Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Akhir september 2022, media intens memberitakan shadow organization dan tim miroring. Istilah tersebut muncul saat rapat kerja dengan Komisi X DPR, di Gedung DPR, Senayan (26/9/22). Penggunaan istilah yang diucapkan tokoh publik figur ketika menjelaskan program dan berbagai keberhasilan kementeriannya. Apalagi paparannya yang “meyakinkan” atas kinerja tim shadow atau (istilah lain) tim miroring yang disebut “selevel eselon 1” dan beranggotakan 400 orang. Sungguh bola salju yang berlawanan semangat reformasi birokrasi dan membuat kegaduhan belaka. Sebab, tak bisa dibayangkan shadow yang demikian banyak dan miroring yang gemuk, serta biaya dan tempat yang diperlukan untuk mereka bekerja. Bila demikian, perlu dilihat kuantitas shadow atau miroring apakah berkorelasi dengan kualitas nyata atau justeru pemborosan yang menganga. Angka 400 orang menunjukkan ketidakfahaman sejarah dan ketidakmampuan mengelola. Padahal, Bung Karno hanya memerlukan 10 orang untuk “mengguncang dunia” tanpa membuat kegaduhan.
Meski kata selalu dianggap sepele, ringan diucapkan, dan mudah diperbaiki dengan meminta maaf, namun kata merupakan alat yang sangat menentukan untuk menunjuk kualitas manusia. Hal ini sejalan dengan peribahasa, “Jika kerbau dipegang talinya, manusia pula dipegang katanya”. Dalam peribahasa Melayu disebutkan pula “Kalau pedang lukai tubuh, masih ada harapan sembuh. Kalau lidah lukai hati, kemana obat hendak dicari”. Sungguh peribahasa sarat makna yang mengingatkan manusia bijak menggunakan kata. Fikirkan apa yang hendak diucapkan, sebab banyak ucapan menyakitkan keluar dari mulut karena tak difikirkan lebih dulu. Padahal, semua yang diucapkan harus dipertanggungjawabkan secara vertikal dan horizontal. Wajar bila dikatakan, “mulutmu adalah harimaumu”.
Sungguh, kata merupakan luahan sisi dalam diri. Semua tergantung apa yang dimakan (masuk) dan ada dalam tubuh. Bila ayam yang dimakan, keluar ayam pula. Bila mie instan yang dimakan, keluar mie instan pula. Demikian selanjutnya i’tibar serupa terjadi. Bila manusia keliru merupakan sifat alamiah. Namun, tatkala kesalahan berulang terjadi, maka pepatah mengingatkan kembali “Jangan jatuh dilobang yang sama. Sebab, hanya keledai yang jatuh di lubang yang sama (mungkin sering *pen)”. Meski hal yang sama berpeluang terjadi sama, menimpa pada semua individu, dan dilakukan semua level profesi kehidupan.
Ada 2 (dua) kata kunci yang digunakan dalam melihat persoalan di atas, yaitu bayang-bayang (shadow) dan cermin (miroring). Dua kata yang sebenarnya saling menjelaskan dan melengkapi. Semua tak bisa lepas bila Allah berkehendak memperlihatkan “atas semua” wujud asli yang ada pada makhluk.
Pepatah mengatakan “ukur bayang-bayang sepanjang badan”. Pepatah ini berarti agar manusia mengukur apa yang hendak dilakukan sesuai kemampuan yang dimiliki. Bila tidak, maka bak “besar pasak dari tiang”. Untuk menutupi ketidakmampuan, diperlukan banyak “bayangan” yang terorganisir (shadow organization) dan “cermin-cermin” lainnya.
Dalam al-Quran, Allah menjelaskan tentang bayang-bayang, antara lain : “Apakah kamu tidak memperhatikan (penciptaan) Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan (dan memendekkan) bayang-bayang dan kalau Dia menghendaki niscaya Dia menjadikan tetap bayang-bayang itu, kemudian Kami jadikan matahari sebagai petunjuk atas bayang-bayang itu. Kemudian Kami menarik bayang-bayang itu kepada kami dengan tarikan yang perlahan-lahan” (QS. al-Furqan : 45-46).
Merujuk pada persoalan yang sedang menimbulkan polemik di atas, bila dikaitkan dengan ayat qauliyah dan kauniyah-Nya, maka bayangan (shadow) dan cerminan (miroring) dapat dilihat dari beberapa aspek, antara lain :
Pertama, Bayangan akan semakin besar bila cahaya yang menyinarinya rendah. Sementara bila cahaya yang menyinarinya semakin tinggi, bayangan akan semakin kecil. Merujuk ayat di atas, dalam Tafsir al-Mukhtasyar, dijelaskan bahwa “mulai bagian ini Allah menjelaskan dalil-dalil yang menunjukkan keberadaan dan kekuasaan-Nya yang sempurna. Dialah yang menciptakan segala sesuatu yang beraneka ragam lagi kontradiksi. Allah jadikan matahari sebagai pertanda dengan keadaan serupa atas bayangan. Lalu ia akan mengecil sedikit demi sedikit. Tiap kali matahari bertambah ketinggian, maka ia akan kian berkurang besarnya. Demikian Allah menjelaskan dalam firman-Nya”.
Merujuk tafsir di atas, terlihat bahwa semakin rendah posisi (kualitas) pemberi cahaya, akan melahirkan bayangan lebih besar. Sementara bila semakin tinggi posisi (kualitas) pemberi cahaya, maka akan melahirkan bayangan lebih kecil. Sungguh logika sederhana yang mudah difahami oleh akal sederhana. Semakin banyak memerlukan “bayangan-bayangan besar” sekeliling diri, menunjukkan rendahnya kemampuan yang dimiliki. Akibatnya, tingkat ketergantungan atas “bayang-bayang” sekitar diri semakin besar pula. Sementara semakin berkualitas (tinggi) personal diri, maka semakin sedikit memerlukan “bayangan” sekitar diri. Untuk itu, dipertanyakan kualitas yang memerlukan banyak bayangan dalam jumlah yang besar untuk menjalankan amanah yang ada. Di sisi lain, banyaknya bayangan dan cermin(-an) membutuhkan biaya yang tak sedikit, di tengah upaya efisiensi dan efektifitas keuangan negera.
Kedua, Bayangan bagai “hantu” yang ada nama, namun tanpa wujud. Sulit untuk mendeteksi standard kerjanya, tingkat manfaatnya, atau relevansinya. Sekaligus dipertanyakan kinerja “eselon-eselon” yang ada dalam melaksanakan tupoksi setiap bagian, sehingga perlu shadow dan miroring. Di sisi lain, sifat “bayangan” semakin dikejar (diperlukan), ia semakin meninggalkan (jual gaya) yang mengejar. Bila tak dikejar, justeru bayangan yang menghampiri dengan menawarkan program yang “melangit” tanpa manfaat “di bumi” sedikit jua. Meski sebenarnya eksistensi shadow dan miroring hanya beda istilah, tapi berpotensi ada pada level lainnya, namun sulit “disentuh” bagai menyentuh bayangan dan pantulan wujud dalam cermin. Akhiri menggunakan kata ‘”melangit” yang berujung jatuh “kelembah konflik”. Sebab, hal yang sama terus terjadi berulang kali.
Ketiga, Sifat cermin memantulkan bayangan terbalik dari realita. Bila seseorang berdiri tegak di depan cermin, maka posisi kanan dan kiri akan terbalik arah atas gambaran yang dipantulkan cermin. Demikian sifat cermin dari kata miroring yang digunakan. Bagi yang faham dengan sifat cermin tidak akan percaya sepenuhnya dengan gambar yang dipantulkan cermin. Apalagi publik tak tau siapa dan kapasitas bayangan dalam cermin. Berapa banyak “matahari” sehingga menghadirkan banyak bayangan dalam cermin. Bila matahari lebih dari satu, maka kiamat akan tiba.
Informasi cermin tergantung kondisi permukaan cermin, apakah cekjng, cembung, datar, retak, atau mungkin rusak. Setiap cermin menginformasikan gambar yang berbeda, tergantung kualitas cermin atau keinginan “pemilik cermin”.
Hati-hati menggunakan bahasa. Sebab, bahasa adalah wujud verbal yang menjelaskan diri yang sebenarnya. Demikian Allah memperlihatkannya melalui firman-firman-Nya Yang Agung. Apa yang terjadi telah diingatkan Rasulullah melalui sabdanya : “Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.” Ada seorang sahabat bertanya; ‘bagaimana maksud amanat disia-siakan? ‘ Nabi menjawab; “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu” (HR Bukhari).
Bahkan dalam riwayat lain, suatu hari Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku (seorang pemimpin)? Lalu, Rasul memukulkan tangannya di bahuku, dan bersabda, ‘Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya hal ini adalah amanah, ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya, dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya)” (HR Muslim).
Sungguh jelas firman Allah, demikian pula sabda Rasulullah. Namun, manusia melupakan dan menganggap semuanya hanya sebatas teks bisu yang tak perlu diikuti. Demikian keangkuhan manusia, meski Imam Ghazali dalam as-Siyasah as-Syar’iyah ikut menjelaskan kriteria pemimpin yang baik, yaitu : “selayaknya diketahui dan siapakah orang yang paling layak untuk posisi setiap jabatan. Kepemimpinan yang ideal memiliki dua sifat dasar, yaitu kuat (profesional dibidangnya) dan amanah”. Bila kuat dan amanah, maka nikmat Allah tiada terbatas. Namun bila lemah apalagi berkhianat, maka azab Allah sangatlah pedih. Pilihan tentu ada pada setiap diri pada semua level. Hanya iman yang kokoh mampu menghantarkan pada hadirnya keadilan dan keselamatan. Sebab, hanya keimanan akan melahirkan rasa malu, rasa malu melahirkan harga diri, harga diri yang mampu menjawab atas amanah yang diemban. Namun, semua bayangan dan pantulan cerminan menggambarkan kualitas sosok yang memiliki diri.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 03 Oktober 2022