Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Penciptaan atas semua makhkuk menan-dakan adanya Sang Pencipta (Allah). Terciptanya alam semesta menunjukkan kebesaran dan kekuasaan-Nya yang tak terbatas. Untuk itu, agar semua makhluk hidup teratur, maka dihadirkan aturan alam (sunnatullah) dan diturunkan agama melalui para utusan-Nya (nabi dan rasul). Sungguh, semua ciptaan-Nya tak ada yang sia-sia (QS. Ali Imran : 191). Semua mengandung pesan dan manfaat. Namun, manusia acapkali menafikannya. Sebab, wujud dimensi penghambaan acapkali tereliminir oleh prilaku pengingkaran (kejahilan) yang lebih dominan.
Seyogyanya, melalui potensi yang dimiliki, menghantarkan manusia ke wujud peng-hambaan. Ianya terimplementasi melalui ibadah vertikal yang menghadirkan ketun-dukan secara totalitas (kaffah). Adapun wujud ibadah horizontal menghadirkan fungsi kekhalifahan dengan menyebar nilai rahmatan lil ‘aalamiin (QS. al-Anbiya : 107).
Wujud penghambaan dan kekhalifahan seyogyanya dilakukan penuh keikhlasan. Nilai keikhlasan terimplementasi pada ibadah tanpa syarat, tapi kebutuhan hamba terhadap Rabb-nya. Tapi, ketika ibadah yang dilakukan dipenuhi berbagai “syarat” (maksud) yang diinginkan, maka keikhlasan akan sulit diraih. Ada beberapa dimensi ibadah yang dipesankan oleh Allah melalui al-Quran. Seyogyanya pesan ini dilakukan tanpa syarat oleh seorang hamba yang ikhlas, antara lain :
Pertama, Beribadah atas dasar kerinduan dan cinta pada-Nya, bukan perhitungan atau ukuran pahala semata. Manusia yang beribadah berangkat dari motivasi untuk meraih kasih sayang-Nya. Ibadah dijadikan sebagai media interaksi hamba dan Khaliq. Interaksi ini merupakan komunikasi yang penuh kenikmatan. Mereka yang mampu meraih komunikasi ini merupakan sosok hamba pilihan. Sebab, melalui iman yang teguh, ia mampu meraih cinta-Nya. Hal ini disebut melalui firman-Nya : “… Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah…” (QS. al-Baqarah : 165).
Kekuatan bangunan keimanan menghadir-kan ibadah tanpa beban dan harap. Semua dilakukan hanya untuk meraih cinta-Nya. Dengan motivasi ini, seluruh amaliah yang dilakukan secara totalitas diikuti. Hal ini dinukilkan dalam firman-Nya :“Katakanlah (Muhammad): “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Ali ‘Imran : 31).
Ayat di atas menjelaskan bahwa hamba yang beribadah dengan dasar cinta pada-Nya akan meraih kualitas keikhlasan yang sebenarnya. Bangunan keikhlasan ini menjadi jembatan untuk bersua dengan-Nya. Hal ini menjadi impian setiap hamba yang beriman. Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiapa ingin berjumpa dengan Allah, Allah pun ingin berjumpa dengan dia” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis di atas memberikan makna, bahwa “perjumpaan” hamba dengan Allah dilaku-kan melalui ibadah yang ikhlas. Hanya melalui akrivitas ibadah tanpa syarat dan “berhitung amal” akan melahirkan sifat ihsan. Ketika sifat ini mampu dimiliki, maka semua rangkaian ibadah berupa interaksi dialogis hamba dengan Rabb-nya. Hal ini dinyatakan oleh Rasulullah ketika ditanya Jibril tentang makna ihsan. Rasulullah menjawab : “Ihsân itu adalah jika engkau mengabdi kepada Allah seolah-olah anda melihat-Nya, dan andai anda tidak dapat melihat-nya, maka Allah pasti melihatmu” (HR. Muslim).
Adapun hamba yang mendapat cinta-Nya meliputi : manusia yang selalu menyebar-kan kebaikan, melakukan taubatan nasuha, menjaga ketakwaannya, berlaku adil, suci diri (hati dan akal), sabar dan tawakkal. Ia akan meraih kenikmatan tiada tara. Mereka tampil secara zahir dengan adab mulia, tanpa rekayasa asesories belaka.
Kedua, Ibadah sebagai kebutuhan hamba terhadap Allah, bukan sebaliknya. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam hadis qudsi, bahwa Rasulullah bersabda : “Wahai hamba-Ku, andai seluruh manusia dan jin dari awal penciptaan sampai akhir penciptaan. Seluruhnya menjadi orang yang paling bertaqwa, hal itu sedikitpun tidak menambah kekuasaan-Ku. Wahai hamba-Ku, andai seluruh manusia dan jin dari awal penciptaan sampai akhir penciptaan. Seluruhnya menjadi orang yang paling bermaksiat, hal itu sedikitpun tidak mengurangi kekuasaan-Ku” (HR. Muslim).
Mohammed Arkoun dalam buku Nalar Islami Nalar Modern (1994) mengatakan bahwa semua ibadah yang diperintahkan-Nya pada manusia bukan ditujukan untuk menciptakan muslim yang saleh secara ritual dan saleh terhadap Allah SWT semata. Tapi, semua ibadah seyogyanha dilakukan untuk menghasilkan kesalehan privat dan sosial. Sebab, substansi beribadah sebenarnya merupakan kebutuhan hamba atas dirinya sendiri, bukan untuk Allah. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Aku tidak mencipta-kan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku (saja). Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh” (QS. Adz-Dzariat : 56-58).
Melalui wujud ibadah sebagai kebutuhan hamba, maka semua amaliahnya akan memberi dampak (efek) kebaikan bagi fisik dan batin, menghantarkannya sebagai hamba yang disukai Allah, wujud mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah), jalan menuju hamba yang taqwa, memperoleh kecintaan-Nya, meraih ridha-Nya, dan meraih janji Allah yang kelak akan ditempatkan di surga-Nya.
Ketiga, Ibadah tanpa berhitung dan ber-harap pahala. Meski banyak ayat yang menyebutkan penggandaan amaliah hamba (QS. al-Baqarah : 261), semuanya bertujuan sebagai motivasi agar terjadi peningkatan amaliah hamba dan bentuk kasih sayang-Nya. Bahkan, Allah jadikan secara khusus ramadhan sebagai bulan peningkatan (melipatgandakan) amal. Motivasi ini sangat berpengaruh pada hamba yang beramal secara syari’at. Namun, bagi hamba yang berada pada level hakikat (mukhlis), semua amaliah yang dilakukan tanpa memperhitungkan besaran pahala yang akan diraih, tapi beramal menjadi kebutuhan utama setiap diri untuk selalu “bersama” tanpa jarak dengan Rabb-nya. Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (QS. Qaaf : 16).
Bagi hamba yang meraih kualitas ibadah “bersama-Nya” akan selalu beribadah secara ikhlas dan merindukan-Nya. Ia tak pernah riya’ atas amalnya, apatahlagi menjadikan amal sebagai strategi menipu sesama dengan menampilkan kesalehan untuk menutupi tumpukan kesalahan. Ia tak pula pernah berprilaku merugikan, menyakiti, atau menzalimi orang-orang di sekitarnya. Sebab, ia khawatir akan merusak kualitas iman dan Islamnya. Sebab, sehebat apa pun orang beribadah tapi bila masih menyebar kezaliman dan kebencian pada sesama, maka berarti ia termasuk orang yang merugi dan rendah kualitas imannya.
Sungguh, manusia selalu berhitung-hitung dalam beribadah, tapi tak pernah berhitung bila berbuat dosa. Menganggap ibadahnya akan dilipatgandakan oleh Allah membuat manusia berfikir “transaksional material” dengan-Nya. Pandangan ini membuka peluang terjadinya pelanggaran yang berkepanjangan. Sebab, ia berfikir akan mampu membayar dengan amaliah selama ramadhan, apatahlagi bila mampu bertemu dengan malam lailatul qadar. Untuk itu, tak aneh bila –segelintirnya–berupaya melipatgandakan amaliah selama bulan ramadhan, tapi tetap melakukan pelanggaran meski selama bulan ramadhan. Demikian prilaku manusia bila beribadah bukan sebagai kebutuhan, tapi sebatas pelepas kewajiban semata. Mereka masih beribadah penuh syarat (pahala) dengan mengajukan pengampunan lisan, tapi tanpa bekas yang mampu menghadirkan rasa penyesalan substansial (taubat an-nasuha).
Padahal, Allah turunkan al-Quran di bulan ramadhan. Bulan yang memberi ruang yang luas bagi peningkatan amaliah dan intensitas membaca al-Quran yang begitu tinggi. Hal ini patut diapresiasi sebagai wujud syiar Islam. Hanya saja, eksistensi al-Quran pada wilayah tertentu masih pada level bacaan dan belum menyentuh akal dan hati. Akibatnya, al-Quran yang dibaca belum mampu menggerakan atau mewarnai prilaku. Nuzul Quran masih dominan diperingati pada dimensi sejarah turunnya, tanpa mampu “menurunkan dan mengisi” al-Quran pada relung dan seluruh pori-pori diri. Seakan, peristiwa nuzul Quran hanya kisah dan bacaan rutin setiap ramadhan. Akibatnya, meski al-Quran dibaca, tapi kemunafikan dan kezaliman terus mengemuka. Untuk itu, para perindu kalam-Nya perlu berupaya meraih makna hakiki dan ruh esensi yang ada dalam al-Quran. Bila hal ini tak mampu dilakukan, maka nuzul Quran hanya hadir tanpa pesan dan kesan. Akibatnya, bila al-Quran sebatas “simbol dibersamai”, maka ia tak mampu mewarnai karakter dan menjadi tuntunan kehidupan. Ketika al-Quran sebatas bacaan tanpa dipahami, maka sulit hadir perubahan prilaku diri. Bila amaliah masih dominan dilakukan sebatas harap pahala semata, maka ia hanya menghantarkan kuantitas “syariat” hamba tanpa mampu meraih kualitas “hakikat” hamba yang muhih. Sebab, ia hanya membaca al-Quran, tapi belum mampu “menuzulkan” pesan Allah secara benar dalam seluruh dimensi kehidupan. Hanya melalui rangkaian ibadah yang dilakukan dengan dasar rindu tanpa syarat (ikhlas) akan membentuk karakter mulia (ihsan). Semoga…
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 17 Maret 2025