Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Ku kenal guruku (Prof. Azyumardi Azra) belum begitu lama. Adalah tahun 1995 berawal ketika beliau mengajar di S2 IAIN Imam Bonjol Padang. Intensitas pertemuan semakin terjadwal ketika beliau menjadi Penasehat Akademik dan Pembimbing Disertasi (1998-2001) di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Lalu, berlanjut mendampingi sebagai asistennya mengajar di PPs IAIN Imam Bonjol Padang (program S2 dan S3) rentang 2001-2008. Bahkan, mewakilinya menjadi narasumber pada Seminar Internasional yang ditaja oleh ABIM Malaysia di Maninjau (2002) sempena berdirinya Museum Buya Hamka. Beberapa buku ikut diberikannya kata pengantar yang ia tulis sendiri tanpa disiapkan.
Meski tak lagi menjadi asistennya pasca 2008, komunikasi intelektual “guru-murid” terus terjadi sampai pada malam tanggal 15 September 2022, sehari sebelum keberangkatannya untuk mengikuti (sebagai pembicara) Muktamar Sanawi di Malaysia. Ternyata, sampai akhir hayat, ia masih tetap memberikan nasehat dan menjadi pembimbing “disertasi peradaban” setiap torehan karya yang kutulis.
Walau tergolong baru dan serasa masih kurang intensitas interaksi intelektual dengannya, namun sejuta hikmah, nasehat, ilmu, motivasi, dan petuah telah diberikan selama interaksi, terutama kebiasaan menulis tanpa henti setiap hari yang dilakukannya. Sebab, setiap ide merupakan ilham yang dianugerahkan Allah pada yang dikehendaki. Ilham hadir dan pergi bagai angin. Hamba yang bijak akan menangkap pesan-Nya dengan kesyukuran atas ilham yang diberikan.
Sungguh, Prof. Azra bak kelapa yang dibanyak ditemui di desa kelahirannya Lubuk Alung (Pariaman). Cerminan buah kelapa muda yang manis dan gurih, serta tatkala menjadi kelapa tua yang semakin berisi, bersantan, dan berminyak. Beliau bagai pohon kelapa yang semakin tua semakin tinggi mencecah awan, namun tak lupa menguatkan akar untuk menghunjam bumi agar tak tumbang diterpa angin. Sungguh, pohon kelapa seakan ingin mengingatkan manusia, meski posisi tinggi, kuatkan akar dan ingat “asal”. Sebab, pada waktunya akan kembali ke bawah dan akhirnya bersama tanah terbujur sujud pada Yang Kuasa.
Ada beberapa pelajaran “pohon kelapa” yang disematkan pada sosok Prof. Azra sebagai guru bangsa pada kita semua, antara lain :
Pertama, Bagai buah dan daun kelapa. Hidup semakin berumur, semakin memberi makna. Kebermaknaan dalam lisan, perbuatan, dan tulisannya yang tak pernah alpa. Menulis bagaikan jiwanya yang tersemat sejak menjadi wartawan Panji Masyarakat. Meski menurut temannya (bang Darwin), Azra waktu muda merupakan sosok seperti kebanyakan mahasiswa seusianya, tak ada yang terlalu menonjol dengannya. Hanya saja, ia adalah sosok yang tekun dan ulet dalam meraih apa yang dicita-citakan, serta konsisten dengan apa yang dilakukan. Anugerah ini merupakan potensi yang hanya sedikit dimiliki oleh orang lain. Ketekunan, keuletan, dan konsistensi yang dimiliki menjadi modal utama atas keberhasilannya. Meski ketika pada posisi tinggi dan kesibukan menggelayuti, ternyata tak mampu “membuainya” untuk lupa berbagi memberi manfaat melalui torehan penanya. Sementara murid-muridnya tak mampu mengikutinya, justeru lupa menulis kecuali “dipaksa” menulis oleh kondisi atau aturan rigid yang ada.
Prof. Azra bagai daun kelapa. Ketika muda, daun kelapa dijadikan pembungkus ketupat. Membungkus intelektual calon-calon intelektual dengan ilmu dan idealisme, serta “mengisi” nya dengan makanan intelektual yang bergizi penuh nutrisi. Ketika agak tua, daun kelapa dapat dianyam menjadi dinding gubuk, menutup ruang-ruang yang perlu ditutup. Menjalin “anyaman” jaringan ulama yang terputus agar jelas nasab ilmu, dan membuat ruang-ruang (kamar) peradaban. Ketika tua, bagai daun kelapa, dijadikan dirinya “daun” untuk dijadikan obor guna membakar semangat dan penyuluh menerangi peradaban. Adapun “lidi” untuk membersihkan debu peradaban yang “mengotori alam semesta”. Demikian Prof. Azra, ia tak takut bila dirinya “patah” tatkala harus berhadapan gumpalan debu yang kokoh menggunung. Sebab, ia yakin masih memiiki ribuan lidi-lidi pada setiap dahannya. Ia sematkan keyakinan pertolongan Allah akan datang. Sebab, biar semua berjalan sesuai aturan dan penilaian-Nya atas apa yang dilakukan. Hal ini seirama dengan sabda Rasulullah dari Abdurrahman bin Abu Bakrah, dari bapaknya, bahwa seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasûlullâh, siapakah manusia yang terbaik?” Beliau menjawab, “Orang yang panjang umurnya dan baik amalnya”. Dia bertanya lagi, “Lalu siapakah orang yang terburuk?” Beliau menjawab, “Orang yang berumur panjang dan buruk amalnya”. [HR. Ahmad; Tirmidzi; dan al-Hâkim)
Kedua, Bagai batang dan akar kelapa. Semakin tinggi kedudukan, tapi tak pernah lupa pada akar rumput bumi tempat berpijak. Demikian ditampilkan pohon kelapa. Tinggi pohon diterpa angin, meliuk-liuk tanpa mampu merobohkanya karena akar menghunjam kokoh ke bumi. Hal tersebut tersemat dalam dirinya. Meski jauh merantau, tak pernah lupa menjenguk orang tuanya di kampung. Setiba di Padang mengajar di Pascasarjana, pasti disempatkannya pulang ke kampung halaman, menjenguk orang tuanya yang sudah sepuh. Meski gelombang rintangan “menggoyang” namun dijawab dengan liukan sesuai arah angin, namun tak terbuai (tertidur) oleh angin rentang waktu menakhodai IAIN/UIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama 2 periode. Ketegaran yang mampu memberikan buah peradaban.
Ketiga, Bagai buah kelapa yang tanpa kenal musim. Konsistensi memberikan buah, tak pernah bertanya apakah akan diberi pupuk dan mendapat perawatan yang layak. Konsistensi “dakwah intelektualnya” bagai Mohammad Natsir yang kritis bak “jamu” menyehatkan raga intelektual. Untaian kata tulisannya mengalir menyejukkan bagai Buya Hamka. Demikian Azra memberikan karya intelektualitasnya yang terjaga kualitas “santannya” untuk peradaban, meski tak pernah bertanya penghargaan peradaban atas dirinya. Sebab, ia tak pernah mau dihargai, apalagi “dibeli”. Ia ingin merdeka bagai pohon kelapa yang mampu menyentuh awan, berbuah manis menghilangkan dahaga dan isi yang melezatkan, totalitas diri diinfakkan untuk penyangga idealisme, dan akar yang kokoh menopang diri untuk tetap tegak menang tanpa konfrontasi.
Konsistensinya dalam menuliskan gagasan intelektualitasnya, bagaikan buah kelapa yang tak pernah mengenal musim. Buah kelapa tak menjual “bau atau aroma”, tapi kelezatan rasa yang mempengaruhi gulai sebelanga. Namun, tradisi dan semangat ini tak mampu diserap oleh murid-muridnya yang hanya mampu “berbuah durian” pada musim tertentu (musim kenaikan pangkat atau asa publikasi diri) dan lenyap tatkala musim telah berlalu. Meski hanya berbuah musiman, “durian” menjual aromanya lebih dominan. Meski tatkala dibuka terkadang ditemukan kualitas yang lezat, tapi tak sedikit yang busuk dan berulat. Dalam interaksinya, ia tak pernah tertawa terbahak-bahak, tapi senyum selalu tersungging tanpa suara. Mungkin kebiasaan ini berangkat dari hadis dari Abdullah bin al Harits, bahwa Rasulullah bersabda, ”Tertawanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hanya sekedar senyum” (HR. Tirmidzi).
Keempat, Bagai pohon kelapa yang melindungi tanaman palawija. Ia selalu memotivasi murid-muridnya untuk maju, tanpa sedikitpun iri dan khawatir disaingi mereka yang muda. Setiap diminta nasehat, tak pernah menolak. Meski kesibukan mengitari, nasehat dan tunjuk ajar yang diminta pasti diberikan dengan bahasa singkat, tapi dapat dipahami. Hal ini sesuai nasehat beliau bahwa : “bila ditemukan orang miskin harta, jangan pernah diminta untuk segera memberi. Tapi, bila ditemukan orang miskin ilmu, jangan memberi sebelum diminta”.
Kelima, Menghargai waktu. Katanya adalah janji, janjinya adalah harga diri, dan harga dirinya tak pernah bisa dibeli. Sesibuk apapun, ia selalu menepati janji yang pernah diucapkan. Ia tak ingin mengecewakan, meski hanya seorang mahasiswa. Ia ingin mengajarkan agar menjaga harga diri. Hanya harga diri yang tak bisa dibeli. Bila harga diri telah terjual, maka sebaiknya malu mengatakan diri manusia. Apatahlagi bila hanya menjadi benalu yang merusak peradaban.
Apa yang dilakukannya memberikan kebermanfaatan pada sesama. Hal ini sesuai hadis nabi dari Abdullah bin Basri, bahwa Rasulullah bersabda : “Carilah kebutuhan hidup dengan senantiasa menjaga harga diri. Sesungguhnya segala persoalan itu berjalan menurut ketentuan” (HR. Ibnu Asakir).
Sungguh, Prof. Azra sosok guru dan orang tua yang telah menunjukan kualitas intelektual dan kesadaran sebagai manusia yang tak sempurna. Sementara banyak yang “telah dituakan” masih menganggap diri sempurna, meski belum mampu menunjukkan intelektual yang berkualitas di hulu dan karya di hilir. Bahkan redup karya seiring bertambah usia atau “selimut tebal jabatan” yang menumpulkan kemampuan.
Kepergiannya tak bisa digantikan. Bagai tak mungkin tergantikannya kedua orang tua yang menjadi penyebab adanya anak manusia. Kita hanya sekedar meneruskan kebaikan yang diajarkannya, tanpa melihat kebelakang kekurangannya sebagai hamba-Nya yang pasti ada. Selamat jalan guruku, guru kita, dan guru bangsa. Sosoknya telah tiada (18 September 2022), memenuhi janji bertemu Sang Pencipta, bersemayam dalam Rahman-Nya dan tersenyum dalam Rahim-Nya. Namun, semangatnya tetap terus membara untuk “membakar asa” mereka yang tak terbius oleh pengaruh “asa-asa yang basah”.
Sungguh, ketika jasadnya berpisah dengan ruhnya, Allah perlihatkan tampilan kualitas intelektual dan pergaulannya yang berkorelasi dengan deretan panjang papan ucapan belasungkawa yang demikian panjang. Seluruh karya dan jumlah halaman tulisannya yang berkorelasi dengan ratusan ribu manusia yang berduka dan melepas kepergiannya ke alam baka. Jumlah murid-muridnya yang berkorelasi pula dengan belasan ribu sitasi karyanya di google scholar yang dijadikan rujukan intelektual seluruh dunia. Padahal, engkau tak pernah merasa “siapa-siapa” meski telah mampu berbuat perubahan. Bahkan, jabatannya saat ini yang bukan pula terlalu “mewah dan prestesius” yang diincar semua orang, sebab muruah pantang untuk “mengemis” yang mampu dipertahankan. Sungguh, engkau guru bangsa yang istiqamah tersemat amal jariyah. Untuk itu, engkau pantas memperoleh apa yang negara dan peradaban berikan. Engkau terkenal dan dikenal oleh penduduk di hamparan bumi ini, insya Allah dikenal dan disambut penduduk langit dengan senyuman suka cita. Akan kuteruskan apa yang telah engkau ajarkan (demikian diajarkan para ulama istiqamah terdahulu) untuk dipertahankan agar tak pernah berakhir, sampai alam ini menutup episode peradabannya. Kullahum syaiul lillahi lahumul fatihah.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 26 September 2022
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab