Oleh : Samsul Nizar
(Guru Besar IAIN Datuk Laksemana Bengkalis)
Setiap tanggal 9 Desember, dunia memper-ingati Hari Anti Korupsi. Peringatan yang me-nandakan pengakuan dunia (global) bahwa prilaku korupsi –berikut variannya– begitu kronis, dan menjadi musuh bagi peradaban. Sebab, penularan virus korupsi telah me-nyerang lintas budaya, agama, profesi, usia, dan strata sosial (intelektual dan sosial).
Dalam sejarah, praktik korupsi telah hadir sejak zaman peradaban kuno. Namun, dalam catatan Herodotus (sejarawan Yunani) atas zaman praktik korupsi, yaitu : (1) Mesir Kuno (3000-2700 SM). Praktik korupsi sistem per-pajakan dan peradilan. Praktik yang dilakukan birokrat dengan mengambil keuntungan atas posisinya. (2). Mitologi Tiongkok Kuno mengisahkan kasim istana (pejabat) yang korup dengan menggelapkan pajak dan mafia peradilan. (3) Yunani Kuno. Praktik korupsi yang dilakukan oleh keluarga Alcmaeonid yang menyuap pendeta (agamawan) untuk membuat fatwa politis sesuai keinginannya. Kesemua catatan sejarah kelam ini membukti-kan bahwa praktik korupsi sudah ada sejak lama. Kehadirannya seakan semakin parah ketika mendekati akhir zaman.
Di zaman kuno, prilaku korupsi hanya dilaku-kan para birokrat. Mereka mendapat reaksi (perlawanan) dari para nabi dan rasul, filosuf, dan ulama (intelektual penjaga kebenaran). Sementara fenomena akhir zaman, praktik korupsi, kolusi, negosiasi, nepotisme, dan varian lainnya justeru dilakukan lintas strata tanpa terkecuali. Praktik ini bagaikan “air bah” yang telah menghancurkan harga diri seluruh elemen dan strata pelaku korupsi.
Ketika korupsi dinilai sebagai penyakit kronis yang menular, beberapa negara mensikapinya dalam berbagai bentuk, antara lain : (1) bagi bangsa berperadaban tinggi dan memiliki harga diri, ancaman “virus korupsi” dilokalisir dan diminimalisir. Aparatur birokrasi diikat harga diri dan supremasi hukum menjadi modal utama. Hasilnya, ruang gerak penyakit korupsi mampu diminimalkan. Pelaku korupsi dijatuhkan sanksi berat (efek jera), dikucilkan, dan hak politiknya dicabut. (2) bagi bangsa berperadaban rendah (Barbar) hanya menjadi-kan slogan anti korupsi sebatas retorika. Semboyan yang tak mampu menghentikan dinamisnya komunitas yang secara fulgar “mengembangbiakkan” praktik korupsi secara masif dan sulit tersentuh. Andai apes, pelaku hanya dijatuhkan sanksi tanpa efek jera dan terkadang dengan memperoleh berbagai “fasilitas”. Bentuk penanganan ini tampil pada negara berperadaban rendah yang menjual kebenaran, harga diri, dan masa depan generasi. Semua begitu nyata (kasat mata) terlihat, tapi sebatas “perlu dimaklumi”. Sungguh, pemetasan dagelan sinetron yang menyakitkan dan sangat tak layak ditonton.
Menyadari masifnya dampak negatif korupsi, mendorong PBB menetapkan tanggal 9 Desember sebagai Hari Anti Korupsi se-Dunia. Hal ini dilatarbelakangi munculnya kesadaran untuk mengakhiri dampak buruk korupsi yang meluluhlantakan semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan upaya ini, diharapkan tumbuh kesadaran kolektif bahwa korupsi merupakan bentuk bahaya laten. Peringatan ini diinisiasi untuk menyatukan pandangan seluruh negara agar menempatkan prilaku korupsi sebagai musuh bersama dan diberantas. Hal ini merupakan bentuk komitmen dunia untuk melawan prilaku korupsi berikut variannya. Hanya saja, komitmen tersebut kadangkala sebatas cita-cita luhur, tapi pada tataran realita hanya implementasi imitasi. Indikasinya terlihat pada praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang begitu menjamur.
Setidaknya, ada 2 (dua) makna peringatan Hari Anti Korupsi se-Dunia, yaitu :
Pertama, Anti korupsi dimaknai sebagai sikap, upaya, dan langkah sistematis untuk menentang, mencegah, melawan, memberan-tas, dan mengurangi segala bentuk praktik korupsi. Upaya ini dilakukan sejak dini dan konsisten mulai rumah tangga, pendidikan, penegakan hukum, keagamaan, dan lainnya. Melalui upaya ini dimungkinkan terbangun budaya integritas (amanah). Ia melibatkan seluruh elemen demi terciptanya tata kelola yang bersih, transparan, dan akuntabel. Un-tuk itu, eksistensi anti korupsi bukan sebatas teori, untaian kata manis, coretan program, atau simbol. Sikap anti korupsi perlu dilaku-kan sebagai upaya bersama, sistematis, dan serius untuk “memerangi semua bentuk praktik korupsi” sampai ke akar-akarnya.
Dalam Islam, prilaku korupsi dikenal dengan istilah : (1) risywah yang dimaknai adanya transaksi antara pemberi, penerima, dan perantaranya atas suatu tujuan atau cara yang dilaknat Allah. Hal ini diingatkan oleh Rasulullah ﷺ melalui sabdanya : “Pemberi suap dan penerima suap tempatnya di (kerak) neraka” (HR. Ath-Thabarani). (2) ghulul dimaknai penggelapan harta atau pengkhianatan terhadap amanah terkait materi. Allah SWT mengingatkan melalui firman-Nya : “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat (ghulul) dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa berkhianat, niscaya pada hari Kiamat dia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu. Kemudian setiap orang akan diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang dilakukannya, dan mereka tidak didzalimi” (QS. Ali Imran : 161).
Demikian jelas ayat (berulangkali dinyatakan dalam al-Quran) dan sabda Rasulullah ﷺ mengingatkan, namun korupsi berikut variannya semakin subur dan rimbun. Seakan manusia ingin mengikrarkan dan menampilkan sifat aslinya yang dinyata-kan Allah dalam QS. al-Baqarah : 7-8. Sifat asli berupa keingkaran dan kemunafikan.
Kedua, Antik korupsi. Secara sederhana, kata antik berarti “kuno, tetapi bernilai sebagai hasil karya seni atau benda budaya”. Setiap barang antik, 0nilainya sangat tinggi dan di atas rata-rata. Bila kata antik disandingkan dengan kata korupsi, maka antik korupsi berarti “transaksi prilaku kuno yang bernilai tinggi dan banyak yang ingin memiliki”.
Ketika fenomena praktik korupsi yang kasat mata (transparan) terjadi, maka peringatan Hari Anti Korupsi layak dirubah menjadi Hari Antik Korupsi. Sebab, logika historis menjelas-kan betapa prilaku korupsi menjadi begitu “antik” untuk diperjualbelikan dan “dijaga” secara kolektif (berjama’ah). Kolektifitas ini membuat pemberantasan korupsi menjadi semakin sulit dilakukan. Ia bagaikan akar sebatang pohon yang rimbun. Ketika akar dipotong, tersisa akar lain yang tetap “menjalar”. Ketika pohon dicabut, maka se-mua elemen akan terbongkar. Ketika terkuak, penjara akan penuh sesak. Sebab, eksistensi-nya merupakan jaringan “dinasti korupsi” yang berkelindan. Bila sejarah dinasti raja disebut silsilah “darah biru”, maka praktek dinasti korupsi era modern yang terbangun tanpa akal dan hati disebut silsilah “darah kotor”. Sebab, seluruh unsur diri, keluarga, dan koleganya diisi oleh hasil korupsi. Hal ini membuat dirinya berisi kotoran kerak neraka.
Ketika sejarah mencatat, prilaku dan praktik korupsi dilakukan pemilik kuasa (birokrasi), maka perlu dilakukan logika sejarah. Logika bahwa “setiap pemegang kuasa (birokrasi atau public figure) patut atau layak dicurigai –berpotensi– melakukan prilaku korupsi”. Sebab, tanpa “kuasa”, potensi korupsi tak mungkin terjadi. Untuk itu, penjaga gawang anti korupsi seyogyanya lebih ekstra terhadap pemilik “posisi”. Demikian prilaku korupsi sepanjang sejarah.
Aparatur anti rasuah perlu menggunakan se-luruh potensi sebagai mata dan telinganya, terutama “memanfaatkan” kaum yang ter-zalimi. Ketika komunitas terzalimi sebagai “mata dan telinga” bagi punggawa keadilan, maka semua akan terbuka. Sebab, mereka memiliki informasi akurat, tapi tak memiliki kekuatan untuk membongkarnya. Penindakan hukum harus komprehensif, obyektif, dan berkeadilan. Sebab, ia bagaikan aliran air. Penindakan perlu dilakukan sejak hulu sampai ke hilir. Bila para punggawa pengawal anti korupsi hanya menunggu informasi masyarakat semata, maka pemberantasan mengalami stagnan. Sebab, laporan masyarakat harus beriringan dengan bukti. Sementara bukti yang diinginkan acapkali tak dimiliki. Sebab, pelaku korupsi “bagai hantu”. Begitu nyata telah melampaui batas, tapi acapkali sulit terdeteksi dan tak bisa diadili.
Penindakan praktik korupsi hendaknya dilaku-kan secara cerdas-berkeadilan, bukan meng-gunakan politik belah bambu, pesanan, atau penilaian subyektifitas lainnya. Ketika hal ini yang dilakukan, maka peringatan Hari Anti Korupsi sebatas seremonial tanpa arti. Untuk itu, para punggawa anti korupsi perlu meng-gunakan logika “mencurigai setiap birokrat” dengan melakukan pengawasan super ketat. Hal ini akan menjadi shock therapy efektif bagi meminimalkan prilaku korupsi dan berbagai varian modus lainnya.
Andai penindakan hanya euforia politis atau sekedar sosok “orang-orangan sawah” untuk menakuti hama yang memakan padi, maka semboyan anti korupsi akan berubah menjadi anti(k) korupsi. Ia akan menjadi prilaku antik untuk melakukan korupsi. Menempatkan pri-laku korupsi sebagai “barang antik” yang te-rus dijaga dan dipelihara. Semakin lama ke-biasaan korupsi bisa dipertahankan, maka semakin “mahal nilainya”. Prilaku yang me-manfaat posisi —yang dicari– dengan harga yang mahal dan disimpan di ruang yang aman (rahasia). Bila hal ini yang terjadi, maka peringatan Hari Anti Korupsi se-Dunia (HAKORDIA) sebatas “omon-omon” pemanis bibir kemunafikan. Sebab, anti korupsi yang dicanangkan telah berubah menjadi “korupsi antik dan antik korupsi”. Eksistensinya men-jadi “barang unik dan mewah” yang terjaga.
Dalam sejarah, prilaku korupsi beririsan deng-an kezaliman. Ia tak pernah terjadi pada komunitas tanpa kuasa. Hanya kesia-siaan dan kedunguan bila mengarahkan upaya untuk menemukan prilaku korupsi dan ke-zaliman pada komunitas yang lemah. Sebab, sejarah membuktikan bahwa komunitas pe-milik kejujuran, kecerdasan, dan amanah akan dilemahkan. Kehadirannya dijadikan tumbal dan sasaran kebencian para peng- khianat. Mereka dibenci karena dianggap penghambat prilaku culas yang dilakukan. Mereka akan “dikorbankan (kambing hitam)” sebagai obyek yang dipersalahkan agar ke-jahatan sang pemilik “kekuatan” tak terlihat.
Sungguh, tradisi kebohongan, kemunafikan, dan kezaliman begitu subur dan senantiasa dilestarikan. Padahal, semua ayat Allah SWT terlihat nyata, baik tertulis (al-Quran) maupun terhampar (alam semesta). Bahkan, alam tak henti-henti “menyuarakan firman-Nya” untuk mengingatkan hamba yang mau sadar. Tapi, bagi hamba yang ingkar dan kufur, maka ayat-Nya berwujud azab (murka-Nya).
Dalam fenomena modern, pelaku korupsi –anehnya– merupakan manusia berstatus, kaya, berilmu, beragama, dan bersumpah atas nama agama. Tapi, realitanya justeru secara sadar “mempermainkan” Allah dan menginjak agama, bahkan melebihi prilaku kaum atheis.
Selamat memperingati Hari Anti Korupsi se-Dunia di tengah misteri “Antik Korupsi” yang begitu subur dan menggiurkan. Ambiguitas karakter yang disuguhkan para aktor melalui pementasan panggung sandiwara yang “anti korupsi”, padahal “antik korupsi”. Entahlah…..
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 15 Desember 2025


