Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Hampir setiap perhelatan akbar sepak bola piala dunia, menampilkan kejutan-kejutan tak terduga. Tak terkecuali pada piala dunia Qatar 2022. Kejutan terlihat pada babak awal kompetisi yang menarik untuk direnungkan atas kejutan yang terjadi. Kejutan yang mengandung sejuta pelajaran yang diperlihatkan oleh “si kulit bundar” (bola) setiap ia menggelinding di lapangan hijau. Negara Qatar telah menjadi saksi kekalahan negara digjaya Argentina atas Arab Saudi atau Jerman atas Jepang, seakan menyisakan i’tibar penuh hikmah. Meski masih ada negara raksasa sepak bola yang digjaya mampu memetik kemenangan telak, seperti kemenangan Spanyol atas Kostarika atau Inggris atas Iran. Terlepas dari semuanya, runtuhnya kekuatan besar bak robohnya “gajah ditangan semut” dan bukti nyata tak ada yang mustahil bila Allah berkehendak. Ada beberapa pelajaran berharga yang bisa diambil atas peristiwa ini, antara lain :
Pertama, Bola bundar (bulat) sebagai cermin masa depan dan takdir manusia. Ikhtiar manusia bisa dilihat, tapi takdirnya tak ada yang bisa memastikan. Semua terus berputar, bergulir dengan ruang kesempatan yang sama, dan pada semua sisi. Semua memiliki hak dan kesempatan yang sama, tergantung atas ikhtiar yang dilakukan. Setiap ikhtiar yang maksimal dan iringan munajat yang sandarkan untuk menjemput takdir, maka akan mampu membuka peluang tuk meraih apa yang diharapkan. Hal ini diungkap pepatah Arab mengatakan “man jadda wa jada” (barang siapa yang sungguh-sungguh, pasti berhasil).
Meski demikian, ikhtiar tanpa doa menggiring manusia menjadi sombong dan lupa pada Allah. Ikhtiar dan doa, tanpa tawakkal, menjadikan manusia lupa diri. Hanya ikhtiar, doa, dan tawakkal menghantarkan keberhasilan yang diperoleh bersimpul kesyukuran dan sifat tawadhu’. Namun, bila kesemuanya tak dilakukan, maka lahir sifat malas dan keputusasaan. Untuk itu, Allah SWT mengingatkan manusia melalui firman-Nya : “Bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya, bahwa sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian dia akan diberi balasan atas (amalnya) itu dengan balasan yang paling sempurna, bahwa sesungguhnya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu)” (QS. an-Najm : 39-42).
Ayat di atas menjelaskan perintah Allah SWT agar hamba-Nya senantiasa beramal dan berikhtiar. Kewajiban manusia hanyalah berusaha dan hasilnya biar Allah SWT yang menentukan. Namun, tentu bila semua ikhtiar yang dilakukan sesuai ajaran agama, maka bermuara pada ketaatan pada ajaran Allah dan Rasul-Nya. Bila ikhtiar dilakukan dengan melanggar ajaran agama, maka akan bermuara pada kesesatan dan kemungkaran.
Si kulit bundar pada perhelatan akbar sepak bola dunia di Qatar 2022 terselip pesan Allah agar manusia jangan berputus asa meski tak diperhitungkan. Selama ikhtiar dilakukan secara maksimal, cara yang dilakukan senantiasa
sesuai ajaran agama, munajat bersambung pada Yang Maha Kuasa, disandarkan pada kesiapan menerima semua ketetapan-Nya, menggunakan seluruh kemampuan secara maksimal, maka tak ada yang mustahil bila Allah berkehendak. Meski secara teori mustahil menurut manusia, tapi mungkin menurut Allah. Untuk itu, Allah memerintahkan agar manusia jangan pantang menyerah dan berputus asa. Hal ini dinukilkan Allah melalui firman-Nya : “……. Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah, kecuali kaum yang kafir” (QS. Yusuf: 87).
Ayat di atas memberikan motivasi agar manusia memiliki sikap optimis, terus berusaha, dan bersunguh-sungguh terhadap harapannya. Sebab, sikap putus asa hanya menghantarkan manusia menjadi pesimis, sulit untuk maju, selalu mengeluh, dan memandang masa depan selebar “daun kelor”.
Kedua, Jangan jumawa bagi yang “besar” dan merasa hebat. Sementara jangan pula berputus asa, pesimis karena dianggap “kecil”, dan merasa hina bila dianggap underdog. Selama bumi berotasi, siang dan malam silih berganti, atau seterusnya, tak ada kata mustahil dalam kehidupan manusia. Bagai putaran roda, semua ada masanya. Tak ada yang abadi. Menyadarkan manusia untuk mengoreksi diri dan menghargai kemampuan orang lain dengan sportivitas dan obyektivitas yang terjaga. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri” (QS. Lukman : 18).
Jumawa dengan kesombongan atas diri akan berakibat kejatuhan. Menilai diri sendiri yang hebat dan pantas “menang” perlu dihindari. Namun, bukan pula terlalu optimis meanggap diri yang paling hebat. Padahal, sesungguhnya diri tak memiliki kemampuan apa-apa. Bak pepatah mengatakan “ukur badan dengan bayang-bayang”. Atau pepatah lain mengatakan “bak ingin memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai”. Tentu semua perlu diawali dengan menilai kemampuan diri, bukan keinginan diri. Bila kemampuan diri (obyektif dan profesional), maka keselamatan yang akan diraih. Namun, bila keinginan diri lebih dominan, maka kenestapaan akan diperoleh.
Jangan memandang rendah orang lain dengan memandang sebelah mata. Bisa jadi mereka yang diremehkan berubah menjadi batu sandungan. Bak pepatah “hati-hati terhadap kerikil kecil, sebab ia bisa menjadi sandungan dan menjatuhkan”. Pepatah yang perlu direnungkan secara bijak. Sebab, pepatah tersebut mengingatkan untuk menghargai sesama tanpa memandang rendah pada yang kecil dan hanya memuliakan yang besar.
Hadirkan sikap hidup bijaksana dengan memandang kesetaraan pada setiap manusia. Sikap ini menjadi modal untuk selalu mawas diri. Semua memiliki kesempatan yang sama agar muncul saling menghargai dengan menghadirkan kompetisi sehat dan mengedepankan sikap profesionalisme.
Ketiga, Manusia hanya bisa merencanakan, berharap, dan memprediksi, tapi ketetapan Allah yang paling menentukan. Meski secara teori di atas kertas Argentina dan Jerman diunggulkan yang dipastikan menang karena kualitasnya, tapi ketetapan Allah yang mutlak terjadi. Demikian Allah memperlihatkan semua peristiwa. Namun, acapkali manusia mengingkari ayat-ayat-Nya yang demikian nyata. Manusia selalu mengutamakan prediksi dan hitungan kemakhlukannya yang terbatas, percaya pada peramal-peramal yang konon mampu “berbicara dan memerintahkan alam” untuk tunduk padanya ketimbang kuasa Allah, atau mendahulukan berita para “pembisik” ketimbang kata hati yang dihadirkan-Nya untuk jadi penuntun kebenaran. Bahkan terkadang anehnya peramal yang dipercayai justeru pada hewan-hewan dan pembisik yang menjadi rujukan atau didengar berkualitas rendah. Sungguh aneh dan menggelikan. Manusia yang mulia menjatuhkan derajat dirinya di bawah standard hewan dan mendengar kata pemilik peradaban rendah.
Keempat, Membangun sportivitas tinggi atas peristiwa yang terjadi. Argentina dan Jerman mengakui kekalahan dan menerima hasil pertandingan. Tak ada upaya mencari “kambing hitam” untuk menutupi kekalahannya. Semua diterima dengan lapang dada, sambil mengoreksi kelemahan timnya untuk segera diperbaiki menghadapi pertandingan selanjutnya. Meski kecewa atas kejalahannya dan kepala tertunduk meninggalkan arena, tapi mereka akan menegakkan kepala untuk meraih kemenangan pada pertandingan berikut. Kesedihan yang tak perlu diratapi, tapi kesedihan untuk memperbaiki kesalahan diri guna meraih kemenangan selanjutnya.
Demikian indah sikap yang ditampilkan. Sikap terpuji yang patut dijadikan contoh di tengah subur dan menjamurnya “para penemu alibi” yang menawarkan resep “kambing hitam” bila kekalahan menimpa. Tak pernah ingin mengakui kelemahan dan kesalahan meski telah menuai kegagalan berulang kali, merupakan citra kerdilnya diri yang memiliki peradaban rendah. Apa yang diperlihatkan Argentina dan Jerman ketika menelan kekalahan sunguh sikap sportivitas bangsa berperadaban tinggi yang sebenarnya, bukan bangsa berperadaban rendah tapi merasa berperadaban tinggi.
Kelima, Permainan “si kulit bundar” mengandalkan kerja tim, bukan personal. Keberhasilan sebuah tim tak terlepas pada ketepatan memposisikan pemain sesuai kemampuannya. Semua pemain bekerjasama, saling membantu, saling berbagi, saling memberi dan menerima, bekerja sesuai posisi dan fungsi, serta tak pernah mencelakai sesamanya. Semua pemain memiliki etos kerja tinggi, aktif, dinamis mengejar dan mengguasai bola dengan tujuan yang sama untuk memasukan bola ke gawang lawan dan menjaga agar gawangnya tak bisa ditembus lawan. Bila bola berhasil disarangkan ke gawang lawan, semua bahagia menyambut kemenangan. Padahal, hanya seorang saja yang berhasil memasukkannya. Semua dirasakan berkat soliditas dan kerjasama semua tim. Pemandangan kerjasama yang harmonis, dinamis, terhindar penyakit iri, tidak egois dan serakah, dan “mensyukuri” nikmat ketika menang sebagai kemenangan bersama, baik yang ada di dalam maupun di luar lapangan.
Sungguh suatu pemandangan dalam kehidupan di luar lapangan sepak bola. Ketika manusia hidup lebih mementingkan sisi individual, ingin menguasai bola tapi hanya menunggu bola dan bukan “menjemput bola”, ingin menguasai sendiri dan tak ingin berbagi, merasa paling hebat dan mumpuni dengan memandang sinis sesama, tak ingin membantu tapi selalu berharap bantuan (terutama upaya meraih dukungan), berpesta bahagia di tengah derita teman, mencari tumpuan kesalahan pada yang lain ketika memetik kegagalan, dan lain sebagainya. Padahal, manusia hidup di bumi Allah yang bulat bak si kulit bundar. Meski si kulit bundar yang kecil mampu mambangun hidup harmonis di lapangan terbatas, tapi di bumi bulat yang besar justeru manusia angkuh dan hidup tidak harmonis. Sungguh pemandangan yang kontras.
Keenam, Anugerah prestasi berupa hadiah pemerintah Arab Saudi pada para pemainnya sebagai cemeti dan ungkapan terimakasih pada para “pahlawan” yang mengharumkan negara. Hadiah yang diberikan pada mereka yang berprestasi nyata, bukan mereka yang hanya sebatas kata atau pandai mencari muka. Hadiah yang diberikan pada mereka yang mengharumkan negara, bukan mereka yang memalukan dan menjual marwah negara. Apa yang dilakukan, sungguh seirama dengan janji Allah melalui firman-Nya : “Dan orang yang beriman dan mengerjakan amal kebajikan, kelak akan Kami masukkan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan janji Allah itu benar. Siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?” (QS. an-Nisa’ : 122).
Demikian berkorelasinya janji Allah atas “hadiah surga” pada hamba yang beramal shaleh dan sebaliknya “hadiah neraka” pada hamba yang beramal salah. Pelajaran yang acapkali berbenturan dan bertolak belakang pada kehidupan penuh “kepentingan dan tipu daya”. Ketika manusia lebih memilih memberikan “hadiah kenikmatan” pada pelaku kesalahan, tapi memberikan “sanksi dan hukuman” pada pemilik kejujuran dan keshalehan. Semua bisa terjadi tergantung pada kualitas pemberi “jenis hadiah”. Secara ilmu sosial, semua jenis hadiah dan pada siapa diberikan hadiah, sesungguhnya tergantung kualitas diri pemberi hadiah. Gambaran jenis hadiah dan pada siapa hadiah diberikan merupakan ceminan atau gambaran wujud kualitas karakter sang pemberi hadiah. Bila kualitas keshalehan diri, maka akan memberikan hadiah pada mereka yang benar. Akan tetapi, bila kualitas kesalahan diri, maka akan memberi hadiah pada mereka yang salah.
Lalu, masihkah ragu pada kebenaran kuasa Allah ketika demikian jelas dan nyata ayat-ayat-Nya diperlihatkan secara terang benderang. Allah memberikan seluruh potensi pada manusia untuk memilih apa jenis tanaman yang akan ditanam. Sebab, semuanya akan berbuah dan dipetik manusia kelak atas pilihan tanaman yang ditanamnya selama di dunia. Kita tunggu kejutan-kejutan selanjutnya pada piala dunia Qatar 2022 dan kejutan-kejutan lain yang (mungkin, sedang, atau akan) terjadi selama dunia ini terbentang. Semoga kejutan positif yang memberikan kebaikan bagi seluruh isi alam semesta, aamiin.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 28 Nopember 2022