Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar IAIN Datuk Laksemana Bengkalis
Melalui buku World Without Mind : The Existential Threat of Big Tech (2017), Franklin Foer “menampar” keras manusia era euforia digital. Foer bukan sekadar mengkritik dominasi raksasa teknologi (Google, Facebook, Amazon, dan lainnya), tapi membuka rahasia jahat perusahaan tersebut yang secara perlahan mengambil alih cara manusia berpikir, memilih, dan memutuskan. Mereka tidak hanya sekedar mengontrol pasar, tetapi juga mengontrol otak dan kesadaran manusia. Akibatnya, teknologi tidak hanya mengatur hidup manusia secara praktis, tetapi juga mengancam kebebasan berpikir dan hilangnya nilai-nilai kemanusiaan. Dalam bahasa yang lebih tajam, Foer mengingat-kan akan lahirnya era “dunia tanpa otak”. Era ketika manusia berhenti menggunakan akal dan hatinya dengan menyerahkan semua urusan pada kuasa algoritma. Sebab, algoritma tidak hanya sebatas alat, tetapi “penjaga gerbang” semua informasi (urusan) dan cara melihat dunia. Akibat-nya, manusia sangat tergantung dan ter-belenggu oleh algoritma yang diciptakan.
Melalui buku tersebut, penulis menyebut-kan ada beberapa gejala yang membuat kenapa manusia tidak cerdas, yaitu :
(1) virality virus ; dorongan untuk terkenal dan viral. Semua yang dilakukan selalu diabadi- kan menjadi konten yang mengisi media sosial. Katakter manusia yang diserang oleh virality virus sedang menderita sindrom narcissism epidemic (penyakit narsisme). Tak lagi tersisa ruang privasi. Semua begitu bangga mempublikasikan setiap kegiatan personal atau kolektif, bajkan vertikal atau horizontal. Padahal, Allah sangat mencela prilaku manusia yang menyombongkan diri. Hal ini dinukil-kan melalui firman-Nya :“Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. Lukman : 18).
Padahal, apa yang dipublikasi menyangkut kehormatan dirinya. Hal ini diingatkan Rasulullah melalui sabdanya : “Barang-siapa yang berusaha menjaga kehormatan-nya, maka Allah akan menjaga kehormat-annya, dan barang siapa yang merasa cukup maka Allah akan memberikan kecukupan” (HR. Bukhari).
(2) manusia telah dikuasai IT dan AI. Hal ini berakibat manusia terjajah dan “kecan-duan” yang tak lagi mampu melepaskanya.
(3) mengejar trend “latah” dan instan tanpa peduli proses dan memahami akar utama. Khawatir dianggap terkebelakang, padahal justeru memperlihatkan keterbelakangan.
Sebagai seorang jurnalis dan editor The New Republic, Foer menulis buku ini sebagai bentuk pembelaan terhadap kekuatan akal, rasionalitas, dan kebebasan intelektual yang sedang dirampas oleh logika algoritma dan “kuasa” digital. Tanpa disadari, semua merupakan bentuk kolonialisasi atas cara berpikir dan akses terhadap informasi. Untuk itu, ia menyeru-kan perlawanan terhadap algoritma dan mengembalikan ruh humanisme yang menjunjung tinggi kebebasan berpikir, diskusi terbuka, dan pendidikan yang membebaskan. Sebab, setiap manusia harus mendapatkan kembali nilai esensi otak sebagai media penyaring utama.
Melalui buku ini, Foer menyerukan agar manusia kembali pada nilai esensinya dan tidak menyerahkan sepenuhnya proses berpikir kepada mesin dan algoritma. Hanya dengan mempertahankan otonomi berpikir dan kebebasan intelektual, manusia akan mengendalikan peradaban, bukan dikendalikan oleh peradaban (logika pasar teknologi). Ada beberapa langkah yang perlu dilakukan, antara lain :
Pertama, Hidupkan kembali literasi, bukan –sekedar– google (isasi). Dalam Islam, wahyu pertama (QS. al-‘Alaq : 1-5) tegas menekankan pentingnya membaca dengan akal dan hati, bukan “menyadur”. Bahkan, al-Quran mengulang kata akal sebanyak 49 kali. Hal ini menandakan bahwa eksistensi kesem-purnaan manusia terletak pada potensi akalnya. Hal ini merujuk pada firman-Nya : “… Kami lebihkan mereka atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna” (QS. al-Isra’ :70).
Sungguh, melalui IT, manusia begitu mudah menjelajah dunia ilmu pengetahu-an. Secara tak langsung, eksistensi sosok pendidik menjadi renggang. Akibatnya, pen-carian ilmu “tanpa penjelasan” kemanusia-an (guru). Fenomena ini terasa begitu nyata. Padahal, cara ini merupakan langkah tercela. Hal ini dinyataka Imam Abu Yazid Al-Busthami (wafat 874 M), bahwa “Barang siapa yang tidak mem-punyai guru, maka gurunya adalah setan.”
Ungkapan di atas mengingatkan, ketika belajar tanpa bimbingan dari para ulama (guru), maka seseorang akan tersesat dalam memahami apa yang dipelajari dan berpotensi menyesatkan orang lain.
Dalam kitab Hilya Tholibil ‘Ilmy, Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid menjelaskan alasan seseorang perlu belajar dari guru, yaitu : guru ibarat jalan pintas, ilmunya cepat dipahami, dan adanya ikatan antara penuntut ilmu dengan guru. Alasan ter-sebut bukan hanya terjadi transformasi ilmu, tapi berikut penanaman akhlak. Hal ini tak diperoleh bila belajar melalui IT. Dalam pepatah Arab disebutkan, “Barang-siapa yang masuk dalam ilmu sendirian, maka ia akan keluar sendirian.” (tanpa sosok guru, penuntut ilmu tidak akan mendapatkan apa-apa dan keluar dengan tangan kosong).
Kedua, Gunakan otak dan hati sebagai kendali dalam menggunakan IT, bukan sebaliknya. Sebab, otak yang menciptakan dan mengatur IT, bukan sebaliknya. Untuk itu, manusia perlu berfikir cerdas agar otak tak terjajah atau dijajah oleh IT. Manusia pilihan akan menggunakan akal dan hati. Sementara manusia picisan hanya meng-gunakan nafsu belaka.
Sungguh, para filosuf merupakan contoh hamba pilihan yang dianugerahkan hikmah-Nya tentang kebenaran. Hal ini sesuai firman-Nya : “Dia (Allah) memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat”. Ayat ini menegaskan bahwa akal adalah kunci untuk memahami hikmah dan pelajaran dari al-Quran dan alam semesta” (QS. al-Baqarah 269).
Ketiga, meski IT menawarkan kecepatan, kemudahan, dan kenyamanan, tapi tanpa nilai kemanusiaan. IT begitu “memanjakan” manusia tanpa mendorong pengguna berfikir cerdas. Di era digital, manusia sangat bergantung “kuasa IT”. Hampir tak sedetik pun manusia bisa jauh dari IT. Ketergantungan yang begitu masif dan mengkhawatirkan. Akibatnya, nilai kemanusiaan menjadi tergerus. Padahal, nilai kemanusiaan adalah prinsip asasi yang menempatkan harkat dan martabat setiap individu pada posisi mulia dan utama. Dalam Islam, nilai ini tercermin dalam QS. al-Isra’ : 70 ; QS. al-Syu’ara : 114 ; dan QS. at-Tin : 4 yang jelas menegaskan kemuliaan dan urgensi memuliakan manusia sebagai makhluk sempurna.
Sungguh, manusia sangat terbantu dengan IT, namun bukan terjajah oleh IT. Manusia –terutama generasi penerus– harus keluar dari “cengkeraman pengaruh IT” untuk me-miliki kemerdekaan mengembangkan ke-cerdasan akal dan hatinya. Untuk itu, perlu “ruang yang memerdekakan nilai asasi ke-manusiaan yang hakiki. Di sini akan jelas terlihat perbedaan kualitas antara manusia yang benar berilmu dan manusia sekedar berilmu. Hal ini dinukilkan Allah melalui firman-Nya : “…Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran” (QS. az-Zumar : 9).
Melalui ayat di atas, terlihat jelas perbeda-an antara orang yang benar berilmu dan berilmu benar (hakiki) dengan orang yang sekedar berilmu (asesories) dan meraih ilmu dengan cara yang batil (salah). Sebab, orang yang benar berilmu dan berilmu benar memiliki pemahaman mendalam tentang agama dan dunia, serta meng-amalkan ilmunya dalam kehidupan. Sebaliknya, orang yang sekedar berilmu tanpa pemahaman cukup tentang agama dan dunia hanya sekedar mengedepankan asesories. Padahal, ia tak mampu mengamalkan ajaran agama dan ilmu yang “konon” dimilikinya.
Keempat, IT ruang informasi tanpa batas. Dunia terasa begitu kecil. Semua informasi begitu cepat diperoleh tanpa “beranjak” dari tempat duduk. Untuk itu, diperlukan kearifan dannkecerdasan sebagai alat memfilter semua informasi yang diterima. Ada berita yang benar, tapi tak sedikit informasi hoax yang penuh rekayasa. Berita hoax tak selamanya hadir dari “kebencian” (fitnah), tapi acapkali “adanya pesanan” dengan tumpukan materi menggiurkan. Ia akan memandulkan “mata pena”. Akibatnya, berbagai kesalahan begitu mudah “diatur” dari pemberitaan.
Namun, kebenaran tak pernah mampu di-tutupi. Pasti masih tersisa manusia yang memiliki akal sehat dan hati nurani. Pem-beritaan kebenaran tetap akan menyeruak meski ditutupi. Ia bagai bangkai yang tak mampu ditutupi selembar daun pisang.
Kelima, IT sebatas media yang menunjang peradaban (bebas nilai). Semua sangat tergantung pada kualitas akal dan hati setiap yang menggunakannya. Bagi manusia tanpa akal dan hati, kebenaran menjadi kesalahan. Sebaliknya, pelaku kesalahan dinilai benar dan dimuliakan. Hanya manusia memiliki potensi akal dan kesucian hati yang mampu membangun peradaban yang beradab. Ketika hal ini terjadi, maka dunia akan dibangun dengan “otak dan hati”. Namun, bila manusia beradab tak lagi dijadikan rujukan dan disingkirkan, maka tampil “dunia tanpa akal (otak) dan hati”. Akibatnya, semua hanya mengejar nafsu dan kesenangan semata. Ketika kondisi ini yang dipilih, maka kehancuran seluruh sisi kehidupan tak lagi bisa dibendung. Sebab, ia telah memilih hidup tanpa akal cerdas dan hati yang suci. Semua pilihan pasti akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah, baik ketika di dunia apatahlagi di akhirat.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 14 Juli 2025