Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Dikisahkan dahulu hidup seorang puteri raja bernama Dayang Sumbi. Ia menikah dengan si Tumang (dewa dari kayangan). Dewa yang berwujud seekor anjing kesayangan Dayang Sumbi. Dari pernikahan tersebut, ia dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Sangkuriang. Sejak anak-anak, Sangkuriang sangat gemar berburu. Ia selalu ditemani oleh Tumang. Meski demikian, Sangkuriang tidak pernah tahu bahwa anjing tersebut merupakan titisan dewa dan sekaligus bapaknya. Pada suatu hari, Tumang tidak mau mengikuti perintahnya untuk mengejar hewan buruan. Sangkuriang sangat marah dan mengusir si Tumang ke hutan. Ketika kembali ke istana, Sangkuriang menceritakan kejadian tersebut pada Ibunya. Dayang Sumbi sangat marah atas perbuatan anaknya tersebut. Kemarahannya begitu memuncak dan tanpa sengaja memukul kepala anaknya dengan sendok nasi yang dipegangnya. Kepala Sangkuriang terluka dan membuatnya sedih dan kecewa atas apa yang dilakukan ibunya. Lalu, ia pergi meninggalkan istana dan mengembara entah kemana.
Kejadian tersebut membuat Dayang Sumbi sangat menyesali perbuatannya. Akhirnya, ia bertapa dan berdoa atas kesalahan yang dilakukannya. Atas ketekunannya beribadah, para dewa memberinya anugerah padanya berupa kecantikan abadi.
Setelah bertahun-tahun mengembara, kini Sangkuriang tumbuh sebagai pemuda yang tampan. Ia berniat untuk menemui ibunya. Ketika tiba, kondisi kerajaan sudah berubah total. Di sana ia bertemu seorang gadis. Ia terpesona oleh kecantikan wanita tersebut dan ingin melamarnya. Lamaran Sangkuriang diterima oleh Dayang Sumbi yang terpesona oleh ketampanan Sangkuriang.
Pada suatu hari Sangkuriang berpamitan untuk pergi berburu. Sebelum berangkat, ia minta agar Dayang Sumbi merapikan ikat kepalanya. Alangkah terkejutnya Dayang Sumbi ketika melihat bekas luka di kepala calon suaminya. Luka tersebut persis luka anaknya yang telah pergi merantau. Setelah lama diperhatikannya, ternyata wajah pemuda tersebut sangat mirip dengan wajah anaknya. Dayang Sumbi sangat ketakutan. Ia kemudian mencari upaya untuk menggagal-kan lamaran Sangkuriang. Ia memperoleh petunjuk untuk jalan keluar masalah yang sedang dihadapi. Ia mengajukan dua syarat pada Sangkuriang, yaitu : membendung sungai Citarum dan membuat sebuah sampan besar untuk menyeberangi sungai Citarum. Kedua syarat ini harus dipenuhi dalam waktu semalam dan selesai sebelum fajar menyingsing. Sangkuriang menyanggupi persyaratan tersebut. Dengan kesaktiannya, ia mengerahkan seluruh makhluk gaib untuk membantu menyelesaikan keinginan Dayang Sumbi. Secara diam-diam, Dayang Sumbi mengintip pekerjaan tersebut. Ketika Sangkuriang hampir menyelesaikan pekerjaan tersebut, Dayang Sumbi memerintahkan pasukannya untuk menggelar kain sutera merah di sebelah timur kota. Ketika menyaksikan warna memerah diufuk timur, Sangkuriang mengira hari telah pagi dan batas waktu yang diberikan telah habis. Ia pun menghentikan pekerjaannya. Ia sangat marah atas kegagalannya. Sebab, berarti ia tak dapat memenuhi syarat yang diminta Dayang Sumbi. Dengan kekuatannya, ia menjebol bendungan yang dibuatnya. Terjadilah banjir besar melanda seluruh kota. Kemudian, ia menendang perahu besar yang dibuatnya dan melayang jatuh. Masyarakat menyebutnya dengan nama Gunung Tangkuban Perahu.
Meskipun kisah di atas sebatas legenda, tapi eksistensinya didukung melalui fakta geologi. Legenda Sangkuriang awalnya merupakan tradisi lisan. Rujukan tertulis mengenai legenda ini terdapat pada naskah Bujangga Manik yang ditulis pada daun lontar (akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 Masehi). Pesan moral yang ingin disampaikan melalui sosok Dayang Sumbi berupa ajaran (hukum) keharaman atas muhrim untuk dinikahi. Hal ini telah dijawab oleh Allah melalui firman-Nya : “Diharamkan bagi kalian menikahi ibu-ibu kalian ; anak-anak perempuan kalian ; saudara-saudara perempuan kalian ; bibi-bibi dari jalur ayah kalian ; bibi-bibi dari jalur ibu kalian ; anak-anak perempuan dari saudara laki-laki kalian ; anak-anak perempuan dari saudara perempuan kalian ; ibu-ibu susuan kalian ; saudara-saudara perempuan kalian dari satu susuan ; ibu-ibu dari para istri kalian ; anak-anak tiri kalian yang dalam perawatan kalian dari para istri yang telah kalian setubuhi. Bila kalian belum menyetubuhinya, maka tidak ada dosa bagi kalian untuk menikahi anak tiri kalian dari mereka ; para istri dari anak laki-laki kalian yang dari anak kandung kalian (bukan anak adopsi) ; dan diharamkan bagi kalian mengumpulkan dua saudara perempuan dalam satu pernikahan; kecuali pernikahan terhadap para perempuan tersebut pada zaman Jahiliyah yang telah lewat. Sungguh Allah adalah Zat yang Maha Mengampuni dan Maha Pengasih” (QS. an-Nisa’ : 23).
Pengharaman ayat di atas telah dilakukan oleh Dayang Sumbi. Ia bermunajat agar apa yang dilakukan anaknya mengalami kegagal-an. Keputusan yang bijak sebagai manusia yang beradab. Sementara, fenomena modern justeru berlaku aneh tanpa memperdulikan semua norma yang ada.
Meski kisah Sangkuriang hanya sebatas dongeng yang melegenda dan populer, namun legenda ini seakan berkorelasi dengan beberapa fenomena yang terjadi di era modern. Sebab, kisah legenda ini sepertinya acapkali terjadi. Di antaranya terlihat pada kisah kisah hadirnya “pagar misterius di laut Tangerang”. Bukan main-main, panjangnya 30 KM dan dibangun di laut. Anehnya kehadiran pagar misterius tersebut baru diketahui setelah di viralkan oleh masyarakat. Tak ada yang merasa bertanggungjawab dan mengakui kepemilikian “pagar misterius” tersebut. Mungkin “Sangkuriang” telah kembali hadir membangun pagar misterius dalam semalam saja. Sebab, bila logika normal digunakan, maka pembangunan pagar di laut sepanjang 30 KM memerlukan waktu berbulan-bulan atau lebih singkat tapi membutuhkan pekerja ratusan orang. Kasus ini bagaikan gunung es. Bila ditelusuri, mungkin masih ada fenomena sejenis yang bermunculan kepermukaan.
Ada beberapa kekusutan logika atas kehadir-an pagar misterius tersebut, antara lain :
Pertama, kepemilikan misteri “alam ghaib”. Padahal, pembangunannya memerlukan biaya yang besar. Membangun pagar di darat saja tak sedikit biaya diperlukan. Apatahlagi bila dibangun di lautan. Tentu hanya mampu dibangun oleh investor “berkantong tebal”.
Kedua, Tak diketahui proses pembangunan, tapi hanya diketahui adanya “pagar misterius” setelah dibangun. Sebab, tak ada yang mengetahui mobilisasi material dibawa, waktu, dan proses pekerjaan tersebut dilakukan. Mungkin ia dibangun dalam waktu semalam ala Sangkuriang. Atau mungkin proses kerjanya tak mampu dilihat manusia normal, karena dibangun “kekuatan ghaib” di luar nalar yang dijatuhkan dari langit.
Ketiga, Biaya pembangunan berkorelasi dengan hasil yang peroleh melalui “pagar misterius”. Lalu, apakah tujuannya hanya sekedar “membudidayakan atau menangkap ikan” semata. Andai hanya sebatas ikan, maka sangat sulit diterima akal. Untuk itu, patut ditelusuri isi yang dibudidayakan, tujuan izin bisa diberikan, dan “ilmu penutup mata” yang digunakan agar pagar laut tersebut tak mampu terlihat. Atau kehadiran pagar dibuat agar terjadi proses pendangkalan. Ketika hal ini terjadi, maka bisa memangkas biaya reklamasi lautan kedepannya. Tentu rencana dan proses ini hanya mampu dilakukan pemilik modal besar. Ternyata, penjarahan terjadi bukan hanya di daratan, tapi lautan. Mungkin nanti wilayah udara akan dimonopoli secara misterius.
Sungguh aneh bila bangunan muncul tanpa diketahui prosesnya dan tanpa pemilik. Apatah lagi bila bangunan “misteri” yang ada didasarkan izin hukum tertulis. Bila hal ini yang terjadi, maka patut dilakukan pendalam-an analisis yang serius. Sebab, dasar hukum pemberi izin dan peluang kemungkinan “kompensasi transaksi” atas izin yang ada tentu patut ditelusuri secara serius.
Logika cerdas terusik atas keanehan yang sulit diterima akal sehat. Namun, kecerdasan seakan sedang diuji karena sedang nyata terjadi di era modern. Meski kehadirannya diketahui pasca viral dan proses hukum telah dilakukan, tapi kehadirannya menyimpan misteri. Misteri kehadirannya seakan baru diketahui dengan izin (legal formal) yang ada. Semua seakan tersentak dan kaget. Sebab, kejadiannya bagai “Sangkuriang” yang telah menghadirkannya. Sungguh, fenomena pagar laut Tangerang menjadi bahan koreksi atas lemahnya radar “mata dan telinga” dalam menjaga kedaulatan NKRI.
Alangkah membingungkan dan memilukan pagar laut tak bertuan. Ia hadir “dipelupuk mata” pusat kekuasaan yang membungkam mulut. Meski kehadiran pagar laut tersebut telah lama hadir dan penelusuran pemiliknya telah dilakukan, namun setelah sekian lama belum mampu diketahui dan dipublikasikan. Seakan ianya hadir jatuh dari langit, lengkap dengan izin bangunan dari bumi.
Andai fenomena ini begitu gamblang terjadi, maka sangat mungkin “pagar laut-pagar laut” lain dipelosok wilayah terpencil yang tak “tersentuh radar hukum” akan atau telah muncul bergentayangan. Mungkin bukan sekedar pagar laut, tapi jutaan “excavator, pipa atau alat penyedot, dan container raksasa” ala Sangkuriang akan dihadirkan untuk mengeruk seluruh kekayaan negeri ini. Atau mungkin pula telah terjadi pulau dan laut negeri ini yang telah pindah kepemilikan yang tak lagi dikuasai negara. Tapi, mungkin ianya tak akan terlihat oleh mata dan akal sehat. Sebab, hadirnya sangat misterius dan tak mampu disentuh. Mungkin, semuanya dilakukan oleh “makhluk atau “raksasa ghaib” yang sangat sakti. Semoga tak akan ada lagi kejadian “misterius alam ghaib” yang serupa dikehidupan nyata. Atau, mungkin fenomena ini menjadi pintu pembuka bagi mengungkap kemisterian lainnya yang belum mampu terkuak oleh hukum. Entahlah….
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 27 Januari 2025