipan” sosok yang dipilih (meski tak mampu).
Kesalahan yang terjadi semakin brutal bila si pemilih “terkerangkeng” oleh mekanisme proses posisi yang diraih sebelumnya.
Ternyata, begitu malang dan menyedihkan nasib si pemilik kecerdasan dan kejujuran (sang penjaga kebenaran). Bahkan, meski Rasulullah begitu sempurna dan sahabat pilihan (khalifah ar-Rasyidin), namun menyi-sakan selalu hadir manusia (kafir Quraisy) yang memfitnah dan membencinya. Mereka dianggap sebagai sandungan bagi keserakahan peradaban duniawi yang penuh tipu muslihat dan kemunafikan.
Setidaknya, dunia ini menghadirkan 4 (empat) kategori manusia, yaitu : (1) orang gila (gangguan jiwa) yang leluasa berkata dan berprilaku tanpa pernah bisa disalah-kan. (2) orang cerdas dan berhati nurani suci untuk menjelaskan kebenaran. Tapi, ia akan dibenci dan dikucilkan. Meski penduduk bumi tak menghargai, tapi penduduk langit memuliakannya. (3) orang berakal tanpa hati nurani yang membiar-kan lidahnya tergigit dan kebenaran terkunci rapat. Tarian lidahnya hanya untaian pujian meski kezaliman dan derita begitu nyata dipelupuk mata. Hadirnya hanya meraih posisi meski tanpa aksi. (4) orang bodoh tanpa hati nurani hanya membeo memuja atasan tanpa pernah mengerti. Tujuannya hanya mengejar pundi, tanpa peduli banyak yang dizalimi.
Manusia kategori ke-1 secara sunnatullah terpental dari peradaban. Sedangkan kate-gori ke-2 acapkali terbuang dari peradaban barbar. Ia hanya dihargai pada peradaban tinggi (high civilization). Sebab, ia bagai cahaya matahari yang menyinari bumi. Sinarnya mampu menerangi kegelapan, menuntun jalan kebenaran, dan ditakuti “komunitas vampir” sang penghisap darah. Sementara, bagi kategori ke-3 dan ke-4 selalu berpeluang memperoleh semua yang diinginkan, dimuliakan, dan disanjung oleh pemilik peradaban rendahan (low civilization). Manusia yang demikian begitu menyenangi “kegelapan” agar gerak-gerik nistanya tak terdeteksi dan bebas melaku-kan apa yang diinginkan.
Berangkat kategori di atas, ternyata hanya menjadi “orang gila” ala Syaikh Kamaludin, harga dirinya mampu dipertahankan dan terhindar permainan dunia yang penuh sandiwara. Sementara, tersisa manusia “bertopeng” keshalehan untuk menutupi kesalahan. Mereka tampil anggun dengan menikmati berbagai fasilitas. Pilihan berkarakter munafik atau ter-paksa tampil munafik karena tuntutan “zamane wong edan, yen ora edan yo ora keduman” (zamannya orang gila. Bila tidak gila tak kebagian). Sebab, bila hanya menjadi manusia cerdas dan idealis, maka ia akan dibenci dan disingkirkan. Hanya manusia tanpa harga diri (munafik) atau pemilik kebodohan tapi pintar “menjilat” yang akan menang dalam pertarungan status sosial akhir zaman. Begitu naif pilihan manusia akhir zaman, “lidah basah menguntai kata suci berharap surga, tapi akal dan hati, serta prilaku justru selalu mengharap neraka (murka-Nya) belaka. Mereka selalu berkata lantang agar katanya didengar orang, tanpa pernah mau mendengar kata hatinya. Atau mungkin hatinya telah bisu dan beku. Akibatnya, hati menjadi kotor dan jauh dari kebenaran-Nya. Pada waktu-nya, “yen becik mesti ketitik, yen olo bakal ketoro” (perbuatan baik akan ketahuan, perbuatan buruk akan terungkap). Begitu janji Allah dalam al-Quran (QS. az-Zumar : 53). Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 21 Juli 2025