Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Banyak manusia menyampaikan kata yang bertujuan memberi informasi. Namun, tanpa disadari, pilihan diksi yang diucap atau ditulis mengandung artu tersirat yang terkadang justeru bermakna sebaliknya. Sungguh, pilihan kata merupakan petunjuk nyata atas realita yang ada dan kualitas pemilik bahasa yang sebenarnya. Terkadang, ia hadir dan terucap tanpa rekayasa (spontanitas) oleh dorongan obyektif (kebenaran atau kesalahan) yang terbenam di otak bawah sadar. Akibatnya, bagi pemilik ilmu (mantiq) akan secara mudah memahami kondisi yang sedang terjadi dan menilai kualitas intelek-tual si pemakai ungkapan (pilihan diksi).
Sungguh, bila bahasa menunjukan bangsa, maka pilihan kata menunjukan kualitas pemilik kata dan karakter yang sebenarnya. Perlu adab dan kecerdasan dalam memilih kata. Untuk itu, Rasulullah mengingatkan agar bijak menyampaikan kata. Bila dinilai tak perlu, maka sebaiknya lebih baik diam. Hal ini diingatkan oleh Rasulullah melalui sabdanya : “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis di atas perlu dipahami dan dicermati secara substansial. Ia bukan sekedar perintah untuk berkata atau diam, tapi memilih kata yang tepat sebelum diucapkan. Bisa jadi kata yang diungkap akan menyakiti perasaan sesama, sulit dipahami, atau terlihat “keren” tapi ternyata memperlihatkan kualitas intelektual yang rendahan.
Ada beberapa kata yang begitu biasa diucap tapi mengandung pesan negatif. Pilihan kata yang dianggap biasa tapi menghadirkan arti yang tak biasa (semestinya). Bagi pemilik kecerdasan dan kearifan, setiap pilihan kata merupakan dorongan mentalitas diri, karakter asli, kualitas intelektual, atau nilai moral yang disembunyikan. Ada beberapa indikasi pilihan kata yang dianggap biasa, tapi sebenarnya menjelaskan fenomena sebenarnya, antara lain :
Pertama, Kata “bersih-bersih” berarti pengaku-an bahwa kondisi yang ada atau sedang ter-jadi begitu kotor. Untuk itu perlu dibersihkan. Upaya ini perlu dilakukan secara serius, kontinue, dan didorong secara kolektif (bersama). Sebab, pesan “bersih-bersih” merupakan perintah agama. Hal ini sesuai firman-Nya : “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang membersihkan diri dengan beriman dan ia mengingat nama Tuhannya, kemudian ia beribadah (shalat)” (QS. al-A’la : 14-15).
Ibnu Katsir menjelaskan yang dimaksud qad aflaha man tazakka adalah manusia yang senantiasa membersihkan dirinya dari per-buatan dan perangai tercela. Mereka selalu mentaati perintah-Nya dan memperoleh kemenangan (keselamatan) hakiki. Ibn Qatadah menambahkan, bahwa kebersihan diri terpantul pada seluruh prilaku dalam kesehariannya.Wujud prilaku yang selalu “bermandikan zikrullah” (hati, akal, lisan, dan perbuatan).
Kedua, Kata “tidak baik-baik saja” berarti kondisi buruk (sakit) yang sedang terjadi. Kondisi ini perlu segera diobati. Bila tidak, maka dikhawatirkan akan semakin parah. Hal ini diingatkan oleh Rasulullah melalui sabda-nya : “Sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit kecuali Dia juga menurunkan penawarnya” (HR.Bukhari)
Kondisi “tidak baik-baik saja” kalanya dalam bentuk karakter manusia. Hadir tampilan shaleh, tapi dalam relung hatinya tersimpan penyakit yang merusak peradaban. Hal ini diingatkan melalui sabdanya : “Sungguh, di dalam tubuh ada segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, maka seluruh tubuhnya baik. Jika segumpal daging itu rusak, maka seluruh tubuhnya rusak. Itulah hati” (HR. Bukhari dan Muslim).
Melalui hadis di atas, Rasulullah mengingat-kan sifat kealpaan manudia yang acapkali lebih fokus pada kesehatan jasmani dan me-nelantarkan kesehatan rohaninya. Sejumlah uang dan energi diperuntukan agar memiliki jasmani yang sehat dan sempurna. Sungguh, kesehatan jasmani bisa diobati dan direkayasa. Namun, manusia kurang peduli atas kesehatan rohaninya. Padahal, manusia tak sadar bahwa kesehatan rohani menjadi motor penentu bagi kesehatan jasmaninya.
Ketiga, Kata “revitalisasi” berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang berdaya. Artinya, kondisi yang sedang terjadi sedang mengalami ketidakberdayaan atau kematian (mati suri). Penggunaan awal kata “re” acapkali bermaksud mengungkapkan makna kebalikan. Hal yang sama terlihat pada kata restrukturisasi, reuni, reaktualisasi, realokasi, regenerasi, rekonsiliasi, dan varian kata lainnya.
Terkadang, bila dianalisa secara sederhana, penggunaan kata “re” pada beberapa kata di atas bisa berkonotasi berfikir mundur. Meski upaya yang dilakukan wujud kesadaran untuk memperbaiki diri, tapi bangunan otak dan prilaku berpotensi mengulangi hal yang sama. Sebab, terbangun kebiasaan terbuka-nya proses perbaikan setelah terjadi kerusak-an. Bila kerusakan terjadi akibat proses alamiah, maka menjadi kewajaran sebagai fenomena sunnatullah. Tapi, bila kesalahan terjadi akibat kesengajaan yang tercipta secara sistematis dan berulang, maka upaya perbaikan hanya sebatas “pembenaran” atas kesalahan semata.
Keempat, Kata “memperbaiki” berarti ada kerusakan yang sebenarnya terjadi. Dalam Islam, memperbaiki diri dilakukan melalui taubat. Hal ini merujuk pada firman-Nya : “Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat nasuha (tobat yang semurni-murninya)” (QS. at-Tahrim : 8).
Ketika dicermati secara seksama, keempat pernyataan pengakuan kondisi yang terjadi di atas akan efektif bila menggunakan langkah taubatan nasuha. Mengakui kesalahan yang terjadi, berupaya memperbaiki, dan berupaya tak akan pernah mengulanginya. Bila langkah taubatan nasuha tidak menjadi patron utama, maka upaya perbaikan hanya sebatas diksi untuk membangun opini kesalehan untuk menutupi kesalahan yang berkelanjutan.
Kelima, Kata “mania” sebagai kata yang dimaksudkan sebagai dukungan kuat (fanatik). Padahal, menurut ilmu psikologi, kata mania berarti “orang yang sedang mengalami gangguan jiwa”. Di antaranya terlihat pada gejala emosi kemarahan yang tak terkendali, kegelisahan, kekalutan yang menghantui, atau kebingungan yang berlebih-lebihan (dipsomania atau kleptomania). Komunitas ini selalu berusaha mencari setitik kelemahan (keburukan) tanpa peduli segunung kekuatan (kebaikan). Mereka bagai pepatah “tungau diseberang lautan terlihat nyata, gajah dipelupuk mata tak pernah ter-lihat”. Tipikal komunitas “mania” sadar atas ketidakmampuannya melawan kekuatan. Untuk itu, ia mencari setitik kelemahan untuk digunungkan dan menutupi segunung kekuatan (kebaikan) dengan awan fitnah dan hoax yang berlebihan.
Penggunaan kata “mania” (tanpa K) acapkali digunakan dan dikaitkan dengan kata sebelumnya. Anehnya, komunitas ini begitu bangga menyandang “julukan” tersebut. Ia memahaminya sebagai bentuk dukungan yang tinggi. Padahal, julukan yang disandang justeru memperlihatkan ia sedang mengidap penyakit jiwa yang akut. Ada pula sosok yang tanpa julukan “mania”, tapi terindikasi berprilaku mania. Mereka biasanya memiliki kegamangan atau ketidakmampuan untuk mengalahkan orang yang dinilainya sebagai lawan. Dorongan mental yang mengalami kegelisahan mendorongnya mencari cara untuk menjatuhkannya. Pilihan yang paling mudah (low cost) dilakukan dengan cara membuat atau menyebar fitnah dan hoax. Semua dilakukan agar lawan dibenci dan dikucilkan (black campaign). Karakter manusia yang demikian berpotensi menerpa pada setiap diri tanpa memperhitungkan status sosial, penyandang gelar intelektual, atribut, atau status lainnya. Bahkan, melalui posisi atau status lahiriyah yang dimiliki membuat dorongan sifat “mania” yang menggerogotinya mudah diterima dan mempengaruhi orang lain. Manusia ber-karakter demikian sangat dicela oleh Allah. Hal ini terlihat pada firman-Nya : “Wahai orang-orang yang beriman ! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati ?.Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang” (QS. al-Hujurat : 12).
Bila dicermati, ayat di atas dimulai dengan menunjuk pada “orang yang beriman”. Kata ini memungkin 2 (dua) makna, yaitu : (1) agar manusia yang beriman terpelihara dari sifat tercela yang bisa merusak amaliahnya. (2) ujian Allah pada orang beriman yang belum mampu mencapai titik tertinggi keimanan. Ia beriman, tapi mempergunakan “status iman” dengan prilaku biadab yang suka memfitnah, bergunjing, dan mencari kesalahan sesama. Dengan tampilan imannya, ia menilai dirinya yang paling suci dan benar. Karakter yang demikian merupakan sifat Iblis ketika ber-hadapan dengan nabi Adam. Kesombongan (“rasa mulia”) atas asal kejadiannya dan tak mau mengakui kelebihan yang Allah berikan pada Adam AS (QS. al-A’raf : 13). Sifat ini selanjutnya diteruskan oleh Namrudz yang ingin berkuasa dengan membunuh semua lawan yang dianggap akan menyainginya (QS. al-Baqarah : 258-260). Keangkuhan Namrudz diteruskan oleh Fir’aun yang begitu percaya pada tukang ramal (pembisik) atas bahaya yang akan terjadi. Untuk itu, Fir’aun memerintahkan untuk membunuh semua anak laki-laki yang ada saat itu (QS. al-Qashash : 4). Mereka tak pernah berfikir jenih dan cerdas. Mereka hanya memperturutkan nafsu dan bisikan (informasi) pembisik sekitar “tali pinggangnya”. Padahal, berbagai bisikan hadir karena ada “udang di sebalik batu” (maksud tercela). Apalagi bila bisikan diiringi tumpukan “bingkisan” dengan dentingan nyanyian senandung materi gemerincing. Akibatnya, kebenaran akan terlihat kejahatan yang perlu disingkirkan dan kesalahan seakan kebaikan yang indah mempesona. Untuk itu, diperlukan bumbu duniawi berupa tumpukan janji dan fitnah sebagai penyedap rasanya.
Meski ayat dijelaskan oleh Allah Yang Maha Benar dan sejarah membuktikan kebenaran-nya, namun segelintir manusia melanjutkan karakter “Iblis, Namrudz, atau Fir’aun” agar hadir sepanjang masa. Pilihan komunitas atau pribadi berpenyakit “mania” berupaya culas dengan melakukan upaya pembunuhan karakter, hak, dan kebenaran pada objek yang dituju (pesanan). Semua dilakukan dengan pisau fitnah nan keji dengan logika yang dipaksakan. Anehnya, banyak yang terpesona dan menjadikan fitnah sebagai kebenaran dan materi diskusi. Potensi manusia yang terpengaruh oleh fitnah tak mengenal strata. Jika strata rendah yang terpengaruh, maka penyebabnya karena ketidakmampuan akalnya. Namun, bila strata tinggi yang terpengaruh, maka acapkali didasarkan oleh kebencian personal dan kepentingan yang berkelindan.
Sikap dan perbuatan merupakan realitas hati yang tersembunyi. Menjadikan dunia sebagai prioritas utama dan akhirat dikebelakangkan merupakan perilaku manusia merugi. Hamba yang bijak akan menjadikan dunia sebagai sarana (bukan tujuan) untuk mencapai kebahagiaan hakiki. Hal ini diingatkan oleh Rasulullah melalui sabdanya : “Seandainya dunia di sisi Allah sebanding dengan sayap nyamuk, maka Dia tidak memberi minum sedikit pun darinya kepada orang kafir” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Agar keselamatan mampu diraih, maka guna-kan filosofi “letakan dunia di telapak tangan-mu dan akhirat bersemayam di hatimu”. Dengan demikian, dunia yang diraih hanya sebagai jembatan menuju surga-Nya. Namun, bila dunia digenggam dengan “menjual” iman dan mengkhianati ajaran yang dibawa oleh Rasulullah, maka keselamatan tak akan diraih.
Untuk itu, diperlukan ketelitian untuk menjaga ucapan (lisan atau tulisan), memilih diksi yang tepat dan menyejukan, serta ketulusan hati yang sebenarnya. Jangan menghumbar kata kebencian dan pilihan diksi yang justeru memperlihatkan kejahilan (kebodohan) atau kebusukan hati yang membingkai tipu muslihat tersembunyi.
Selamat Hari Pendidikan Nasional 2025. Se-moga pendidikan negeri ini mampu melahir-kan generasi bijak ketika menggunakan diksi (ungkapan) yang tepat dan mencerdaskan.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 5 Mei 2025