Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Meski banyak hewan diciptakan-Nya, namun tak semua diabadikan dalam al-Quran. Di antara yang terpilih sebagai nama surat al-Quran adalah semut, yaitu surat an-Naml (surat ke-27). Menurut Ibnu Katsir, semut termasuk hewan yang hidup berkelompok. Hewan ini mempunyai keunikan, yaitu memiliki ketajaman indra, memiliki sikap yang sangat berhati-hati, dan memiliki etos kerja yang sangat tinggi. Sungguh, meski semut hewan kecil, namun menjadi “besar” maknanya karena dinukilkan Allah dalam al-Quran. Sementara banyak hewan besar, namun tak diabadikan dalam al-Quran. Semua pasti ada maksud dan i’tibar yang tersembunyi. Pilihan Allah atas semut tentu memiliki rahasia yang perlu ditelusuri, antara lain :
Pertama, Fisik semut kecil, tapi diabadikan Allah sebagai nama surat dalam al-Quran, mengalahkan gajah bahkan dinosourus yang besar dan menakutkan. Demikian manusia perlu belajar, bahwa besarnya diri dengan materi, kuasa, dan deretan derajat lainnya, belum tentu besar dihadapan Allah. Bisa saja dimuliakan oleh makhluk bumi, tapi tak dikenal dan dimuliakan oleh makhluk langit. Sementara mungkin ada manusia yang dianggap kecil dihadapan manusia, namun munajatnya mampu menggoyang ‘arasy dan terkenal seluruh penghuni langit. Jangan remehkan mereka yang kecil, sebab mungkin suaranya mampu menggoyang dan membuka pintu langit. Atau, jangan pongah dengan kebesaran yang dimiliki dengan pujian makhluk bumi, sebab mungkin bisa jatuh dalam kehinaan tatkala Allah buka aibnya yang ada.
Makhluk kecil dan besar merupakan lambang kehidupan. Semua memiliki kelebihan dan kelemahan. Tatkala setiap makhluk hidup harmonis, maka kedua sisi diri akan diarahkan untuk saling melengkapi. Bila tidak, maka akan hadir “hukum rimba” tatkala yang kuat memangsa yang lemah. Namun, kekuatan acapkali membuat lupa diri dan berujung kepongahan. Akibatnya, ia lupa pada sisi kelemahan yang menjadi penyebab kehancurannya. Hal ini dinukilkan dalam cerita leluhur ketika gajah dikalahkan oleh seekor semut. Sebab kekalahan gajah karena ia, “pongah” atas fisiknya yang besar dan lupa sisi kekurangan dirinya. Demikian yang terjadi pada manusia atas sesama karena kebesaran yang dimiliki berakibat pada kehancuran di hilir.
Kedua, Pola kepemimpinan dan kekompakan semut dalam bekerjasama sesuai tupoksi, serta teratur pada satu perintah (kebaikan). Semut memiliki koloni yang terbagi dalam beberapa kasta (tupoksi), yaitu ratu semut, semut pejantan, semut petelur, semut prajurit, dan semut pekerja yang masing-masingnya mempunyai tugas dan tanggungjawab. Meski terbagi pada beberapa kasta dan tugas, namun tak ada semut yang merasa mulia atau hina atas apa yang diamanahkan padanya. Semua saling menghargai, tak ada yang merasa paling berjasa, bekerja tekun dan tak ada yang saling iri atas tugas masing-masing. Perintah pimpinan dipatuhi. Keteraturan kerja semut bekerja sesuai tupoksi tak lepas dari kualitas pemimpinnya. Sebab, semut memahami bahwa ia memiliki sosok pemimpin yang amanah, adil, dan dihormati. Sosok “ratu semut” sebagai pemimpin yang memiliki kecerdasan tinggi dengan perintah yang bijaksana dan menjanjikan keadilan pada komunitasnya. Sang ratu tak memiliki sifat serakah atas tumpukan rezeki yang ada (dimiliki). Sosok “ratu semut” bukan hanya sebagai pemegang komando perintah belaka, tapi memiliki kearifan dalam memikul tanggungjawab untuk menjamin keselamatan seluruh rakyat (semut) yang dipimpinnya. Hal ini dinukilkan Allah dalam firman-Nya : “Hingga apabila mereka sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut, “Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari” (QS. an-Naml : 18).
Bayangkan, bila “ratu semut” memiliki “kedunguan intelektual dan spritual”, maka akan melahirkan perintah yang menyesatkan dan menghancurkan semua yang menerima perintahnya. Ia akan mudah dimasuki “pembisik dan pembusuk” disekitarnya yang mengambil keuntungan atas kedunguannya. Bila ada persoalan, maka ia hanya akan menyelamatkan diri dan “koleganya”, tanpa peduli pada yang lain. Namun, karakter “ratu semut” yang bijak mampu menjaga “rakyatnya” dan semua komandonya diikuti oleh seluruh semut. Dengan kebijaksanaan ratu semut, semua semut hidup harmonis tanpa melakukan pengkhianatan atau menjadi “gunting dalam lipatan”. Demikian seyogyanya manusia yang memiliki karakter semut, baik sosok pemimpin maupun rakyat jelata hidup harmonis dan berkeadilan. Bekerja ikhlas demi tujuan bersama, memiliki kecerdasan (intelektual, emosional, sosial, dan religius) yang mumpuni, dan pemimpin keummatan yang rahmatan lil ‘alamiin. Bila semua elemen bekerja sesuai tupoksi dan didukung kecerdasan pemimpin yang berkeadilan, maka apa pun yang dituju akan dapat diraih. Bila sebaliknya, maka kehancuran yang akan diperoleh, dendam terpatri, tumbuh subur kemunafikan (mulia ketika kuasa dan hina ketika jatuh), kenestapaan akan dipanen, dan lain sebagainya.
Ketiga, Sifat semut menjaga silaturrahim dengan sesama setiap bersua, tanpa memalingkan muka apalagi mencibir, atau melakukan penindasan pada sesama. Bila ada semut yang mati atau sakit, semut lainnya bersama-sama datang menggendongnya. Semua dibersihkan dan dikumpul agar tak menjadi “sampah” bagi yang lain. Semut yang mati saja tak dibuang oleh kelompoknya, apatah lagi sakit dan masih hidup saling melindungi. Apa yang dilakukan semut dalam berinteraksi merupakan inplementasi atas firman Allah : “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan mem-buat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan (silaturrahim) ?” (QS. Muhammad : 22).
Hal ini dijelaskan Rasulullah melalui sabdanya : “Barang siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan ingin dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia bersilaturrahim” (HR. Bukhari).
Demikian indah dan harmonis interaksi komunitas semut. Sementara berbeda komunitas manusia dengan sesama. Interaksi terkadang didorong oleh kepentingan. Selama ada kepentingan, seakan harmonis interaksi yang ditampilkan. Semua serasa harum, meski busuk menyengat melebihi bangkai. Sementara, tatkala kepentingan sudah tercapai atau tak diperoleh, maka muncul komunikasi yang bertolak belakang dan saling menghina. Bila terhadap sesama yang dianggap tak memberi manfaat, apalagi dianggap “lawan”, maka komunikasi serasa busuk dan dijauhi. Padahal, ucapan lawan beraroma harum menembus alam semesta. Demikian misteri interaksi dan “silaturrahim” manusia dengan sesama. Ternyata terjadi bak “sebongkah gula yang dikerubuti semut”. Tatkala masih ada manis, maka bergerombolan “semut-semut” mendekat. Namun, tatkala manis telah hilang, tak ada lagi yang datang menghampiri, bahkan hadir cercaan, hinaan, membuka aib, dan dijauhi.
Keempat, Sosok kuat yang mampu memikul beban melampaui berat tubuhnya. Meski ukuran tubuhnya relatif kecil, faktanya semut termasuk hewan terkuat di dunia. Seekor semut pekerja dapat mengangkat benda yang beratnya 5-10 kali berat tubuhnya dan menarik benda yang beratnya 20-50 kali lebih berat dari bobot tubuhnya. Hal ini disebabkan proporsi massa ototnya cukup tinggi di banding makhluk lainnya.
Potensi kesehatan jasmani bukan hanya sekadar sehat dan kuat melaksanakan aktivitas jasmaniah, tapi yang terpenting adalah menggunakan potensi fisik untuk kemashlahatan, baik pada dimensi dunia maupun akhirat. Dengan demikian, potensi jasmani manusia harus menyatu dengan potensi rohaniah demi menuju pada kebaikan keduanya. Rasulullah mengingatkan dalam sabdanya : “Sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas dirimu” (HR. Bukhari).
Hadis di atas mengingatkan manusia untuk memelihara jasmani dengan baik yang ditujukan untuk kepentingan dunia dan akhirat. Harmonisasi potensi keduanya bermuara pada kebermanfaatan bagi seluruh alam semesta. Contoh nyata terlihat pada semut. Ukuran fisiknya yang kecil tak membuat ia berpangku tangan dan kekuatan fisiknya tak pula membuat ia serakah atau zalim menganiaya sesama. Ketangguhan rohani dengan keikhlasannya melaksanakan tupoksi tak pula membuatnya merasa paling hebat dan mulia. Semua dilakukan semata-mata untuk melaksanakan amanah yang diberikan. Mereka tak pernah iri dan protes atas tupoksinya. Semua bangga atas amanah yang dipikul, serta melaksanakannya dengan penuh kejujuran dan tanggungjawab. Sementara manusia acapkali merasa diri paling berhak dan iri bila tak memperoleh apa yang diharapkan. Memperoleh apa yang diharap dengan meng-halalkan segala cara dan bila telah diperoleh, amanah hanya tinggal “kutipan kata” yang berganti keserakahan tiada tara.
Kelima, Sosok giat bekerja, hidup sederhana dan hemat, serta bersahaja. Setiap hari menjemput rezeki tanpa kenal lelah. Karakter semut tak berpangku tangan, apalagi mengemis mengharap belas kasihan. Ketika memperoleh rezeki, tak ada semut yang serakah, apalagi ingin khianat atas rezeki yang dikumpulkan dan menguasai sendiri. Tumpukan rezeki dicari dan dinikmati bersama-sama secara berkeadilan. Koloni semut tak memiliki sifat serakah apalagi boros dan pamer atas apa yang diperoleh. Dalam hal ini, Rasulullah SAW mengingatkan bahwa, “ketika beliau berjalan melewati Sa’d yang sedang berwudhu’ dan menegurnya, ‘Kenapa kamu boros memakai air ?’. Sa’ad balik bertanya, ‘Apakah untuk wudhu’ pun tidak boleh boros ?’. Rasulullah menjawab, ‘Ya, tidak boleh boros meskipun kamu berwudhu’ di sungai yang mengalir” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad).
Meski semut kecil, tapi memiliki kecerdasan dan kearifan untuk menatap hidup ke depan. Rezeki yang diperoleh dinikmati secara hemat, bukan harus dihabiskan dan dihamburkan. Semua perlu digunakan sesuai kebutuhan, bukan dorongan keinginan. Sebab, semut ingat bila tiba waktu peceklik yang perlu diantisipasi. Dengan sikap ini, koloni semut tak pernah mati kelaparan atau menjadi beringas berebut makanan dengan saling “membunuh” sesama. Sementara pada sisi manusia justeru bertolak belakang. Manusia menjadi beringas bila tak punya (melebihi singa), rakus ketika ingin memperolehnya, boros ketika menggunakannya, pamer (terutama di medsos) untuk dikatakan hebat, dan berupaya menumpuk makanan dengan bangunan nafsu keserakahan seakan tak pernah cukup atas apa yang dimiliki.
Demikian manusia perlu belajar dengan seekor semut atas kesederhanaannya. Sebab, manusia harus berfikir secara bijak, apakah yang dicari merupakan kebutuhan atau keinginan. Bila kebutuhan, maka penuhilah sesuai ukuran kebutuhannya sebagai manusia. Tapi, bila keinginan yang lebih dominan, maka hindarilah. Sebab, keinginan sifatnya tanpa batas yang didorong nafsu tak bertepi sampai tanah masuk dalam mulutnya (mati).
Keenam, Tidak melakukan penyerangan, kecuali sebatas pembelaan bila teraniaya. Dalam hal ini Allah berfirman : “dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim, mereka membela diri” (QS. Asy-Syura: 39).
Prilaku semut ternyata mengimplementasikan ayat al-Quran. Meski pilihan pembelaan merupakan pilihan terakhir bila dizhalimi. Bila masih mampu memberi maaf pada sesama, justeru merupakan pilihan mulia. Hal ini dinukilkan pula dalam firman-Nya : “…..Mereka suka merubah perkataan
(Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingat-kan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (QS. al-Maidah : 13).
Apa yang ditampilkan semut dan penjelasan Allah melalui firman-Nya terkadang dilakukan manusia secara terbalik. Sebagian manusia justeru berprilaku zalim pada sesama, meski yang dizalimi tak pernah menzaliminya. Untuk itu, seyogyanya manusia tak berlaku aniaya dan zalim pada sesama. Sebab, kezaliman hanya akan membuahkan kezaliman pula. Hak dan kewajiban makhluk menjaga harkat martabatnya. Bila harkat dan martabat diri telah diinjak-injak, maka akan muncul ketidakharmonisan. Meski di depan berwajah ceria dan bermulut manis, belum tentu berkorelasi pada sisi batin yang sebenarnya. Bisa jadi munajat yang dipinta pada-Nya justeru sebaliknya. Rasulullah mengingat-kan melalui sabdanya : “Dan berhati-hatilah terhadap doa orang yang terzalimi, karena tidak ada penghalang antara doanya dengan Allah” (HR. Bukhari dan Muslim).
Demikian jelas ayat dan hadis di atas mengingatkan manusia agar senantiasa menyebar kebaikan, bukan sebaliknya menyebar permusuhan. Meski aktivitas membela diri diperbolehkan, namun upaya tersebut merupakan pilihan terakhir. Apalagi melakukan serangan dan menebar kezaliman pada sesama yang tak pernah menyakiti atau menzalimi, merupakan perbuatan tercela. Pembenaran pada diri bisa saja dilakukan. Melalui retorika pembenaran, asesoris kesalehan, apatahlagi “pundi-pundi” mungkin mampu menghipnotis, tapi tak akan mampu menipu qalbu (nurani) dan Allah SWT. Pada waktunya akan terlihat bangkai yang disimpan. Semua yang dilakukan bagai menanam tanaman. Setiap tanaman pasti akan berbuah dan dipanen. Semua tergantung atas apa yang ditanam dalam kehidupan. Bila kebaikan yang ditanam, maka kemuliaan dan kebahagiaan yang akan dipanen. Namun, bila kejahatan dan kezaliman yang ditanam, maka kehinaan dan kesengsaraan pula yang akan dipanen. Jangan melempar kesalahan diri pada orang lain untuk dijadikan kambing hitam. Perbanyak muhasabah atas apa yang terjadi. Meski seluruh fenomena ada rahasia Allah, tapi ada pula realita yang terjadi merupakan“video” yang ditampilkan Allah di dunia untuk memperlihatkan perilaku hamba yang ditutupi dengan pakaian keangkuhan dan tipu muslihat. Semoga Allah tutup semua aib diri, sebagaimana Allah sembunyikan ruh dalam tubuh, aamiin.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 5 Desember 2022