Oleh : Samsul Nizar
(Guru Besar IAIN Datuk Laksemana Bengkalis)
Suatu hari, khalifah Al-Mustanjid Billah (Abasiyah) ingin memuliakan dan meng-hormati syekh Abdul Qadir al-Jailani dengan memberikan sejumlah hadiah. Bingkisan hadiah tersebut berupa 2 (dua) kantong uang emas. Meski syekh menolak hadiah tersebut dengan cara yang santun, tapi khalifah bersikeras agar syekh ber-kenan menerima hadiah yang dibawanya. Akhirnya, syekh menerima 2 kantong uang emas tersebut, sembari meremas kedua kantong sekuat tenaganya. Begitu kantong dibuka, ternyata uang emas berubah men-jadi cairan darah yang sangat busuk.
Melihat kejadian tersebut, khalifah terkejut dan bertanya, “kenapa uang emas yang ku hadiahkan menjadi darah dan busuk ?”. Syekh menjawab, “sebab uang emas yang kau hadiahkan berasal dari keringat rakyat-mu dan diambil dengan cara yang zalim (pemerasan, korupsi, dan negosiasi)“. Men-dengar penjelasan syekh, khalifah tertun-duk malu, seraya berlalu kembali ke istana.
Keesokan harinya, khalifah kembali untuk mengunjungi syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Kali ini, khalifah membawa hadiah berupa 2 (dua) kantong apel yang sangat ranum, manis, dan harum. Awalnya, syekh kembali menolak hadiah tersebut. Tapi, khalifah bersikeras meminta agar syekh mau menerima apel yang dibawa. Akhirnya, syekh menerima dan membelah apel tersebut menjadi dua bagian. Begitu ter-belah, di dalam apel keluar kumpulan ulat yang sedang makan bagian dalam apel yang menghitam. Melihat kejadian ini, khalifah merasa heran, terkejut, dan malu. Sebab, apel yang terlihat begitu ranum ternyata berisi ulat. Melihat kejadian tersebut, khalifah terkejut dan seraya bertanya, “kenapa apel terbaik yang ku bawa berisi ulat dan busuk ?”. Syekh men-jawab, “karena apel ini disentuh oleh manusia yang kotor”. Lalu, syekh Abdul Qadir al-Jailani dengan arif dan bijaksana menjelas-kan makna dari 2 (dua) peristiwa atas 2 (dua) jenis hadiah yang telah dibawa oleh khalifah, yaitu :
Pertama, Kehidupan dunia yang diperoleh melalui cara haram bagaikan gumpalan darah dan nanah yang busuk. Untuk itu, Islam sangat melarang (haram) manusia meraih dunia (harta dan tahta) dengan cara yang tidak benar (korupsi, kolusi, tran-saksi, atau perjudian) untuk kehidupannya. Para ulama membagi hal yang diharamkan menjadi 2 (dua) kategori, yaitu : (1) zat yang diharamkan (babi, anjing, bangkai, darah, dan lainnya). (2) sifat yang diharamkan (haram secara huku. Bisa jadi sesuatu yang diperoleh zatnya halal, tetapi cara perolehannya melanggar syariat. Untuk itu, memiliki dan mengkonsumsinya pun menjadi haram. Meski Allah telah mengharamkan kedua jenis harta tersebut, namun manusia acap-kali menafikannya. Sikap ini diingatkan oleh Rasulullah ﷺ melalui sabdanya: “Sungguh akan datang kepada manusia suatu saat, yang saat itu seseorang tidak peduli lagi dari mana dia mendapatkan harta, apakah dari jalan halal ataukah yang haram” (HR. Bukhari).
Pernyataan Rasulullah di atas seakan jadi kenyataan. Prilaku yang menyasar seluruh elemen dan strata sosial. Bagai simboli-sasi “semakin besar dan rimbun pohon, semakin banyak benalunya”.
Kedua, Kondisi lahiriah uang emas dan apel yang terlihat ranum, segar, dan sempurna, layaknya kemewahan dan kekuasaan duniawi yang dinikmati oleh segelintir penguasa. Padahal, Allah telah mengingatkan melalui firman-Nya :“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya ?” (QS. al-An’am : 32).
Manusia bukan hanya suka bermain kata (sumpah palsu), bahkan mempermainkan agama dan hukum. Semua begitu ringan dilakukan, seakan tanpa kesadaran (gila).
Ketiga, Kondisi hakikat uang emas dan apel yang berubah menjadi darah busuk dan apel berisi ulat melambangkan bahwa kenikmatan duniawi, meskipun terlihat baik di permukaan, seringkali mengandung kerusakan, bahaya, atau dosa di dalamnya.
Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan dan saling berbangga-bangga di antara kamu serta berlomba-lomba dalam kekayaan dan anak pinak, seperti perumpamaan hujan yang tanamannya mengagumkan para petani ; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning, kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu” (QS. al-Hadid : 20).
Begitu jelas perumpamaan disampaikan-Nya. Media perumpamaan yang tampil nyata di depan mata. Namun, manusia membutakannya. Andai dilakukan strata bawah, dampaknya masih terbatas. Tapi, bila dilakukan strata atas, maka dampak-nya akan terasa begitu masif.
Keempat, Harta yang berasal dari korupsi, menindas, menzalimi, negosiasi, dan mem-persulit urusan sesama bagaikan darah dan nanah yang busuk atau ulat (belatung) yang mengisi akal dan hati. Untuk itu, Rasulullah ﷺ mengingatkan melalui sabdanya : “Tidaklah tumbuh daging yang berasal dari sesuatu yang haram, melain-kan neraka lebih cocok baginya” (HR. at-Tirmidzi).
Bila hadis di atas dicermati, sungguh mem-buat bulu kuduk merinding. Dampak atas dampak makanan haram yang menumbuh-kan daging dan energi. Tampil sosok yang begitu anggun, padahal totalitasnya wujud isi elemen neraka.
Kelima, Ketika amanah diperoleh dengan cara zalim akan mendorong pemiliknya berprilaku angkuh, arogan, serakah, lupa diri, dan zalim. Akibatnya, amanah hanya untuk dikhianati dan kesempatan untuk “mengeruk pundi-pundi” dan negosiasi. Padahal, Rasulullah ﷺ telah mengingat-kan : “Hadiah bagi para pemimpin adalah pengkhianatan” (HR. Ahmad).
Secara tegas, hadis di atas mengingatkan bahwa bila amanah yang diemban diguna-kan untuk mengeruk pundi-pundi, maka hal tersebut merupakan tindakan yang sangat dibenci (dilaknat) oleh Allah dan Rasul-Nya. Wujud pengkhianatan terhadap ama-nah dan sumpah yang diikrarkan. Untuk itu, pelaku dan penikmat pundi yang diper-oleh secara batil akan menanggung kon-sekuensi dosa, baik di dunia dan akhirat.
Meski ayat dan hadis begitu jelas, namun manusia acapkali tak mempedulikan ke-duanya. Tampil anggun layaknya manusia taat beragama, tapi prilaku dan hatinya justeru menginjak-injak agama. Begitu ringan bersumpah atas nama Allah, tapi realitanya menganggap diri layaknya “tuhan”. Berharap puji, tapi berprilaku keji. Asesories bak penghuni surga, tapi hati dan prilaku justeru begitu rindu neraka. Mereka telah terlena oleh tipu daya dunia dan menganggap akan kekal selamanya. Padahal, Rasulullah ﷺ telah mengingat-kan : “Jadilah engkau di dunia ini seolah-olah engkau adalah orang asing atau musafir” (HR. Bukhari).
Hadis di atas mengingatkan agar manusia tidak terikat pada dunia dan menjadikan-nya hanya sebatas tempat persinggahan. Sebab, dunia bukan tujuan, tapi sebatas media (ladang) untuk menanam kebajikan yang kelak akan dipanen di akhirat. Tapi, bila dunia dijadikan tujuan, maka akhirat akan terlupakan. Menghalalkan segala cara jadi senjata, menjual agama sudah biasa, “menabur pundi” hiasan negosiasi, sumpah sebatas sampah, dan harga diri tak lagi mempu dimiliki.
Melalui kisah karamah di atas, syekh Abdul Qadir al-Jailani memberikan pelajaran pen-ting kepada khalifah dan murid-muridnya tentang hakikat dunia yang fana dan penuh tipu daya. Manusia acapkali tampil mewah dengan tumpukan harta dan begitu mengesankan secara lahiriyah, tapi busuk didalamnya. Teguran lembut dari sosok wali Allah, tapi membuat khalifah sadar akan kelalaian dan kesalahannya. Khalifah sadar bahwa jabatan dan kekayaan tak ada artinya tanpa kesucian hati. Bagaikan uang emas yang gemerlap dan apel yang ranum di luar, tapi hakikatnya hanya berisi nanah yang busuk dan ulat dari neraka jahanam. Khalifah akhirnya sadar dan insaf atas kesalahan yang dilakukannya selama ini. Sayangnya, kisah ini tak membuat manusia akhir zaman menyadari dan mengambil pelajaran untuk berubah. Justeru dinamika menunjukan manusia seakan “menantang Allah dan Rasul-Nya”. Mengimani secara lahir, tapi mengingkari secara hakiki.
Bila ayat Allah tak mampu menggetarkan iman (QS. al-Anfal : 2), rahmat Allah tak lagi diharapkan, murka Allah justeru jadi kerinduan, sabda Rasulullah tak jadi pedo-man, kisah para nabi dan auliya’ sebatas obrolan, serta nasehat kebenaran tak lagi didengarkan dan mampu menyadarkan. Jika demikian, manusia sedang berharap azab Allah agar segera diturunkan. Sebab, kezaliman jadi pilihan, sosok Fir’aun dan Abu Lahab jadi tauladan, melanggar aturan jadi kebiasaan, serta siksa neraka jadi harapan, na’uzubillah min zaalik.
Mungkin semua fenomena yang terjadi merupakan tanda akhir zaman (awal kiamat). Nasehat dinilai kebencian dan agama sebatas area “perlindungan” me-nutupi kejahatan. Melegalkan kemungkar-an melalui “jubah” kebesaran dan tampilan kemunafikan yang menghipnotis. Anehnya, semua elemen terdiam dan membisu tanpa peduli. Teriakan idealis sebatas lipstik untuk menutupi karakter diri yang berkudis. Menutup kudis yang menganga perlu “perban pundi” dan “tebal muka“. Bila ada perban, kudis bisa “diamankan”. Saat-nya, Allah pasti membuka “kudis bernanah” tanpa mampu ditutupi (QS. an-Nur : 24). Manusia lupa, meski “pundi” bisa membeli dunia dan membungkam kebenar-an, tapi tak mampu menipu Allah. Munajat hamba yang terzalimi akan mengetuk pintu pengadilan Allah yang tak bisa “dibeli” dengan retorika kemunafikan. Demikian Allah SWT menganugerahkan “senjata” ampuh kepada hamba yang istiqomah dengan risalah-Nya.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 8 Desember 2025


