Oleh : Samsul Nizar
(Guru Besar IAIN Datuk Laksemana Bengkalis)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata paceklik memiliki tiga arti, yaitu : musim kekurangan bahan makanan, masa sepi kegiatan (perdagangan atau pekerjaan), dan masa sulit. Secara umum, paceklik lebih dimaknai era kegagalan upaya menyediakan (produksi) pangan sebagai kebutuhan primer makhluk hidup. Ketika “gagal pangan” (paceklik) terjadi, berbagai musibah akan muncul, seperti kematian, penjarahan, ketidakstabilan, dan lainnya. Hanya saja, istilah paceklik hanya dikaitkan pada fenomena kebutuhan “perut”. Padahal, paceklik bisa dikaitkan dengan “kelangkaan manusia ideal (amanah)” di tengah berjamurnya pemilik karakter khianat yang mengisi peradaban. Paceklik amanah akan semakin akut bila keadilan (hukum) yang tebang pilih dan sarat kepentingan. Meski secara sadar telah bersumpah menyebut nama Allah dan berikrar memenuhi janji, namun acap-kali dilanggar dan dikhianati. Bila sumpah telah dikhianati, berarti secara sadar ia telah menipu Allah dan Rasul-Nya.
Ada beberapa indikasi terjadinya “paceklik amanah dan adab” yang melanda peradab-an manusia akhir zaman, antara lain :
Pertama, Pendidikan panen ijazah dan gelar, tapi paceklik adab dan kejujuran. Segelintirnya diraih melalui pendekatan “tak biasa” bak jualan “kacang goreng” dipinggir jalan. Transformasi ilmu dan adab tak lagi jadi acuan, tapi raihan status jadi tujuan. Peceklik adab dan kejujuran terjadi sejak di hulu. Akibatnya, tampil sosok tanpa isi (hampa) di hilir. Wajar bila “sosok jujur akan terbujur, sosok khianat meraih nikmat”. Padahal, begitu jelas dan tegas Rasulullah mengingatkan : “Wajib atasmu berlaku jujur, karena jujur itu bersama kebaikan, dan keduanya di surga. Dan jauhkanlah dirimu dari dusta, karena dusta itu bersama kedurhakaan, dan keduanya di neraka” (HR. Ibn Hibban).
Paceklik kejujuran dan adab begitu masif menerpa hampir semua sisi dan dimensi. Manusia hanya mengejar kuatitas formal, tanpa kualitas hakiki. Demikian pula dunia pendidikan mengalami peceklik adab dan ilmu yang kalah piawai dengan strategi meraih “atribut” dan sekedar status.
Kedua, Hukum begitu rimbun aturan, tapi paceklik keadilan dan kebenaran. Hukum secara teks di susun bak “pisau bermata ganda” (obyektif), tapi secara realita kala-nya tampil bak “pisau bermata tunggal” (subyektif). Ruang “multi tafsir” sengaja terbuka lebar guna memenuhi asa kepen-tingan (transaksional). Dengan demikian, kejahatan nyata yang segunung bisa dihapus tanpa bekas. Sebaliknya, kekeliru-an sedebu bisa diputuskan menjadi kesalahan segunung. Anehnya, segelintir oknum penilai kebenaran justeru pelaku kesalahan. Sungguh, manusia tak lagi takut dengan Allah dan menafikan adab yang dicontohkan Rasulullah. Manusia hanya takut bila tak mendapatkan apa yang diinginkan. Semua yang terjadi akibat amanah telah diserahkan pada orang yang khianat (vertikal-horizongal). Padahal, be-gitu tegas dan jelas Allah mengingatkan : “Sesungguhnya Allah menyuruhmu untuk menyerahkan amanat kepada yang berhak menerimanya. Apabila kamu menghukum di antara manusia, hendaklah kamu meng-hukum dengan adil…” (QS. an-Nisa’ : 58).
Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, ayat di atas merupakan perintah Allah agar menunaikan amanah. Bila amanah diserahkan pada pemiliknya (ahliha), maka akan terwujud keadilan dan kesejahteraan. Tapi, bila suatu urusan diserahkan pada pengkhianat, maka akan terjadi kezaliman. Anehnya, meski ayat dan hadis begitu jelas, namun pengingkar-an semakin nyata dipelupuk mata. Tampil anggun manusia berkarakter toxic dan khianat berkeliaran bebas “meluluhlantak-kan” peradaban. Semua terjadi akibat ber-bagai bentuk “pembiaran” yang membuat kejahatan berkembang biak.
Mata pisau terlalu tajam bila berkaitan dengan sosok yang dibenci. Meski tanpa kesalahan, berbagai alasan akan dicari agar pemilik sifat amanah dikucilkan. Semua dilakukan dengan penuh kesadaran berbalut transaksi yang direkayasa. Begitu nyata iman telah sirna. Pengawasan Allah tak lagi dipeduli. Sementara, pengawasan penegak keadilan bisa disusupi dengan “transaksi”. Fenomena ini menyebabkan kemunafikan dan khianat selalu dihargai. Sementara pemegang teguh amanah akan selalu dicaci dan dibuli.
Ketiga, Sumber alam melimpah-ruah, tapi paceklik kesejahteraan. Padahal, Allah te-lah menganugerahkan rezeki (semesta) yang berlimpah ruah. Hal ini diingatkan melalui firman-Nya : “Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (ke-bahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu lupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (pada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesung-guhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (QS. al-Qashash : 77).
Melalui ayat di atas, Allah memerintahkan manusia agar “berbuat baik sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu“. Hal ini sebagai dasar etika horizontal untuk mem-peroleh anugerah vertikal. Tapi, manusia acapkali tak peduli dan melanggarnya.
Keempat, Rumah ibadah dan jamaah ber-tambah dan antusias aktivitas keagamaan begitu tinggi. Fenomena ini patut disyukuri dan diapresisasi. Namun, eksistensinya mengalami paceklik implementasi. Bah-kan, tingginya animo keagamaan kadang-kala disalahgunakan oleh oknum “penjual agama” untuk kepentingan pribadi atau golongan. Ternyata, agama yang diyakini hanya sebatas rutinitas syariat, tanpa memahami isi (hakikat). Ajaran agama “dipilih-pilih” sesuai tujuan (keinginan) yang menguntungkan. Padahal, Allah telah mengingatkan melalui firman-Nya : “Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam (agama) Islam secara keseluruhan dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan ! Sesungguhnya ia bagimu musuh yang nyata” (QS. al-Baqarah : 14).
Ibnu Katsir menjelaskan, bahwa ayat di atas gambaran prilaku manusia munafik. Mereka menampakkan seakan berpihak kebenaran, tapi sebenarnya memusuhi (QS. al-Baqarah : 8). Untaian kata yang diucapkan hanya untuk pembenaran diri agar kesalahan bisa ditutupi. Padahal, semua hanya bertujuan mendapat apa yang diinginkan (ghanimah) belaka.
Kelima, Alat transportasi dan komunikasi horizontal begitu maju, tapi paceklik trans-portasi dan komunikasi vertikal (sebatas dagelan kemunafikan). Akibatnya, tampil mulia di mata manusia, tapi hina di hadap-an Allah dan Rasul-Nya.
Ketika dunia mengalami paceklik amanah dan adab, maka subur sifat khianat dan munafik. Bila karakter ini telah menguasai panggung, maka tanaman kebaikan dinilai kejahatan, kejujuran dianggap kesalahan, dan teguh mempertahankan prinsip dinilai keangkuhan (arogan). Untuk itu, pemilik karakter amanah akan dipandang sebagai musuh dan harus disingkirkan. Sebab, kehadirannya dikhawatirkan akan menjadi cermin yang akan “menelanjangi” (mem-buka topeng) semua wabah kebusukan yang sedang dilakukan (kronis).
Agar prilaku busuk tak menguap, maka semua “hidung dan mulut perlu ditutup”. Langkah rekayasa (memutarbalikan) fakta akan dilakukan. Pengkhianatan seakan ketulusan dan amanah seakan kejahatan. Begitu jelas sandiwara kemunafikan tanpa malu. Sosok yang tersenyum manis di depan, tapi diam-diam siap menusuk dari belakang dan mengambil keuntungan. Segelintirnya terdapat manusia berkarak-ter “baling-baling di puncak bukit”. Awalnya berteriak kebenaran, tapi begitu “mulut dipenuhi makanan” kepentingan, idealisme dan harga diri terjual seharga yang masuk dimulutnya (QS. al-Baqarah : 7).
Ketika pemilik amanah berupaya menolak mengikuti arus kemunafikan, maka ia akan dijadikan sebagai kambing hitam. Semua dilakukan agar pemilik kemunafikan ter-lihat begitu bersih dan suci. Padahal, ia justeru biang kotoran bagi peradaban.
Demikian berat cobaan dan fitnah yang dirasakan pemilik karakter yang amanah. Tapi, lebih baik dianggap penjahat di mata para penjilat dan pengkhianat, daripada ikut menjadi bagian prilaku kepalsauan dan kezaliman. Sebab pada waktunya, Allah akan membuka semua kebenaran dan kejahatan yang disembunyikan.
Dalam kehidupan, pelaku kejahatan di-topang hadirnya para penjilat. Paling tidak, ada 2 (jenis) penjilat, yaitu : (a) menjilat untuk meraih apa yang diinginkan. Meski awalnya begitu keras mengkritisi, tapi harapan posisi membuat “lidah kelu” dan berubah “menari” mencari “alibi” kesana-kemari. Allah sangat membenci pada manusia berkarakter penjilat (QS. al-Hajj : 30). (b) menjilat ludah sendiri atas kata yang pernah diucapkan. Sosoknya bagai seekor bunglon. Ia akan berubah sesuai warna pohon yang ditumpangi. Berbagai alasan pembenaran dimunculkan untuk membenarkan pilihannya. Padahal, Allah sangat mencela manusia berkarakter bunglon (QS. al-Baqarah : 14).
Sungguh sulit menjaga dan mempertahan-kan kebenaran (istiqomah). Sosoknya se-lalu dibenci karena tak bisa disetir (diatur). Sebab, pemilik kebenaran memiliki prinsip, value, dan harga diri yang tak bisa dibeli. Ketika pemilik sifat amanah mampu mem-pertahankan kebenaran dan harga dirinya, maka eksistensinya membuat komunitas kejahatan menjadi semakin tak nyaman. Berbagai cara dilakukan untuk menyingkir-kan. Tantangan berat bagi pemilik integri-tas diri yang amanah. Sebab, pemilik sifat amanah akan dibenci penduduk bumi, tapi ia akan selalu disenangi dan dibanggakan oleh penduduk langit.
Sungguh, dunia sedang menantikan sosok yang amanah untuk “menahan” murka-Nya (QS. al-Zalzalah : 7-8). Pada waktunya, semua perbuatan pasti diperlihatkan-Nya (QS. al-Jasiyah : 28), tanpa mampu untuk ditutupi. Acapkali manusia begitu peduli untuk mencari solusi berkaitan paceklik kebutuhan lahiriyah, tapi tak mau peduli bila paceklik amanah dan adab yang meng-hancurkan peradaban. Mungkin manusia sedang membuat agama baru dan melupa-kan Allah dan ajaran Rasul-Nya. Entahlah…
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.


