Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Sungguh seisi alam senantiasa berbicara setiap saat dengan manusia. Namun, manusia tak mampu memahaminya. Sebab, mata zahir dan mata batin, serta telinga zahir dan telinga batin manusia acapkali terbelenggu tak mampu berkomunikasi untuk mendengar semua pesan alam dengan bijak. Di antara makhluk alam yang sedang berbicara adalah pepohonan.
Bagi masyarakat pedesaan, semua sangat familiar dan sering berinteraksi dengan beraneka macam pohon. Apa pun varian pohonnya, besar atau kecil, berbuah atau hanya mengandalkan dedaun yang rimbun, dan lain sebagainya. Semua merupakan fenomena biasa-biasa saja. Berbeda dengan masyarakat perkotaan (kota besar) merindukan hadirnya pepohonan yang menawarkan keindahan dan kesejukan. Apatahlagi, pepohanan yang menawarkan aneka buah yang manis, ranum, keindahan warna, atau aroma yang semerbak mewangi. Meski harus mengeluarkan biaya, waktu, dan tenaga untuk mengunjungi wilayah yang menghadirkan pepohonan menghijau, semua dilakukan untuk menikmati suasana sejuk nan indah. Tak sedikit pula biaya rela dikeluarkan untuk memiliki pohon yang disenangi dan digandrungi. Namun, semua sebatas menikmati keindahan, kesejukan, atau buah yang dihasilkan oleh pohon. Sementara pelajaran dari sebatang pohon tak sempat untuk menjadi objek kajian memperbaiki diri. Padahal Allah telah berfirman atas keistimewaan pohon (varian tumbuh-tumbuhan), yaitu :
“Dan Dialah yang menurunkan air dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang kurma, mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya pada waktu berbuah, dan menjadi masak. Sungguh, pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman” (QS. al-An’am : 99).
Sungguh nyata kebenaran firman Allah yang menjelaskan banyak i’tibar ditampilkan melalui sebatang pohon (tumbuh-tumbuhan) untuk manusia fikirkan. Adapun i’tibar pohon sebagai renungan kehidupan dapat dilihat dari berbagai aspek, antara lain :
Pertama, Pohon yang lurus tinggi menjulang selalu menjadi pilihan utama untuk ditebang (dipotong). Padahal, hanya pohon lurus tinggi memiliki cita-cita tinggi menjulang yang mampu menembus awan, memiliki mimpi menggapai bintang di langit. Demikian gambaran pilihan kehidupan manusia akhir zaman. Sosok manusia lurus pemilik kejujuran, berilmu, berprestasi menggapai langit, atau taat aturan dianggap aneh, patut dicurigai, dan perlu dipotong. Padahal, sosok ini merupakan pemilik mimpi dan upaya menggapai cita-cita peradaban manusa yang bermartabat luhur. Sebab, hanya pohon lurus menjulang tinggi yang mampu berkomunikasi dengan “peradaban langit” dan mampu mengevaluasi kualitas “peradaban bumi”.
Namun, karena pohon lurus menjadi pilihan utama untuk ditebang, maka yang tersisa pepohonan bengkok nan tumbuh subur terbiar dengan rindangnya. Meski tak mampu menjulang menembus awan, rantingnya nan tak beraturan terkadang menusuk mata, tapi pohon bengkok lebih disenangi, dibiarkan, dan diabadikan banyak orang. Demikian i’tibar pada manusia. Tipikal manusia jujur, idealis, kaya ide inovasi, mendahulukan kualitas sebagai acuan, kualitas prestasi sebagai indikasi, dan memegang amanah bak pohon tinggi menjulang menebus awan, namun acapkali menjadi sasaran untuk dilumpuhkan. Sosok tipikal ini kurang disenangi dan selalu dicurigai. Posisinya tak bisa diajak negosiasi melanggar hukum, apalagi diajak menjadi pemain kecurangan. Kehadirannya dianggap ancaman yang membahayakan. Untuk itu, tipikal ini perlu “ditebang” –dengan berbagai cara–, jika perlu sampai keakarnya.
Sementara tipikal pendusta, pintar bersilat lidah, piawai menjilat dan bermain kata, pintar membuat skenario dusta, serta pandai bersandiwara penuh muslihat bak pohon yang bengkok dan bercabang menjadi pilihan utama yang disenangi, bahkan dipupuk agar subur. Sebab, dahannya dianggap bisa menjadi tempat bergantung (mencapai hasrat diri) dan kerimbunan daunnya dijadikan tempat berlindung dari terpaan sinar matahari. Untuk itu, pohon bengkok atau sengaja dibengkokkan (bonsai) selalu “dijaga” dan ditempatkan pada tempat yang mulia. Padahal, tipikal ini sangat berbahaya, dihindari, dan diwaspadai. Hal ini sesuai sabda Rasulullah SAW : “Mendekati kiamat akan muncul para pendusta. Maka, berhati-hatilah terhadap mereka.” (HR Muslim).
Dalam Riwayat yang lain Nabi berpesan: “Sesungguhnya akan datang kepada manusia tahun-tahun penuh tipu daya. Para pendusta dipercaya, sedangkan orang jujur dianggap berdusta. Penghianat diberi amanah, sedangkan orang yang amanat dituduh khianat. Pada saat itu, para Ruwaibidhah mulai angkat bicara.” Lalu, sahabat bertanya kepada Rasulullah: “Siapa itu Ruwaibidhah?’ Beliau menjawab, “Orang dungu yang berbicara tentang urusan orang banyak (umat)” (HR. Ahmad).
Pohon yang bengkok akan dibiarkan, dipelihara atau dirawat, dan tak ditebang. Bahkan semakin banyak pohon bengkok yang dipupuk agar semakin rindang dan tetap terjaga bengkoknya. Jika perlu, beberapa dahan sengaja dibengkokkan agar terkesan bagus. Pohon seperti ini akan semakin diabadikan untuk hiasan dan rela dibeli dengan harga tinggi dengan pertimbangan keunikan, keindahan, dan beberapa di antaranya dijadikan dengan alasan sebagai paru-paru kota. Sungguh beruntung pohon bengkok dan nestapa pohon yang lurus. Sebuah gambaran kehidupan manusia. Ketika menjadi sosok lurus dan amanah akan terkucilkan, kalah oleh sosok penuh tipu muslihat yang tampil bagai pelindung, namun realitanya bagai “vampir” penghisap darah pada film klasik. Bukan sebatas penghisap darah, tapi menjadikan mangsa yang dihisap menjadi “vampir” baru yang bergentanyangan tumbuh dan berkembang biak.
Kedua, Silahkan menjadi pohon lurus, tapi jangan lupa untuk memiliki cabang dan ranting (meski sedikit). Lurusnya pohon menunjukkan ketulusan, mimpi yang menembus awan, dan kokohnya akar wujud amanah diri sebagai “makhluk bumi”. Sementara dahan dan ranting melambangkan kewaspadaan atas lurusnya diri terhadap bahaya yang mengancam. Dahan dan ranting pohon tinggi sangat bermanfaat ketika berinteraksi dengan sesama makhluk. Terlalu baik pada semua orang bisa menimbulkan bahaya. Demikian pula sebaliknya, berbuat terlalu zalim akan membawa nestapa bagi sesama. Bahkan, acapkali kezhaliman berakibat munculnya phobia atas diri, sehingga menganggap semua manusia sama dengan tabiat dirinya. Akibatnya, muncul penilaian yang akan menimbulkan interaksi yang tidak harmonis. Bagai seekor anjing rakus tak ingin berbagi dengan sesama sedang berkaca pada “kaca retak seribu” yang berefek menimbulkan banyak pantulan. Ia dapati gambaran pada kaca pantulan dirinya ada anjing-anjing lain. Ia lihat anjing-anjing lain semua sedang menggigit tulang. Ia khawatir anjing-anjing tersebut ancaman yang akan merebut tulang yang sedang digigitnya. Pada saat yang sama, muncul kerakusan dirinya. Ia ingin mendapatkan semua tulang-tulang dimulut anjing-anjing ,(pantulan dirinya) tersebut untuk dimilikinya. Lalu, ia serang pantulan dirinya dengan ganas dan beringas. Akibatnya, kaca hancur dan ia terluka parah oleh pecahan kaca yang menusuk sekujur tubuhnya. Demikian perumpamaan yang tertulis dalam buku cerita fiksi tempo dulu yang sulit ditemukan menjadi bacaan penghantar tidur saat ini.
Sebuah i’tibar memperbaiki diri untuk meminimalkan kerakusan dan ketika menilai sesama. Untuk itu, manusia harus bijak memilih pada siapa harus berbuat baik dan kepada siapa harus ditolak dengan cara yang baik. Lihat firman Allah : “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri” (QS. al-Isra’ : 7).
Imam ar-Razi dalam kitab tafsir Mafatihaul Ghaib menafsirkan ayat di atas bahwa manusia yang melakukan kebaikan akan dibukakan pintu-pintu keberkahan oleh Allah. Sebaliknya, bila seseorang berbuat kejahatan, maka Allah akan membuka pintu-pintu keburukan lainnya. Kesemua akan dipanen di akhirat kelak.
Ketiga, Kebaikan atau keburukan tergantung benih, tanah, pupuk, dan lingkungan tanaman yang ditanam. Kebaikan atau kejahatan bagai sebatang pohon, tergantung jenis dan kualitas pohon yang ditanam. Setiap tanaman akan berbuah sesuai kualitas bibit yang ditanam, tanah, dan iklim yang mempengaruhi tanaman. Demikian halnya manusia. Bibit, bebet, dan bobot diperlukan. Namun, lingkungan terjalinnya interaksi sosial perlu pula diperhatikan. Ketika diri tak mampu membawa kebaikan dan mempengaruhi kebaikan pada sesama, maka minimal diri tak terpengaruh pada lingkungan yang bertentangan dengan agama.
Keempat, Setiap buah meski pada tanaman yang sama menghasilkan kualitas buah yang berbeda. Analogi pohon kelapa. Pada pohon dan tandan yang sama menghasilkan buah yang berbeda-beda. Ada yang bagus semua, ada yang busuk dan jatuh sebelum waktunya, ada yang tak berisi sama sekali, meski tetap memakai atribut kelapa dengan sebutan buah kelapa. Demikian manusia. Kebaikan secara teori berasal dari rumpun keluarga yang baik. Namun, keluarga yang baik belum tentu menghasilkan keturunan yang sama baiknya. Semua tergantung pada diri dan ketetapan Allah atas diri. Ali bin Abi Thalib RA mengungkapkan : “Sesungguhnya pemuda itu ialah yang berani berkata inilah diriku, dan bukanlah pemuda itu yang berkata inilah ayahku”.
Kelima, Pohon memberi sejuta manfaat, baik tatkala masih hidup maupun ketika ia mati kering tak lagi berdaun. Ketika sebatang pohon masih hidup, ia tawarkan –pada makhluk– perlindungan untuk tempat berteduh dari sengatan matahari atau derasnya hujan membasahi bumi. Akarnya menghunjam kedasar tanah agar tak tergoyahkan oleh terpaan angin. Bahkan, melalui akarnya, ia hisap air agar tak berakibat banjir. Ia berikan oksigen yang dihasilkan untuk menopang hidup makhluk lainnya. Setiap rantingnya menjadi tempat bercengkerama burung-burung bernyanyi bahagia. Buah yang dimiliki bermanfaat bagi semua. Bahkan, ketika ia mati, pohon tetap memberi kebahagian pada manusia. Batangnya dijadikan berbagai perabot dan komponen rumah untuk didiami manusia. Rantingnya ia abadikan untuk bahan bakar memasak kebutuhan manusia. Demikian keberkahan yang diberikan pohon pada manusia dan makhluk lainnya. Sungguh malu berkaca dengan sebatang pohon (terutama pohon yang lurus). Tumbuhnya mampu memberikan sejuta manfaat. Sementara manusia hadir tak jarang hanya mampu menyebarkan mudharat atau kesedihan pada sesama dan alam semesta.
Meski pohon lurus acapkali ditebang, tapi hanya pohon lurus yang berpeluang tumbuh tinggi dan mampu menyentuh “langit Allah”. Hanya pohon lurus yang mampu berinteraksi dengan “komunitas langit (makhluk tingkat atas)”, tanpa lupa akar rumput asalnya tumbuh dengan sejuta manfaat pada bumi. Sementara, meski pohon bengkok terkesan dibiarkan tumbuh di mana-mana, namun ia tak pernah mampu menyentuh awan, apatah “langit Allah”. Temannya hanya rerumputan liar yang siap menjadi santapan dan dipijak oleh hewan herbivora. Namun, eksistensinya selalu dipuja dan dijaga kelestariannya. Jika demikian, mungkinkah tujuan kekhalifahan yang dititipkan Allah mampu diwujudkan ? Entahlah, sulit untuk dijawab karena ada tabir skenario Allah yang belum mampu untuk disingkap. Biarlah Allah yang menetapkan dan menampakkan apa maksud rahasia semua disebalik fenomena. Ketika Allah telah menampakkannya, tak ada kuasa yang mampu menutupinya. Sungguh memang manusia tak ada yang suci, tapi merasa paling suci adalah sifat keji yang perlu dihindari. Apalagi melihat diri paling bersih dan memandang semua manusia penuh dosa, merupakan tampilan kebalikan atas diri yang ditutupi. Ia memandang aktivitas orang lain bagai cermin besar prilaku dirinya. Sungguh, penilaian negatif pada sesama merupakan pantulan kekotoran prilaku dirinya. Contoh, prilaku pencuri akan mencurigai orang lain sebagai pencuri. Hal ini dinukilkan dalam bahasa “maling teriak maling”. Prilaku melanggar hukum akan mencurigai orang lain sebagai pelanggar hukum. Hal ini dinukilkan dalam bahasa “hukum bermata tunggal, tajam ke bawah tapi tumpul ke atas“. Atau varian prilaku lainnya yang acapkali seiring hadirnya bahasa perumpamaan penjelas atas prilaku tersebut. Meski kesemuanya nampak begitu jelas, tapi menjadi buram
(bahkan terkadang hitam). Kesemua disebabkan akibat hati dan seluruh dirinya yang kotor dan terbiasa bergelimang pada sesuatu yang kotor, membuat dirinya terbiasa menciptakan alibi dengan mencari bayangan lain untuk menimpakan kesalahan yang ada pada orang lain. Demikian indah Allah membangun teori kebenaran untuk hamba-Nya yang rindu pada kebenaran-Nya.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 12 September 2022