Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Ketika berbicara tentang lukisan, imajinasi menerawang terhadap coretan indah di atas kanvas. Coretan tersebut kalanya hadir atas kualitas imajinasi yang tak pernah dilihat dan ada pula penyaduran atas fenomena yang hadir. Demikian Allah jelaskan keindahan ciptaan-Nya : “Sesung-guhnya Kami telah menghiasi langit dunia (yang terdekat) dengan hiasan (berupa) bintang-bintang” (QS. al-Shaffat : 6).
Lukisan yang hadir dari imajinasi hanya dapat dinikmati oleh pemilik tingkatan kualitas imajinasi yang setara. Melalui kesetaraan kualitas ini, pelukis dan penikmat lukisan akan bertemu dalam harmonisasi “saling menghargai” nilai yang ada. Harmonisasi ini mampu mengangkat nilai sebuah lukisan. Namun, bila tingkat daya imajinasi melihat lukisan berkualitas rendah, maka ia tak akan mampu menang-kap pesan goresan lukisan yang ada. Ia hanya melihatnya sebatas coretan campur-an warna belaka. Tidak terjadi harmonisasi antara pesan dan lukisan. Akibatnya, lukisan yang hadir tak bernilai apa-apa. Demikian pula terhadap lukisan atas fenomena akan dapat dinikmati pemilik pancaindera yang sama pula. Andai yang akan menikmati lukisan tak memiliki “mata hati dan rasa” atas pesan, maka hamparan lukisan indah tak mampu memberikan makna sedikit jua.
Lukisan adalah wujud karya yang dihadir-kan pada kanvas kehidupan. Ia hadir sebagai bukti sejarah kemanusiaan.
Meski tak semua manusia mampu melukiskan karyanya, tapi tersisa segelintir yang mampu menorehkan tinta untuk menampil-kan lukisan di atas kanvas kehidupannya.
Meski ia mampu menorehkan lukisannya, tapi tak semua berkualitas sama. Ada lukisan yang abadi dan ditulis dengan tinta emas dan ada pula dicatat dengan tinta hitam peradaban. Paling tidak, eksistensi nilai suatu “lukisan” dapat dilihat pada 4 (empat) kategori, yaitu : (1) dihargai penduduk bumi dan langit. (2) dihargai penduduk langit, tapi tak dihargai penduduk bumi. (3) dihargai penduduk bumi, tapi tak dihargai penduduk langit. (4) tak dihargai penduduk bumi dan langit. Kategori 3 dan 4 merupakan lukisan yang ditulis dengan tinta hitam sepanjang sejarah. Goresan sejarah kelam yang akan dicatat hina oleh penduduk bumi dan langit. Hal ini hanya akan mem-perberat timbangan dosa di yaumil hisab.
Bila dilihat dari nilai sebuah lukisan, maka secara umum dapat dibedakan antara lukisan yang bernilai autentik (rahmatan lil ‘aalamiin) dan lukisan yang sekedar bernilai lipstik (mafsadah lil ‘aalamiin). Lukisan autentik lahir dari rasa keikhlasan dan pengabdian pada-Nya. Hadirnya tak berharap pujian, tapi rindu pada cinta-Nya. Lukisan yang dibingkai keikhlasan untuk dijadikan hiasan di surga-Nya kelak. Ada-pun lukisan lipstik lahir dari bangunan kesombongan, retorika mimpi, riya’, dan kemunafikan. Lukisan yang mudah luntur, mudah berubah, dan tak memiliki makna sedikit jua.
Setiap diri merupakan cermin orang tua, masyarakat, atau komunitasnya. Hal ini merujuk pada sabda Rasulullah SAW : “Setiap anak terlahir dalam keadaan suci. Orang tuanya yang akan membuat dia yahudi, nasrani, dan majusi” (HR. Muslim).
Andai hadis di atas dipahami dengan pen-dekatan ilmu mantiq, maka setiap kebaik-an merupakan cerminan pemilik kebaikan dan setiap keburukan merupakan cermin-an pemilik keburukan (personal, keluarga, masyarakat, maupun negara). Namun, bila digunakan logika terbalik, maka kebaikan atau keburukan sebuah negara disebabkan atas kualitas masyarakat, keluarga, dan personal. Semuanya berkelindan dan saling bertemu. Hal ini seirama dengan kata bijak dalam kitab Kasyfu al-Khafa’, bahwa : “Pemimpin kalian adalah buah dari amalan kalian dan kalian akan dipimpin oleh orang yang seperti kalian”. Kata bijak yang menjelaskan hubungan yang erat antara objek dan subjek bagi terbangunnya wujud sikap atau keadaan tertentu.
Dalam konteks yang luas, “lukisan” perlu dipahami secara konprehensif. Sebab, hakikatnya setiap manusia adalah pelukis. Eksistensinya bukan sebatas lukisan secara umum, tapi semua goresan yang mengandung pesan. Goresan lukisan bisa dalam bentuk fisik (gambar, tulisan, musik, prilaku, dan lainnya) dan metafisik (penghayatan nilai keimanan).
Ada beberapa makna lukisan sebagai wujud karya sebagai bukti pernah hadir di muka bumi lahir dari beberapa nilai, yaitu :
Pertama, Lukisan curahan nilai (rasa) atas realita alam semesta atau cerita rekayasa dalam imaginasi seorang pelukis. Lukisan atas realita alam memiliki kearifan terhadap alam. Seluruh alam terjaga dalam bingkai peradaban. Hal ini ditunjuk-kan oleh kearifan nabi Sulaiman atas alam semesta. Ekologi spiritual yang diterapkan menekankan urgensi dimensi spiritual dalam merawat alam. Sebab, alam tidak layak dieksplorasi secara serakah. Andai alam saja terjaga, apatahlagi sesama manusia. Semua terjaga keharmonisannya dalam lukisan yang berdimensi kebenaran. Namun anehnya, pelukis yang demikian kurang mendapatkan penghargaan yang pantas. Ruang geraknya dikekang dan kehadirannya kurang diharapkan.
Sementara lukisan rekayasa merupakan paparan imaginasi sang pelukis. Tipikal lukisan ini bisa berasal an sich dari kualitas diri sang pelukis atau titipan ide dari “sang penitip”. Karena berasal dari objek yang abstrak, maka pelukis rekayasa hanya mampu melukis sebatas goresan peradaban di atas awan atau air. Lukisan-nya begitu membumbung tinggi atau mem-bumi, namun tak pernah berwujud nyata. Bila berteori tentang lukisan, semua hanya sebatas retorika. Andai diminta untuk mewujudkan-nya, semua sebatas rekayasa. Ketika rekayasa yang terjadi, maka peradaban tak pernah berdiri. Semua hanya ada di alam mimpi. Sayangnya, pelukis rekayasa selalu hadir sepanjang sejarah. Anehnya, lukisan rekayasanya justeru dikatakan bagus dan dihargai dengan nilai tinggi. Tepukan kagum menggema bergemuruh.
Pelukis rekayasa sadar bahwa lukisannya tak mampu bertahan dan memiliki nilai yang tinggi. Untuk itu, agar lukisannya memperoleh pujian dan dihargai sepan-jang masa, pelukis rekayasa berupaya menghilangkan jejak dan karya pelukis yang sebenarnya. Berbagai upaya rekayasa dilakukan untuk “menguburkan” pelukis yang asli. Bila perlu, melalui peng-hancuran karya yang telah ada.
Kedua, Lukisan wujud tampilan kualitas diri (akal dan rasa) yang dinyatakan dan digambarkan. Sebab, kata dan prilaku merupakan lukisan hati dan kualitas akal. Kalanya tampil “lukisan” penghambaan hadir pada hati yang mengagungkan-Nya dan prilaku yang selalu tunduk pada-Nya (QS. al-An’am : 162). Atau tampil “lukisan” kemunafikan oleh kotornya akal dan hati yang disembunyikan dalam bungkus kesalehan lipstik (QS. at-Taubah : 67). Sungguh, semua nilai terlukis begitu nyata.
Ketiga, Lukisan simbol kualitas perasaan dan akal budi atau kualitas nafsu dan akal-akalan (akal busuk). Kualitas hanya bisa menipu (menyilaukan) sesama, tapi tak pernah mampu disembunyikan dari Allah. Hal ini sesuai sabda Rasulullah : “Sesung-guhnya Allah tidak melihat fisik dan harta kalian, tetapi Allah melihat hati dan amal kalian” (HR. Muslim).
Goresan tinta yang dilukiskan (karya) me-nampilkan pesan Allah dalam firman-Nya : “Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat” (QS. al-Fathir : 27).
Pada ayat lain, Allah menggunakan kata tamsilan untuk melukiskan hamba pilihan. Di antaranya, kata bangunan untuk melukiskan persatuan harmonis. Hal ini terlihat pada firman-Nya : “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangun-an yang tersusun kokoh” (QS. Shaf : 4).
Menurut Ibn Katsir, ayat di atas menekan-kan persatuan bagi memenangkan jihad di jalan Allah (kebenaran). Sementara, ada pula manusia yang justru memilih sebalik-nya. Mereka membangun “persatuan” memenangkan jalan musuh Allah (iblis).
Sungguh, setiap lukisan “di atas kanvas kehidupan” merupakan wujud kualitas gerak akal dan rasa (hati) sang pelukis (manusia). Bila pelukis yang beradab, maka semua lukisannya akan membangun dan menghias warna peradaban yang menyejukan. Tapi, bagi pelukis tak beradab dan zalim, maka semua lukisannya hanya tampil “membakar” dan menjadi racun bagi peradaban. Andai kepadanya diserah-kan sekaleng cat, kuas, dan kanvas, maka ia akan menuliskan goresan permusuhan dan kebencian semata. Sebab, akal dan hatinya akan menggerakan goresan yang sama. Meski manusia mampu menutupi gerak akal dan hatinya dengan tampilan kemunafikan, tapi ruh hakiki goresan akan muncul dan tak mampu didustai. Ia akan tampil kepermukaan menyeruak disela pori-pori kebusukan yang tak bisa ditutupi.
Pada umumnya, semua yang terjadi di muka bumi merupakan bagian ulah tangan (lukisan) manusia di atas kanvas kehidup-an (QS. ar-Rum : 41). Nilai setiap karya sangat tergantung pada kualitas diri (QS. asy-Syama : 8). Bila kualitas goresan bernilai keburukan (fujur), maka ia akan mengotori kehidupan. Tapi, bila goresan bernilai kebajikan (taqwa), maka ia akan menyehatkan bangunan peradaban.
Bagi hamba yang tertutup mata hatinya, ia hanya menilai keindahan “lukisan” bila ada “tepuk tangan” yang menggema. Padahal, lukisan kesalahan yang ditutupi dengan asesories kesalehan. Tapi, bagi hamba yang dibuka-Nya hijab hakikat (ulul albab), ia akan mampu melihat pesan disebalik lukisan yang kalanya terbalik. Sungguh, manusia acapkali tak mau sadar terhadap ayat-Nya. Seyogyanya, peringatan Hari Kebangkitan Nasional, momen mengingat-kan hati dan akal yang acapkali tak mau sadar atas apa yang “dilukiskannya”.
Wa Allahua’lam bi al-Shawab
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 19 Mei 2025