Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Ketika mendengar petikan lirik lagu berjudul “Cicak di Dinding” yang diciptakan oleh Abdullah Totong (AT) Mahmud, tersentak ingatan semasa kecil. Syair lagu yang selalu didendangkan –hampir– setiap ibu menghantarkan tidur anaknya. Lagu ini pula selanjutnya didendangkan kembali secara utuh ketika kita memiliki anak. Demikian (mungkin) selanjutnya pada generasi mendatang. Lagu lintas generasi karya AT. Mahmud seakan menampilkan sejuta pesan melalui cicak dan nyamuk. Meski tak mampu menyibak maksud lagu tersebut, namun (mungkin) ada beberapa pelajaran atas cicak dan nyamuk yang bisa dipetik, antara lain :
Pertama, Rezeki setiap makhluk dijamin oleh Allah. Semua kebutuhan makhluk dijamin sesuai kadar dan kebutuhannya. Tentu ukuran terbaik menurut Allah, bukan ukuran manusia yang terkadang dipengaruhi nafsu. Sebab. Hal ini dinyatakan Allah dalam firman-Nya : “Dan tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)” (QS. Hud : 6).
Sungguh ayat di atas menjelaskan bahwa semua binatang melata yang hidup di bumi (merayap, merangkak, terbang, berenang, atau berjalan), semuanya dijamin rezekinya oleh Allah. Melalui kuasa-Nya, semua binatang diberi naluri dan kemampuan untuk mencari rezekinya sesuai dengan fitrah kejadiannya. Kesemuanya diatur Allah dengan kebijaksanaan-Nya agar terjadi keserasian dan keseimbangan. Jika tidak diatur sedemikian rupa, mungkin pada suatu saat ada binatang yang berkembang-biak terlalu cepat atau hilang dan punah. Akibatnya, perkembangan populasi atau kepunahannya akan mengancam kelangsungan hidup seluruh isi alam, termasuk manusia. Kondisi ini akan mengganggu keseimbangan lingkungan dan terjadi ketidakharmonisan alam semesta. Demikian pula halnya dengan spesies cicak dan nyamuk.
Meski dalam diamnya, seekor cicak berusaha menjemput rezekinya. Dengan potensi yang dimiliki, ia manfaatkan kelemahan lawan yang datang menghampiri. Ikhtiarnya memang tak terindikasi, tapi mampu membuat mangsa tak menyadari perangkap yang mengintainya. Sementara nyamuk lebih mudah terindikasi atas usahanya mencari rezeki. Dengan gesit dan kelincahannya, ia terbang mencari rezeki dan hinggap bila rezeki telah didapatkan. Namun, nyaringnya suara membuat ia tak mampu menutupi kehadirannya. Rasa sakit ketika nyamuk menghisap darah membuat lawan melakukan perlawanan (reaksi). Tak sedikit akibat nyaringnya suara dan gigitannya tersebut, keberadaan nyamuk mudah diketahui dan menyebabkan mudah terbunuh.
Demikian bervariasinya setiap makhluk menjemput rezeki yang disediakan Allah. Semua hadir tanpa berpangku tangan, apalagi mengemis meminta-minta. Semua menjemput rezeki Allah dengan cara masing-masing dengan aktif, keyakinan yang kuat, usaha tanpa putus asa, sembari bermunajat pada Sang Pencipta melalui caranya. Demikian Allah sampaikan dalam QS. al-Isra’ : 44.
Kedua, Kewaspadaan hidup. Jangan remehkan cicak yang seakan tanpa daya. Terkadang, sosok pendiam dan dipandang remeh sebenarnya tersembunyi kemampuan yang dasyat. Sementara jangan jumawa bagai nyamuk yang mampu terbang kemana-mana, bersuara nyaring memekakkan telinga, namun kejumawaan yang berakibat tak memiliki kewaspadaan. Nyamuk mudah diperdaya dan dimangsa oleh seekor cicak yang dipandang tak berdaya dan diam tak bergerak.
Bila dilihat perspektif tasauf atas sosok cicak dan nyamuk, terdapat pesan bahwa dalam diam ada gerak. Dalam gerak ada fikir dan zikir. Dalam fikir dan zikir terbangun rencana matang sesuai aturan Allah. Dalam kematangan rencana dan sesuai aturan Allah akan menghasilkan tujuan yang maksimal tanpa penyimpangan. Berbeda bila sebaliknya. Meski nyaring suara tapi tak berbuat apa-apa. Hanya mengandalkan “kenyaringan” tanpa mewaspadaan dalam berbuat. Bila pun ia berbuat acapkali tanpa fikir apatahlagi zikir. Bila berfikir tanpa rencana matang dan lepas kontrol zikir, maka akan menghasilkan perencanaan dadakan (tak matang) yang berpeluang melanggar aturan dan memetik buah kegagalan .
Apalagi tradisi sibuk “membongkar aib” sesama menjadi profesi dan kebiasaan, acapkali lupa pada “bongkahan aib” sendiri yang menggunung bak bangkai busuk. Semua yang terjadi merupakan setitik ayat yang diperlihatkan Allah atas apa yang dilakukan sebelumnha, selama ini atau masa akan datang. Jangan merasa suci dengan melihat orang lain kotor. Sebab, bila Allah membuka aib semua diri, maka tak akan sanggup untuk berkaca melihat diri. Waspadalah, bila membuka aib sesama karena Allah, maka Allah yang akan menutup aib kita. Tapi, bila membuka aib sesama karena pundi-pundi dan kepentingan “politik belah bambu”, maka Allah akan buka aib kita yang ternyata lebih parah dan berulat belatung. Kewaspadaan akan membuat kehati-hatian dan keselamatan. Sedangkan hilangnya kewaspadaan dan mawas diri akan membuat prilaku arogan yang mencelakakan diri sendiri.
Ketiga, Cicak memangsa nyamuk dan serangga lainnya, tapi tak pernah memangsa sesamanya. Demikian pula nyamuk, menghisap darah makhluk lain, namun tak pernah menghisap darah sesama nyamuk. Sungguh, meski cicak dan nyamuk tampil sebagai makhluk tanpa peradaban, namun memiliki adab pada sesama (sejenis) dalam kehidupannya. Bila pun ada, hanya pertengkaran dan perkelahian, tapi tak sampai saling “memakan” dan “menghisap”. Pandangan berbeda dengan segelintir fenomena manusia, semua disantap dan dimangsa, bahkan sesamanya pun ikut dijadikan sasaran untuk “dihisap” dengan keserakahannya sampai ketulang belulang tanpa tersisa. Bukan sebatas menganiaya, tapi “menghisap (darah) dan memakan” apa yang ada, tanpa peduli sejenis atau tak sejenis. Semua disikat habis untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Memang manusia diciptakan sebagai makhluk berperadaban, tapi pada segelitirnya tipis nilai adab pada sesamanya. Hal ini setidaknya bisa dilihat pada 2 (dua) kenyataan tipologi, yaitu : (1) type lahiriah ; adanya manusia kanibal (kanibalisme) yang suka memakan daging sesama manusia. (2) type sifat (batiniyah) ; adanya segelintir yang senang memangsa sesama dengan mematikan karakter, “memenjarakan” masa depan, atau merampok rezeki sesama. Agar tujuannya tercapai, maka dilakukan berbagai upaya prilaku destruktif, antara lain penyebaran fitnah (lisan atau media sosial), berprilaku munafik dan sosok “penjilat”, melakukan intimidasi, arogansi, kokohnya bangunan nafsu iri dan dengki (berawal kebencian), atau jenis lainnya yang bertujuan menghambat (mematikan) “lawan” agar tujuan destruktifnya berhasil digapai.
Keempat, Cicak memakan mangsanya dan nyamuk menghisap darah sesuai kebutuhan. Ia tak pernah memakan sesuatu yang melebihi kebutuhan. Bila apa yang dibutuhkan terpenuhi, ia akan mencukupkan apa yang dimakan. Sementara yang dilakukan segelintir manusia justeru melampaui apa yang dibutuhkan. Bahkan agar tercapai yang dituju, manusia rela “digembala” oleh keinginan agar sibuk mencari, mengejar, dan menginginkan lebih dari yang dimiliki, bahkan untuk sesuatu di luar kebutuhan dan haknya. Terjadi penumpukan “sesuatu” di luar kebutuhan, bila perlu seluruh isi alam untuk bisa dinikmati 70 generasi sesudahnya. Tak peduli apakah manusia lain menderita dan sengsara akibat “penumpukan” (kerakusan) yang dilakukan. Ketika apa yang diinginkan tercapai, manusia justeru lupa bersyukur kepada Allah dan berbagi dengan sesama, namun justeru semakin lupa diri. Keserakahan yang melampaui batas kebutuhan dan kemampuan serap diri mengantarkan manusia menjadi makhluk serakah dan zalim. Hal ini digambarkan oleh Rasulullah melalui sabdanya : “Seandainya manusia diberi satu lembah penuh dengan emas, ia tentu ingin lagi yang kedua. Jika ia diberi yang kedua, ia ingin lagi yang ketiga. Tidak ada yang bisa menghalangi isi perutnya selain tanah. Dan Allah Maha Penerima tobat siapa saja yang mau bertobat” (HR. al-Bukhari).
Menjadi kaya bukanlah dosa, tapi anjuran dan tuntutan kekhalifahan. Memenuhi kebutuhan bagian sifat kemanusiaan. Tapi memaksa meraih sesuatu jauh di luar hak dan kebutuhan, acapkali membuatnya tergelincir dari jalan kebenaran.
Kelima, hadirnya cicak dan nyamuk disebabkan lingkungan yang kotor. Bila lingkungan bersih, cicak dan nyamuk sulit ditemukan. Hadirnya sifat destruktif cicak dan nyamuk akan muncul bila lingkungan hidup yang kotor atau dikotori. Sementara sifat konstruktif hadir bila lingkungan hidup bersih, baik lahiriyah maupun bathiniyah. Hal ini dinukilkan Allah melalui firman-Nya : “…Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (QS. al-Baqarah : 222).
Demikian jelas ayat di atas. Manusia diingatkan untuk berupaya ekstra memastikan tetap bersih dan suci. Sebab, pilihan hidup bersih atau kotor merupakan cerminan kualitas keimanan seorang hamba-Nya.
Keenam, Cicak dan nyamuk merupakan jenis makhluk Allah yang haram untuk dimakan karena kotornya zahir dan makanan yang dimakan. Ketika yang haram dan kotor masih menyisakan sedikit kebaikan, kenapa manusia yang diberikan dalam “kesempurnaan” justeru tak mampu berbuat kebajikan pada sesama. Jangan sampai kegundahan malaikat yang dinukilkan Allah dalam Q.S. al-Baqarah : 30, lalu “diamini” cicak dan nyamuk yang ikut memperkuat kekhawatiran malaikat tersebut. Meski Allah menjawab kekhawatiran malaikat dengan kata “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui” (QS al-Baqarah : 30).
Ayat di atas menceritakan keterbatasan pengetahuan malaikat (demikian pula semua makhluk). Keterbatasan tersebut merupakan sifat kemakhlukan yang acapkali tak mampu menjawab skenario Allah. Namun secara realita, terdapat segelintir manusia terkadang melampaui sifat cicak dan nyamuk. Pilihan lingkungan diciptakan bagai istana bersih di luar, namun kotor di dalam. Ketika cicak dan nyamuk tak pernah memakan sesamanya, namun manusia (terkadang) tega saling membunuh (pembunuhan fisik, karakter, dan masa depan), bahkan memakan sesamanya (melampaui kaum kanibal yang kejam). Semua terjadi terkadang dipicu persoalan sepele dan sulit diterima akal sehat. Tapi pemicu hal sepele tersebut acapkali dijadikan alasan (subyektif diri atau “titipan” untuk dihancurkan) oleh pemilik “akal yang sakit”. Sakitnya akal yang lebih dahulu didera penyakit hati yang kronis dan akut. Fenomena ini bukan berarti pembenaran atas kekhawatiran malaikat. Namun, disebabkan manusia tak lagi menggunakan petunjuk Allah (ayat tertulis dan terbentang, akal, hati, dan pancaindera) secara benar. Keingkaran manusia atas petunjuk Allah berakibat tergelincirnya manusia dari tujuan penciptaan (QS. adz-Dzariyat : 56) yang seyogyanya dipedomani.
Sungguh, eksisitensi cicak dan nyamuk mengandung sejuta pelajaran bagi renungan manusia pemilik potensi ulul al-baab. Apatah lagi “rahasia-Nya” dalam setiap ciptaan yang belum sanggup diungkap hikmahnya oleh manusia. Mampukah kita memetik hikmah positif yang dimaksud melalui cicak dan nyamuk dan mengamalkannya ? Hanya diri yang qalbun salim dan Allah pemilik kesempurnaan yang lebih tau.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 5 September 2022