Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Jamuan selalu berkonotasi hidangan makanan. Jamuan merupakan kegiatan makan bersama yang biasanya dilakukan untuk menyambut dan menghormati tamu. Setiap daerah memiliki ciri khas tersendiri dalam melakukan jamuan makan.
Setiap manusia sangat senang menghadiri jamuan. Pada umumnya, jamuan dipahami hidangan makanan yang disediakan untuk dimakan secara gratis. Setiap jamuan biasanya memiliki tujuan tertentu. Di antaranya, jamuan dilakukan sebagai wujud kebahagiaan atas nikmat yang diperoleh, mengharapkan doa, atau bentuk penghormatan pada seseorang. Hal ini merupakan kebiasaan manusia pada umumnya. Bahkan, tradisi ini dinyatakan oleh Rasulullah SAW melalui sabdanya : “Bertutur kata yang baik dan menyuguhkan makanan” (HR. Ahmad).
Berkaitan jamuan, paling tidak manusia melakukan 3 kali prosesi perjamuan besar selama hidupnya, yaitu :
Pertama, Jamuan waktu tasyakuran waktu kelahiran. Dalam Islam, kesyukuran atas kelahiran anak diwujudkan melalui jamuan dalam rangka ‘aqikah dan pemberian nama (walimah tasmiyah). Hal ini dinyata-kan Rasulullah melalui sabdanya : “Aqiqah dilaksanakan karena kelahiran bayi, maka sembelihlah hewan dan hilangkanlah semua gangguan darinya” (HR. Bukhari).
Namun, pada waktu akikah dilaksanakan, si bayi tak bisa menikmati makanan yang dihidangkan. Ia hanya sebatas penyebab adanya jamuan, tanpa pernah mencicipi dan melihat kemewahan jamuan yang dihidangkan. Semua hanya dinikmati orang lain yang datang.
Kedua, Jamuan waktu pesta pernikahan. Perintah mengadakan jamuan untuk acara pernikahan (walimah) merujuk pada sabda Rasulullah SAW : “Adakanlah walimah, walaupun dengan seekor kambing” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Daud, dan Ibnu Majah).
Pada umumnya, undangan untuk jamuan pernikahan (walimah) –terutama di kota besar– hanya pada strata tertentu. Pada-hal, Rasulullah pernah mengingatkan agar jamuan mendatangkan keberkahan, maka jangan lupa pada kaum miskin. Beliau bersabda : “Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana orang-orang kayanya diundang dan orang-orang miskin-nya ditinggalkan” (HR. Bukhari – Muslim).
Meski hidangan jamuan begitu bervariasi, namun kedua mempelai acapkali tak sempat menikmati (makan) hidangan lezat yang tersedia. Mereka “kenyang” rasa bahagia, sibuk menyalami tamu yang datang silih berganti, dan ingin berfoto. Bahkan, keluarga inti mempelai ikut tak sempat menikmati hidangan yang tersaji.
Ketiga, Jamuan waktu meninggal dunia. Waktu itu, jamuan yang dihidangkan hanya dimakan oleh keluarga dan orang yang hadir bertakziah. Jamuan yang dihidang-kan bertujuan sedekah dan memuliakan tamu yang hadir. Hal ini merujuk pada hadis dari Ibnu Abbas, bahwa ada seorang laki-laki bertanya, “Wahai Rasulullah SAW, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah ada manfaatnya jika akan bersedekah untuknya ?” Rasulullah menjawab, “Ya”. Laki-laki itu berkata, “Aku memiliki sebidang kebun, maka aku mempersaksikan kepadamu bahwa aku akan menyedekahkan kebun tersebut atas nama ibuku” (HR. Tirimidzi).
Sungguh, setiap jamuan selalu diusahakan oleh pemilik hajat. Seluruh energi dikerah-kan dan materi dikucurkan untuk meng-hadirkan jamuan berkualitas. Namun, anehnya penikmat jamuan bukan pemilik jamuan, tapi undangan yang hadir pada majelis jamuan. Demikian fenomena kehidupan ini. Acapkali berbagai upaya dilakukan untuk memperoleh suatu harapan. Bahkan, adakalanya diraih tanpa rambu dan melanggar agama. Ketika harapan diraih, justru “undangan yang menikmati dan “kenyang”. Sedangkan para peraih harapan sekedar “cuci piring” atas prilaku penikmat jamuan.
Sungguh fenomena kehidupan yang aneh. Ternyata, manusia pemilik jamuan tak bisa menikmati atas apa yang dihidangkannya. Apatahlagi bila sumber dan jamuan yang dihidangkan telah kehilangan keberkahan dan tak pernah disyukuri. Untuk itu, Allah mengingatkan melalui firman-Nya :“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah” (QS. al-Baqarah : 172).
Sungguh, rezeki yang halal akan mewarnai karakter setiap manusia. Ia bagai vitamin yang menyehatkan. Meski kecil, tapi ber-dampak kesehatan bagi tubuh. Sebaliknya, bila rezeki yang haram akan hadir bagai-kan virus mematikan. Meski kecil ukuran-nya, ia mampu merusak seluruh organ sekujur tubuh. Untuk itu, mengingat batas jamuan akan menyadarkan diri batas yang bisa dinikmati. Untuk itu, Allah mengingat-kan : “Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan (dosa) sebesar dzarrah sekali-pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula” (QS. al-Zalzalah : 8).
Meski jamuan hanya dirasakan sebatas ujung lidah sampai tenggorokan, namun eksistensinya menjadi standard status sosial manusia. Perlombaan menghadir-kan menu jamuan dilakukan untuk meraih “pujian”. Segala upaya dilakukan untuk meraih “status” atas jamuan yang dihidang-kan. Sementara, jamuan sederhana acap-kali dialamatkan pada status sosial rendah. Ternyata, penilaian atas jamuan hanya pada “suguhan”, bukan pada “nilai sesungguhnya” menyediakan jamuan.
Fenomena jamuan di atas seakan ber-korelasi pada tataran kehidupan. Manusia hanya dominan “menyuguhkan” tampilan, bukan “kesungguhan” pada apa yang di-tampilkan (kerjakan). Akibatnya, aktivitas tampilan sebatas aksesories formalitas, bukan eksistensi kualitas (ikhlas). Pujian menjadi tujuan, meski tanpa kejelasan hasil yang dituju. Akibatnya, “adanya sekedar ada, tapi sebenarnya tak pernah ada dan tak mampu memberi manfaat apa-apa”. Ternyata, jamuan yang dihidangkan hanya sebatas menarik pada bungkus, tapi tanpa rasa, dan manfaat bagi membangun “peradaban yang menyehatkan.”
Untuk memperoleh status jamuan yang diinginkan, manusia acapkali tak peduli mengeluarkan biaya di luar nalar. Semua bertujuan agar memperoleh status pujian. Biaya “pelicin” disiapkan tanpa rasa malu. Untuk itu, wajar bila hidangan peradaban yang disajikan menjadi racun dan sampah.
Namun, manusia tak pernah menyadari jika kelak ia tak pernah menikmati setiap hidangan secara maksimal. Ia justru hanya sekedar mengumpul dan menyediakan “jamuan”. Penikmatnya justru para “undangan”. Namun, hal ini tak pernah mampu menyadarkan manusia. Sifat serakah –menghalalkan segala cara– lebih dominan. Padahal, ia sadar tak pernah bisa menikmatinya secara layak. Karakter manusia seperti ini berpotensi menerpa semua lapisan dan status. Sifat manusia seperti ini diingatkan oleh Rasulullah SAW melalui sabdanya : “Andai kata seorang anak Adam itu memiliki selembah emas, ia tentu menginginkan memiliki dua lembah -emas lagi- dan sama sekai tidak akan memenuhi mulutnya (merasa puas) selain tanah (yaitu setelah mati) dan Allah menerima taubat orang-orang yang bertaubat” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bila hadis di atas dianalisa dan dipahami secara seksama, terlihat upaya manusia mencari “jamuan” tak pernah berujung. Semua tak pernah kenyang hingga tanah yang masuk dalam mulut dan tenggorokan-nya. Padahal, bila keserakahan yang diperturutkan, maka kedudukannya akan menjadi lebih hina dibanding binatang (QS. al-A’raf : 179). Sungguh, derajat terhina dan terendah di hadapan Allah dan Rasul-Nya. Bahkan, ketika peristiwa isra’ dan mi’raj, Rasulullah melihat prilaku manusia atas jamuan. Ada 2 (dua) jenis jamuan dihidang-kan Allah pada penghuni neraka. Pilihan jamuan daging segar di sisi kanan dan daging busuk di sisi kiri. Anehnya, manusia penghuni neraka justeru memilih dan menyantap daging yang busuk. Pilihan yang berkorelasi dengan kebiasaan ketika hidup di dunia ternyata “sulit dirubah” dan tetap terbawa sampai ke neraka.
Peringatan yang disampaikan Rasulullah melalui hadis di atas seyogyanya mampu menyadarkan manusia pemilik akal dan rasa (iman). Untuk itu, Islam menganjurkan manusia mencari kehidupan secara maksimal, namun tanpa melupakan norma agama. Tuntunan telah diajarkan oleh Rasulullah SAW pada umat agar bijak dan mengendalikan diri atas dorongan “jamuan dunia” yang membutakan mata, akal, dan hati. Keserakahan pada asa tanpa dirasa.
Sungguh, jamuan dunia sangat aneh. Tak ada pemilik jamuan yang sempat menik-mati hidangan yang disediakannya. Ter-nyata, manusia hanya “sibuk dan serakah menghidangkan jamuan”, tapi tak sempat menikmatinya dengan wajar dan layak. Untuk itu, jalani dan nikmati hidup dengan kepantasan dan kepatutan agar kebahagia-an mampu diraih, tanpa melanggar aturan dan agama. Makan dan minum seperlunya dan sesuai ukuran (aturan). Hadirkan nilai agama pada diri karena masih diberikan kesempatan menikmati jamuan yang terhidang. Jadikan jamuan yang disajikan secara halal dan cara yang santun untuk penguat amaliah guna membangun adab diri, baik vertikal dan horizontal.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 26 Mei 2025