Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Pernah diceritakan guruku ketika di pendoponya, bahwa ia pernah diceritakan oleh abah Hasyim (Jombang) tentang kisah sepotong roti. Suatu hari (dulu di wilayah Timur Tengah) ada seorang ulama (wali Allah), secara tegas dan berani berkata pada raja dan dihadapan pembesar negeri. “Wahai raja, sungguh semua penegak hukum di negerimu telah mempermainkan hukum dan tak ada yang memutus-kan hukum secara adil. Akibatnya, bagaimana mungkin keadilan ditegakkan, serta kesejahteraan dan keamanan rakyatmu akan terwujud. Sudah siapkah engkau memper-tanggungjawabkannya dihadapan Allah kelak ?”. Merah padam muka raja menahan amarah atas ucapan ulama tersebut, apalagi diucapkan di depan semua pembesar negeri. Seraya raja berkata, “wahai ulama yang terhormat, bisakah engkau buktikan bahwa penegak hukum di negeri ini tak mampu berlaku adil dalam memutuskan hukum ?. Sebab, aku sudah membuat berbagai macam aturan tertulis sebagai pedoman agar mereka (penegak hukum) dapat memutuskan perkara dengan putusan yang adil. Buktikanlah wahai ulama atas perilaku aparat penegak hukum yang ada di negeriku ini. Bila engkau tak mampu membuktikannya, maka engkau akan ku hukum mati karena telah menyebar fitnah atas aparatku. Tapi, bila apa yang engkau katakan benar dan dapat dibuktikan, maka akan ku pancung kepala semua penegak hukumku yang bersalah”. Ulama tersebut berkata, “wahai baginda raja, aku siap membuktikannya. Bila apa yang kukatakan tak mampu kubuktikan, aku siap dihukum mati”. Ulama tersebut melanjutkan katanya tanpa ragu, “wahai baginda raja, untuk membuktikan kataku, bolehkan baginda memanggil semua penegak hukum yang ada di negeri ini ?”. Mendengar perkataan ulama tersebut yang memperlihatkan keyakinan tanpa terbersit ketakutan sedikit jua di raut wajahnya, membuat raja bimbang dan ragu. Tapi, wibawa raja harus dijaga. Raja berkata, “baiklah wahai ulama, permintaanmu akan aku kabulkan. Apakah ada permintaan-mu yang lainnya ?”. Ulama tersebut berkata, “ada wahai baginda raja. Aku minta disediakan pena dan kertas, pembuktian dilaksanakan di ruang terbuka, serta disaksikan oleh seluruh rakyat negeri ini”. Mendengar permintaan ulama tersebut, raja pun menyanggupinya.
Hari yang ditetapkan telah tiba. Raja memerintahkan seluruh penegak hukum di negerinya untuk hadir dan berkumpul. Setibanya di lapangan terbuka dan disaksikan seluruh rakyat, lalu ulama tersebut membagikan selembar kertas dan pena yang telah disiapkan kepada seluruh penegak hukum yang hadir. Ulama tersebut berkata “wahai penegak hukum semua, jawablah pertanyaanku secara tertulis, tanpa boleh saling melihat atau memberitahu jawaban masing-masing. Apakah instruksiku didengar dan dipahami ?”. Semua menganggukan kepala tanda faham atas instruksi ulama tersebut. Ulama tersebut melanjutkan, “Jelaskan oleh kalian semua, apa itu roti ?”. Raja dan semua yang hadir terkejut. Hanya demikian sederhanakah pertanyaan yang diajukan sang ulama ?. Semua tersenyum dengan pertanyaan sangat mudah tersebut, sambil menulis jawaban atas pertanyaan yang diberikan. Hanya hitungan detik, semua penegak hukum telah selesai menjawabnya dan tersisip senyum puas.
Setelah semua jawaban terkumpul, ulama tersebut meminta masing-masing penegak hukum untuk membacakan jawaban yang telah ditulisnya. Ada yang menjawab berdasar-kan perspektif asal roti, bentuk roti, manfaat roti, cara membuat roti, ukuran roti, dan ratusan jawaban lainnya tentang roti. Ulama tersebut tersenyum sumeringah, lalu menghadap raja dan dengan lantang berkata, “wahai baginda raja yang mulia, semua penegak hukummu menjawab pertanyaanku dengan beraneka macam jawaban tentang roti. Padahal, roti merupakan makanan yang dimakan mereka semua setiap harinya. Lihatlah baginda raja, bagaimana penegak hukummu bisa berlaku adil bila menjelaskan roti yang dimakan mereka setiap hari saja justeru setiap mereka berbeda-beda penafsiran dan jawabannya ?. Apalagi atas hukum yang jarang digunakan atau kasus hukum yang jarang terjadi, maka akan menyebabkan “ribuan penafsiran” atas produk aturan yang dijadikan sandaran putusan. Apatahlagi bila berhadapan masalah yang menyangkut “pembesar” atau masalah yang “sengaja ditemukan” ?. Padahal, seharusnya mereka memiliki penafsiran yang sama atas aturan yang digunakan. Wahai baginda raja, ketahuilah demikian perangai penegak hukum di negerimu. Semua hukum yang engkau buat akan sangat tergantung dari penafsiran mereka, membuka peluang multi penafsiran, dan penafsiran yang dipengaruhi oleh kualitas diri dan kepentingan setiap individu penegak hukummu. Padahal, hukum yang engkau tetapkan demikian jelas, tanpa multi tafsir agar terukur dan mampu membawa keadilan yang setara. Namun, hanya diminta menjelaskan hal yang sesederhana dan dimakannya setiap hari (roti), ternyata mereka menafsirkannya sesuai pemahaman masing-masing. Padahal hanya diminta menjelaskan ‘apa itu roti’ yang dimakannya setiap hari. Bagaimana bila hukum yang engkau tetapkan memberi peluang multi penafsiran atau dipahami bebas oleh masing-masing penegak hukummu ?. Meski baginda raja memposisikan semua setara di mata hukum, namun realitanya hukum berbeda di mata setiap penegak hukum”. Mendengar penjelasan ulama tersebut, semua aparat penegak hukum yang hadir tertunduk malu, apatah lagi raja yang terduduk lemas sambil menahan malu yang tiada tara. Sebab, apa yang dikatakan ulama tersebut semua benar adanya dan demikian jelas menampar dirinya dan kebiasaan penegakan hukum di negeri tersebut selama ini. Padahal Allah secara jelas berfirman : “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, membuatmu berlaku tidak adil. Berlaku adilah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. al-Maidah : 8).
Ayat di atas, merupakan perintah Allah SWT kepada orang mukmin agar melaksanakan segala urusan dengan cermat, jujur, dan ikhlas, baik urusan dunia maupun akhirat. Sebab, semuanya adalah urusan yang tak bisa lepas dari agamamu. Untuk itu, Imam Ali bin Abi Thalib pernah berkata : “Jangan pegang agama seperti membawa anjing, tapi pegang agama seperti membawa harimau”. Anjing selalu jadi mainan, tapi harimau jelas sikapnya dan tak bisa dipermainkan. Demikian nasehat Imam Ali bin Abi Thalib bahwa bila aturan sebagai “anjing”, maka ia akan bisa dijadikan permainan. Ketika diberi tulang, anjing akan membisu karena mulut telah terisi. Bila lapar, ia akan menggonggong kembali dengan suara yang memekakkan telinga. Sementara bila aturan sebagai “harimau”, maka ia akan tegas dan memiliki wibawa. Tak ada yang berani bermain dan menjadikan harimau sebagai permainan. Melihat belangnya saja semua akan takut oleh wibawa dan ketegasan sang harimau. Demikian penegakan hukum harusnya dilakukan”, kata sang ulama (wali Allah) menutup nasehatnya pada sang raja. Sang raja tak sanggup berdiri dari kursinya. Seluruh tubuhnya gemetar dan lemas membayangkan murka Allah atas kelalaian dirinya selama ini. Ternyata, meski penegakan hukum (tertulis) telah mampu dilaksanakan di negerinya, namun ternyata tersimpan celah kezaliman dan ketidakadilan (praktek). Ia sedih dan takut membayangkan derita rakyatnya atas ketidakadilan yang terjadi selama ini. Ternyata, mereka (rakyat) membisu bukan karena adanya keadilan, tapi karena ketakutan semata.
Setelah kejadian tersebut, raja tak bisa tenang memikirkan dosanya dan murka Allah nantinya. Kegundahan yang menyebabkan akhirnya ia jatuh sakit dan tak lama meninggal dunia dalam munajat mohon pengampunan Allah Yang Maha Pengampun. Sungguh sosok raja (penguasa) yang malu pada Allah atas kesalahannya dan ulama yang sebenarnya, meski kedua sosok ini sangat langka dijumpai.
Apa yang disampaikan ulama terhadap raja di atas memberi sejuta pelajaran bagi semua, antara lain :
Pertama, Penegak hukum perlu menjaga iman dan hati nurani. Setiap diri agar ingat akhir kehidupan yang akan mempertanggungjawabkan semua yang diperbuat dihadapan Allah. Kebenaran yang digerakkan qalbu merupakan kebenaran hakiki yang digerakkan oleh Allah. Sementara kebenaran selanjutnya merupakan kebenaran “bisikan kepentingan” yang digerakkan oleh nafsu dan iblis yang memerintahkan akal untuk “mengolah hukum” sesuai apa yang diinginkan. Bila ingin selamat dalam pertanggungjawaban vertikal dan horizontal, maka pilihlah gerak kebenaran pertama yang dimunculkan oleh Allah dalam qalbu. Sebab, semua pilihan dan dampaknya tentu akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah, tanpa bisa berpaling. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya” (QS. al-Isra’ : 36).
Bisikan kebenaran subyektif yang dikomandoi nafsu hanya sebatas “bayangan” tipuan. Untuk itu, Abu Turab an-Nakhsyabi pernah berwasiat tentang tiga hal yang dicintai manusia padahal tiga hal tersebut bukan untuknya, yaitu : (1) manusia yang mencintai jiwa, padahal dia adalah milik Allah SWT. (2) manusia yang mencintai harta, padahal harta itu milik ahli waris. (3) manusia yang selalu mencari kebahagia-an dan ketenangan, padahal keduanya hanya ada di surga.
Seakan semua ingin digenggam dengan berbagai cara. Agar semua legal, maka produk aturan dapat dipahami sesuai penafsiran atas kesepakatan pemilik kepentingan.
Kedua, Menutup ruang terjadinya multi tafsir dengan menyusun produk hukum yang jelas atau adanya penjelasan tertulis yang baku. Bila masih membuka peluang multi penafsiran, baik secara teks atau penjelasan “karet”, maka peluang untuk “bermain” di wilayah hukum akan semakin terbuka lebar, bagai tamsilan cerita “roti” di atas.
Allah mengingatkan manusia agar jangan berlebih-lebihan dalam memahami suatu hukum, terutama bila berkaitan aturan agama. Hal ini disampaikan Allah melalui firman-Nya :
“Wahai Ahlul Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan dalam agama kamu dengan cara yang tidak benar. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dan mereka telah menyesatkan banyak (orang) dan mereka sesat dari jalan yang lurus” (QS. al-Maidah : 77).
Sungguh, tampilnya produk hukum yang bertentangan dengan produk yang lebih tinggi acapkali hanya sebatas teori. Apatahlagi, produk yang dilahirnya membuka lebar pintu penafsiran yang demikian luas.
Ketiga, Aturan dibuat penuh kajian komprehensif agar melahirkan kebijaksanaan, bukan terburu-buru sebagai sandaran menjawab kepentingan sesaat yang sarat kepentigan dan “ambil muka”. Apalagi tatkala dihasilkan oleh “pekerja yang tak memiliki keahlian” di bidang hukum. Bila suatu pekerjaan dilakukan secara tergesa-gesa, maka akan menghasilkan produk yang “gagal”, apalagi bila bertujuan asal jadi untuk “ABS” semata. Produk yang seperti ini bagai produk politik “belah bambu”. Akan ada wilayah yang untungkan dan dipertahankan secara “mati-matian” (sesuai pesanan). Sementara di sisi lain akan ada pula wilayah yang terlupakan dan dijadikan “tumbal” untuk menutupi kelemahan produk hukum yang disusun. Padahal, Rasulullah mengingatkan sikap yang demikian sebagai perbuatan
syaitan. Rasulullah Mengingatkan melalui sabdanya : “Dari sahabat Sahl bin Sa’ad RA, Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesung-guhnya sikap tergesa-gesa itu dari syaithan” (HR. at-Tirmidzi).
Meski demikian jelas firman Allah, demikian terang sabda Rasulullah, dan demikian nyata kebenaran dirasakan oleh qalbu, namun semuanya dinafikan dan dibenam dalam lumpur kepentingan. Seakan semuanya telah tiada, dibunuh oleh nafsu duniawi. Kebenaran agama dan qalbu sebatas asesories, sementara kebenaran nafsu menjadi tujuan hakiki. Bila ada reaksi atas pelanggaran keadilan, dilakukan “pengalihan isu” atau menunggu masa “cooling down” terhadap masalah untuk selanjutnya“anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu”. Sungguh aneh dan apa yang dita’wilkan ulama di atas merupakan kejadian yang berulang setiap episode peradaban. Bak pepatah menyebut “jatuh dilobang yang sama, meski hanya dilakukan oleh keledai”. Bila hal ini yang dipilih sebagai “timbangan” bangunan peradaban, maka ketidakadilan yang akan tercipta. Apatahlagi bila keruntuhan keadilan berawal “busuknya kepala ikan” yang mengundang ulat merusak seluruh tubuhnya, tanpa tersisa sedikit jua. Apalagi bila melalui kekuatan “durian terhadap mentimun” akan memuluskan semua yang direncanakan. Bila hal ini yang dipilih dan tak lagi mendengar ayat-ayat-Nya, silahkan berhadapan dengan “pengadilan” Allah Yang Maha Adil. Sebab, hanya pengadilan-Nya yang mampu membungkam tipu muslihat manusia dan pengadilan Allah tak pernah ingkar atas semua janji-janji-Nya. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 17 Oktober 2022