Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Hampir semua orang mengenal kacang dengan berbagai variannya, apalagi kacang kulit. Pilihan kacang kulit sebagai makanan ringan, merupakan pilihan populer untuk mengisi setiap acara dan kesempatan, apatahlagi bila berkumpul bersama keluarga sambil menonton TV. Kerenyahan dan kelezatannya membuat interaksi komunikatif dan seakan waktu berjalan tanpa terasa. Namun, ternyata kacang kulit menyimpan pesan ilmiah dan religius yang tak banyak ingin menyingkapnya. Pesan yang hilang di tengah fokus menyantapnya saja. Atau pesan yang hilang oleh tertutupnya akal dan hati, meski pesan pepatah diketahui sejak lama.
Secara ilmiah, kacang bila dimasukan dalam air akan berbeda posisinya antara yang masih dalam kulit dan tanpa kulit. Ternyata, kacang yang masih dalam kulit akan mengapung. Sementara bila kacang dikeluarkan dari kulitnya akan tenggelam. Sebuah fenomena yang seakan aneh namun bisa dijawab secara scientific (ilmiah).
Namun, bila pendekatan scientifik dikaitkan dengan pendekatan filosofis-religius, fenomena tersebut memiliki makna yang dalam dan mengajarkan pelajaran yang berarti. Di antara pelajaran tersebut antara lain :
Pertama, Kacang yang tak pernah lupa kulitnya akan berada di atas dan mengapung kepermukaan air. Ia akan selamat dari air yang membasahinya dan bahkan kotornya air yang bisa merusak kesuciannya. Ia tetap mampu bertahan dan dikenal siapapun yang melihatnya. Ia mudah diambil, tanpa harus membasahi tangan yang mengambil.
Demikian manusia yang berkarakter “kacang yang tak lupa dengan kulitnya”. Hidup tak membuat ia lupa asal diri dan lingkungannya. Sejak belum ada, muda, tua, bahkan tatkala berkedudukan tinggi. Semua tak pernah ia lupakan. Ia selalu ingat asalnya dan menghargai lingkungan (manusia) lainnya. Meski kedudukan dan pendidikan tinggi mampu diraih, bahkan harta melimpah telah dimiliki, namun tak membuat dirinya lupa diri. Sifat tawadhu’ tetap terjaga, adab kesantunan tetap terpelihara, dan kualitas ibadah yang selalu meningkat. Tingginya pendidikan membuatnya menjadi penyuluh dalam kegelapan, tingginya jabatan membuatnya menjadi pengayom untuk melindungi, dan meningkatnya amal membuat dirinya semakin malu pada Allah SWT.
Beruntung manusia yang senantiasa ingat pada kulitnya. Diri akan memperoleh keberkahan dan keselamatan. Karakter yang demikian berwujud sifat tawadhu’ yang mampu dimiliki. Ia akan senantiasa terapung ke atas dengan kualitas diri yang terjaga. Meski mungkin makhluk bumi tak memandang-nya karena tak bisa diajak “bermain mata” menghalalkan segala cara, tapi pasti ia terkenal dan dirindukan oleh penghuni langit dengan istiqomah yang dimilikinya.
Kedua, Kacang yang lupa pada kulitnya akan tenggelam di dasar air. Air yang membasahi akan memberatkannya tenggelam, mudah dipengaruhi oleh air (warna dan rasa), dan turun tenggelam ke dasar air tanpa mampu naik kepermukaan “menemui kulitnya” lagi. Demikian karakter manusia yang dinukilkan melalui pepatah leluhur yang mengingatkan “bagaikan kacang lupa kulitnya“. Karakter lupa pada asal diri yang bermuara pada munculnya kesombong-an. Meski sebenarnya karakter yang demikian menunjukkan rendahnya kualitas diri ketika “baru memperoleh sesuatu”. Bak pepatah mengatakan “bagai si kudung (tak punya jari) mendapatkan cincin”. Ia bangga dengan apa yang diperoleh dan lupa pada asal dirinya. Seakan, apa yang dimiliki hasil kerjanya sendiri dan berupaya menghilangkan sisi karya orang sebelumnya. Padahal, kebesaran diri bagaikan sebutir kacang yang mampu besar karena dilindungi oleh kulit (interaksi dan kerjasama sesama) sebelumnya. Sungguh, Allah mengingatkan bahaya karakter lupa diri yang bermuara pada kesombongan melalui firman-Nya : “Maka turunlah kamu darinya (surga); karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya. Keluarlah ! Sesungguhnya kamu termasuk makhluk yang hina” (Q.S. al- ‘Araf ayat 13).
Meski ayat di atas ditujukan pada iblis, namun sesungguh-nya juga ditujukan pada manusia. Sebab, ketika di hulu awalnya lupa diri, maka di hilir akan bermuara pada kesombongan diri. Sementara, kesombongan merupakan tanda-tanda kehancuran dan malapetaka yang akan didapat. Sebab, karakter yang demikian dibenci oleh Allah. Hal ini dinyatakan dalam firman-Nya : “Tidak diragukan lagi bahwa Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang yang sombong” (Q.S. an-Nahl : 23).
Akibat “lupa kulitnya” menjadikan manusia arogan atas apa yang dimiliki. Ilmu tinggi untuk dibanggakan, posisi tinggi untuk mengumpulkan “upeti”, dan amal (varian kebaikan) untuk dipamerkan guna menutupi kesalahan diri yang ada. Kesombongan dijadikan tembok pembeda “kuantitas strata” guna bangunan ke-aku-annya yang kokoh. Padahal, Rasulullah pernah mengingatkan melalui sabdanya : “Kesombongan (akibat lupa diri *pen) adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia” (H.R. Muslim).
Demikian bila manusia lupa diri akibat perolehan asesoris nan menyilaukan dan mabuk oleh derajat duniawi yang “dibeli atau dipaksakan” oleh kepentingan nafsu. Atau, amanah yang didapat dengan jalan yang salah dan diperoleh oleh pribadi yang tidak tepat akan berbuah kesengsaraan. Meski mungkin makhluk bumi memandangnya mulia dan terkenal karena bisa diajak “bermain mata”, tapi pasti tak pernah dikenal dan bahkan dicela oleh penghuni langit atas kepongahan dan kemungkaran yang dilakukan.
Akibat karakter lupa diri dan munculnya kesombongan, maka bersamaan tumbuh subur “ladang kebencian” dengan pergunjingan tiada henti. Sifat kebencian horizontal bisa terjadi secara buttom up atau top down dan lintas titel pendidikan atau status sosial. Kesemuanya bisa menimpa setiap diri sesuai kualitas karakter (asli) masing-masing.
Bagi “kacang yang selalu ingat akan kulitnya”, posisinya akan mengundang kebencian dan iri banyak kalangan. Namun, kebencian dan iri akan dihadapi dengan sikap yang bijak. Jika ada orang yang membenci dan iri padanya, maka doakan agar orang tersebut panjang umur untuk menyaksikan kesuksesannya sebagai buah istiqomah pada ajaran agama. Orang yang membenci muncul karena menganggap diri yang dibenci sebagai ancaman. Sebab, pembenci tak mampu berbuat sebagaimana yang dilakukan oleh yang dibenci, apalagi bila tak bisa diajak “bermain mata” untuk melakukan aksi kedunguannya. Sementara para pembenci acapkali siap “berdiskusi di bawah meja” meski melanggar hukum (agama atau norma), asal yang diinginkan dapat diraih, tanpa mampu menoreh prestasi berarti. Baginya, sejuta prestasi yang dibenci tak pernah ada, setitik kelemahan justru akan digunungkan. Sebenarnya ia membenci dirinya sendiri yang tak mampu meraih apa yang dimiliki oleh sosok yang dibencinya.
Sungguh, secara psikologi para pembenci atau pemfitnah (akibat lupa kulit) tidak pernah memiliki kedamaian jiwa dan kebersihan pikirannya. Waktu dan energinya terkuras hanya mencari kelemahan orang yang dibenci dan dijadikan sasaran fitnah, sehingga tak ia lupa untuk memperbaiki dirinya. Padahal, kelemahan dan kehinaan dirinya yang menganga lebar. Akibatnya, jiwa dan pikirannya menjadi lelah, serta merusak kehidupan akibat kebencian yang menyelimutinya. Tak ada bangunan peradaban kemakhlukan yang mampu dibangun. Sementara, bangunan peradaban yang diraih “lawan” dianggap tak pernah ada. Anehnya, mereka yang bersifat demikian acapkali merupakan pelaku yang pernah ditolong dan diangkat dari “kubangan” sebelumnya. Setelah ditolong justeru “menggonggong dan menggigit”. Bak pepatah “bagai menolong anjing terjepit”. Aktivitas hanya mencari kelemahan yang dibenci sebagai bahan untuk melakukan serangan menjatuhkan, jika perlu diada-adakan melalui “tangan pihak ketiga” yang memang berprofesi mencari kelemahan dan menyebarkan aib sesama. Serangan tersebut menghalalkan segala cara dengan membangun opini negatif dan fitnah sebagai bahan yang dipergunjingkan. Padahal, Sayidina Ali bin Abi Thalib pernah mengingatkan bahwa : “barangsiapa yang menyalakan api fitnah dan permusuhan, maka ia telah menjadikan dirinya sebagai bahan bakarnya“.
Akibat energi dan waktu hanya untuk mencari kesalahan lawan, ia lupa pada “busuknya diri” dan hanya mampu melakukan rutinitas untuk membangun pencitraan palsu yang bertujuan menutupi kemunafikan dan kelemahannya. Semua busuknya diri pasti terbuka pada waktunya, demikian janji Allah pada manusia. Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “Aku akan memberikan tenggang waktu kepada mereka. Sungguh rencana-Ku amat tangguh dan terencana, kuat, dan tidak ada yang menandinginya” (QS. al-A’raf : 183).
Demikian janji Allah pada manusia yang lupa diri dengan bangunan kesombongannya yang melebihi kesombongan Iblis. Meski tepukan diterima ketika dipuncak, maka iringan cibiran dan hujatan pula yang menyertai ketika jatuh terjerembab. Tak ada lagi asesories keshalehan yang mampu menutupi tatkala Allah membuka aib hamba yang lupa diri. Meski kemuliaan diri pernah diperoleh, namun semua hancur dalam waktu singkat hanya karena lupa diri dan hadirnya sifat sombong atas apa yang diperoleh. Demikian bila Allah berkehendak atas manusia berkarakter “lupa kacang pada kulitnya”. Suatu kepastian akan memetik kehinaan pada akhirnya. Pada waktunya akan terlihat aib diri, tanpa ada yang mampu menutupinya. Bila hal ini terjadi, maka tak ada lagi teman abadi, hanya ada kepentingan abadi yang dipetik oleh pemilik sifat yang sama (karakter munafik bak “baling-baling di puncak bukit”). Semua menyelamatkan diri masing-masing dan saling menyalahkan. Ketika itu, terlihat jelas wujud asli sekitar diri yang sebenarnya.
Begitu besar pengaruh kulit bagi kacang, apakah akan naik kepermukaan atau tenggelam ke dasar air yang kotor. Anehnya, meski demikian nyata apa yang terjadi, namun manusia tetap senang mempertahankan dan memiliki sifat lupa diri dengan kesombongan yang demikian nyata. Seakan menantang firman Allah dalam QS. al-Baqarah : 7 sebagai wujud dirinya yang asli. Begitu nista nasib manusia yang berkarakter lupa diri akibat silau atas apa yang diperoleh, bak “lupa kacang akan kulitnya”.
Ketiga, Kulit kacang. Meski realitanya ketika kacang kulit dimakan, maka kulitnya akan dibuang. Kulit kacang simbol keikhlasan dalam berbuat. Keikhlasan kulit meski dibuang sebagai sampah perlu dicontoh. Kulit kacang menampilkan sosok yang ikhlas dalam memberi bantuan pada isi kacang, tanpa pamrih, apalagi janji “pundi-pundi” yang menggiurkan. Kulit kacang merupakan tampilan sosok langka yang ikhlas, di tengah tradisi era 5.0 yang penuh pamrih bak pepatah “tak ada makan siang yang gratis”. Tapi yakin, masih ada tersisa segelintir sosok hamba yang ikhlas, meski “bagai mencari jarum ditumpukan jerami”. Meski ada, namun ia tersembunyi oleh himpitan kepentingan dan “tekanan kondisi” yang kurang menginginkannya muncul kepermukaan.
Lalu, di mana posisi dan pilihan kita atas 3 (tiga ) karakter kacang di atas. Tak ada yang tau, kecuali bagi pemilik diri yang disinari qalbun salim atas kebenaran yang diberikan Allah SWT dengan pilihan tepat sesuai ajaran agama.
Wa Allahua’lam bi al-Shawaab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 24 Oktober 2022