Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
SEABAD NU lahir di bumi NKRI. Bagaikan embun, tetesannya tak membuat daun koyak, airnya tak membuat banjir, dinginnya tak membuat beku. Ia hadir membasahi negeri ini dan merambah keseluruh bumi dengan membawa kesejukan bagi alam. Melanjutkan risalah Rasulullah dengan mengambil medan dakwah melalui faham ahlussunnah wal jama’ah.
Logo Nahdhatul Ulama (kebangkitan para ulama) oleh KH Ridwan Abdullah kepada KH Hasyim Asyari memiliki makna yang sangat dalam. Ulama yang benar-benar berilmu dan berilmu yang benar sebagai ulama yang beradab dan tawaduk. NU hadir oleh para ulama pilihan yang santun, istikamah, dan tafaqquh terhadap ajaran Islam. Untuk itu, NU akan selalu menjadi salah satu suluh menuju Ilahi, sebagaimana “hidupnya” para wali Allah (QS. al-Baqarah: 154) yang senantiasa bertasbih pada-Nya. Namun, perlu diingat, bila tergelincir oknum dari tujuan yang digariskan dan “memperdagangkan NU” untuk kepentingan sesaat, maka akan hancurlah diri yang mengkhianati khitah NU yang sebenarnya.
Menyatakan diri NU perlu sejalan dengan amaliah dan adab NU yang berlandaskan Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah. Demikian amanah para ulama pendiri organisasi ini. NU bukan untuk diperjualbelikan, tapi untuk diikuti dan dilaksanakan. NU bukan untuk mencari manfaat sesaat, tapi meluruskan perilaku yang sesat. NU bukan sekadar tunggangan, tapi hadir sebagai pedoman. NU bukan sebatas teriakan, tapi bukti amal yang dinyatakan. NU tak berpikir eksklusif, tapi inklusif. NU bukan sekadar identitas dan atribut, tapi hidup sesuai khitah yang dimaksud. NU memotivasi untuk berkiprah di semua lini, tapi jangan sampai kebablasan dan lupa diri. NU menghargai perbedaan pendapat, tanpa pernah menghujat. Mengaku NU memang banyak, tapi sangat terbatas yang mampu memiliki adab dan melaksanakan amanah yang dititipkan oleh pendiri organisasi ini. Logika dalam satu wajan, sunnatullah bila minyak dan air akan terpisah secara sendirinya oleh kualitas masing-masing.
Seabad NU bagaikan suluh dan embun penyejuk membasahi bumi. Ada beberapa filosofi embun yang dimiliki NU untuk dipedomani, antara lain :
Pertama, embun membuat basah dan suasana dingin tanpa membanjiri, apalagi menenggelamkan makhluk alam. NU mengajak tanpa “menginjak”. NU hadir menyejukkan alam, membasahi kalbu dengan zikrullah tanpa “berhuruf”. NU mendinginkan suasana, tanpa menghanyutkan dan memporakporandakan peradaban. Ia menumbuhkan tanaman amaliah dan adab hamba di muka Bumi, menyuburkan tanaman peradaban menuju cinta Ilahi. Hadirnya NU bagaikan embun yang mengimplementasikan firman Allah: “Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka embun (pun memadai). Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS. al-Baqarah : 265).
Ayat di atas menjekaskan tidak ada yang luput dari pengetahuan-Nya perihal keadaan orang-orang yang ikhlas dan orang-orang yang ria (pamer). Allah akan memberikan balasan kepada setiap orang sesuai dengan apa yang dilakukan. Bila keikhlasan, maka dipanen kebaikan. Bila sebatas pamer dan hanya sebatas memanfaatkan, maka dipanen keburukan.
Bila ada tumbuhan gersang setelah disirami embun, berarti tumbuhan telah mengalami kerusakan di dalam dirinya oleh hama yang mematikan. Demikian komunitas NU. Bila kesejukan NU tak mampu menumbuhkan amaliah dan adab kemanusiaan dan penghambaan, berarti ada virus dalam hati yang gersang. Kata bijak menyebutkan, bahwa “kata harus sesuai apa yang dilakukan. Sebab, hanya sandiwara yang berkata tanpa pernah dilaksanakan”.
NU hadir dengan kesantunan vertikal dan horizontal. Hal ini dapat terlihat jelas pada tampilan para pendiri organisasi NU sejak dulu. Hadir menyelamatkan umat dan pejuang NKRI dengan perahu ahlussunnah wal jamaah. Hadir dengan keteladanan yang menjadi contoh bagi semua. Kata dan keputusan bagai sentuhan embun. Bijaksana dalam kebajikan menyelesaikan persoalan bagai menarik rambut dalam tepung. Semua terakomodir tanpa ada yang merasa dirugikan. Menyelamatkan umat tanpa merusak tatanan kearifan lokal. Jejak nyata kesantunan yang dibangun para para wali sebelum dan sesudahnya di negeri ini.
Kedua, setetes embun mengajarkan keikhlasan yang sesungguhnya. Meski hadirnya tak membahana dan disanjung, tapi bentuknya yang bening, jernih dan bersih membawa kesucian. Ia berikan kesejukan dengan ikhlas dan ketaatan tanpa berpaling (istikamah). Hal ini merujuk pada firman-Nya : “Sesungguhnya Kami menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Nabi Muhammad) dengan hak. Maka, sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya” (QS. az-Zumar : 2).
Setiap tetesannya berwarna bening, bersih, tanpa kotoran. Bahkan hadirnya mampu mensucikan dan membersihkan alam semesta. Sabda Rasulullah: “Agama itu dibangun berasaskan kebersihan” (HR. Muslim). Demikian ajaran para pendiri NU. Keikhlasan terbangun oleh hati yang suci. Kata bijak keluar dari lidah yang selalu berzikir. Gerak sesuai ajaran agama terbangun oleh asupan yang halal dan bergizi. Mata tajam menembus tabir sebab selalu dibersihkan oleh tangis rindu pada Yang Satu.
Ketiga, embun hadir dengan damai di tengah malam yang sunyi. Tak ada yang terusik dengan kehadiran sang embun. Ia datang membawa ketenangan dan kedamaian. Ia teteskan kesejukan tanpa merusak apa pun yang disentuhnya. Sifat elegan dan jauh dari sifat arogan yang meresahkan. Ia hadir di tengah malam yang sunyi, tatkala makhluk tertidur lelap dan saat manusia tak menyadari kehadirannya karena terlelap dalam buaian mimpi. Embun hadir menyelimuti bumi di keheningan malam, bertafakur memuji Allah sembari menghadirkan kedamaian pada alam semesta.
Embun hadir “senyap” seakan tak ingin manusia tahu akan kedatangannya. Ia mengajarkan makna keikhlasan, jauh dari ria, apalagi kesombongan. Namun sang embun tidak merasa kecewa atas sikap makhluk bumi yang tak menghiraukan kehadirannya. Ia tak mengejar popularitas, tak mengharap pujian, tak mengemis uluran simpati. Ia hadir dengan keikhlasan tanpa tepukan dan sambutan meriah yang membahana. Setiap tetesannya memberi kedamaian kepada alam dan seisinya. Semua hanya diberikan pada seluruh isi alam untuk pengabdian pada Allah semata.
Demikian tradisi dan citra ulama NU yang tak pernah ingin disanjung, apalagi minta disanjung. Munajat dipinta untuk keselamatan semua, bukan untuk diri dan kolega semata. Hidup bercermin pada adab Rasulullah, bukan gemerlap muslihat dunia yang menimbulkan fitnah. Meski alam terus berubah, tapi adab dan isi (ruh) NU tak pernah tergerus oleh rekayasa perubahan atau kepentingan. Hanya isi alam yang berubah seiring perubahan dan seleksi alam yang terjadi.
Keempat, embun bersikap bijaksana terhadap alam sesuai sunnatullah. Hadir mengisi waktu dengan kebajikan dan mengalah saat fajar mulai menyingsing di ufuk timur. Tatkala Matahari mulai menampakkan wajahnya, sang embun pagi pun perlahan-lahan sirna sampai akhirnya lenyap tanpa bekas (merusak). Sang embun sadar waktu kehadirannya yang terbatas dan memberi kesempatan kepada matahari untuk memberikan kehangatan pada alam semesta. Ketika malam tiba, matahari memberikan kesempatan pada embun membasahi bumi, menetes tanpa merusak apapun yang disentuhnya. Firman Allah: “Dan pada sebagian malam, lakukanlah salat tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji” (QS. al-Isra’ : 79).
Demikian sikap embun dan matahari mengajarkan sikap kesatria sejati. Saling memberi kesempatan dan saling menghargai. Tak ada yang merasa paling hebat. Keduanya sadar pada kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tujuan keduanya hanya untuk memberi kebermanfaatan sesuai kemampuan yang dimiliki. Filosofi ini merupakan cerminan sifat manusia sebagai khalifah di muka bumi. Tatkala suatu negeri memiliki pemimpin yang berkarakter seperti filosofi embun dan matahari yang beradab, maka tentu manusia dan alam semestara akan menjadi lebih baik.
Sungguh, embun mengajarkan keikhlasan untuk memberi kepada siapapun, tanpa pamrih atas apa yang dilakukan. banyak dari manusia yang tidak sadar akan kehadirannya karena mereka sudah terlelap dengan tidur manisnya. Namun sang embun tidak merasa kecewa karena banyak yang tak menghiraukannya. Dengan keikhlasannya, ia beri kesejukan pada seisi alam. Tak ada makhluk alam yang rusak oleh embun. Dedaunan yang tipis tak pernah terkoyak oleh tetesan embun. Bahkan bunga tak ada yang gugur oleh embun yang menyapa. Demikian wujud NU yang sesungguhnya. Tak pernah menyatakan diri paling benar, tapi mengajak untuk bersama pada jalan kebenaran. Tak menghancurkan alam dimana berada, tapi membangun persatuan dalam kedamaian. Berteman tiada melihat strata. Menghormati perbedaan yang terjadi. Beda pendapat bukan untuk saling menghujat. Semua sikap bagai embun tak melukai dedaunan. Namun, bila agama dan negara telah diusik, maka tak kenal siapa pun jua pasti diberantas. Demikian komitmen dan adab yang diajarkan NU pada umat. Meski bijak dalam kesantunan, namun bila agama dan negara diganggu, tak akan pernah mundur walau sejengkal.
Kelima, embun mengajarkan untuk tidak mudah menyerah dengan keadaan. Walaupun kehadirannya nyaris tidak dianggap, tapi tetesan embun tak pernah lelah untuk menebar manfaat. Ia tetap hadir di pagi hari dan membawa kesejukan dalam kedamaian. Setetes embun terlihat sangat sederhana. Tidak lebih dari titik-titik air yang menempel di dedaunan. Namun dengan kesederhanaannya ia suguhkan sesuatu yang bermanfaat bagi lingkungan dan alam semesta. Demikian NU hadir untuk diresapi. NU bukan untuk diperjualbelikan. NU bukan untuk sebatas label. NU pilihan jalan menampilkan jati diri mencintai Rasulullah dan mengenal Allah Yang Maha Agung.
Keenam, air embun dapat digunakan untuk membersihkan kotoran. Ia hadir dengan kesucian. Ia juga berguna untuk menyegarkan tubuh. Demikian NU hadir membersihkan hati dan perilaku umat yang mengotori jalan menuju hadirnya kerinduan pada Rasulullah dan menjadi hijab hamba meraih cinta Allah. NU menunjukkan jalan yang dicontohkan Rasulullah agar hidup selalu berkah. Membersihkan dengan kelembutan, menggunakan bahasa yang mudah dipahami, dan santun dalam bersikap sehari-hari. Munajat embun yang tertuang pada doa Rasulullah: “Ya Allah, sucikan dari segala dosa dan kesalahan, sebagaimana Engkau memberikan baju putih dari kotoran. Ya Allah, sucikan aku dengan salju dan air embun” (HR. Bukhari dan Muslim). Seabad NU (16 Rajab 1344 H – 16 Rajab 1444 H) hadir dan teruji mampu bertahan di tengah dinamika peradaban manusia.
Seabad NU memiliki makna yang dalam. Semakin besar amanah yang harus dilakukan untuk membawa umat menuju jalan Allah. Hal ini merujuk pada sabda Rasulullah : “Sesungguhnya Allah mengutus kepada umat Islam, setiap seratus tahun, seorang yang memperbarui untuk mereka (interpretasi) ajaran agama mereka” (HR. Abu Daud).
Hadis di atas menjadi motivasi bagi NU untuk mewujudkan apa yang dinyatakan Rasulullah. Motivasi yang mengandung amanah. Amanah yang harus dilaksanakan, bukan diabaikan. NU mengalir pada setiap diri nahdhiyin dan tumbuh subur di muka Bumi, tak pernah kering di terpa waktu, seiring tak pernah kering embun membasahi alam semesta. Menyuburkan amaliah hamba yang ingin memperoleh nikmat bila bermunajat pada-Nya. Munajat yang berbekas pada kesalehan internal, vertikal, dan horizontal. Sungguh, demikian banyak onak, duri, dan dinamika mengiringi perjalanannya. Tak pernah diajarkan dendam, semua diserahkan pada Sang Pemilik Alam. Tak pernah padam semangat juang mengabdi pada Ilahi dan selalu siap siaga menjaga NKRI. Bila duri dari “luar diri” mudah dikenali dan dibasmi. Tapi, bila tersisa “duri dalam daging” perlu diwaspadai. Namun, semua akan terdeteksi dan sirna seirama putaran Bumi yang menghadirkan hembusan angin menerbangkan debu yang mengotori Bumi.
Sungguh, NU mampu berkibar karena hadirnya munajat para wali. Munajat yang melahirkan sosok nahdhiyin pilihan yang bijaksana (al-hikmah), menebar kebajikan seluruh alam semesta. Bila NU disalahgunakan, niat yang tergelincir, munajat wali didustakan, maka pada gilirannya hanya akan jadi pecundang dan kelihatan benderang karakter aslinya. NU bagai “tapisan” (saringan). Semua diterima, tapi yang keluar hanya pati yang berkualitas. Lalu, berkacalah diri atas kualitas ke-NU-an yang diikrarkan. Apakah sesuai matlamat luhur NU, atau hanya sekadar benalu yang memanfaatkan NU. Hanya setiap diri yang tahu atas apa yang dipilih. Sungguh NU tak hanya sebatas ucapan, pengakuan, atribut, publikasi atau sejenisnya. NU tampil melalui amaliah, wujud karya nyata, kebijaksanaan, kelembutan, dan karakter diri yang terbungkus adab tanda kualitas semua yang ada. Hanya untaian al-fatihah untuk para pendiri NU disampaikan, seiring susunan bait senandung ditulis sebagai kado seabad NU:
SEABAD NU
Seabad NU menyirami Bumi
Tegak kokoh meneruskan ajaran Nabi
Mengajarkan manusia mengenal diri
Hadir menuju cinta Ilahi
Perbanyak munajat di tengah malam
Hadirkan diri di hadapan Allah
Amaliah NU tak pernah padam
Istiqomah menjaga ahlussunnah wal jamaah
Mengajarkan adab kata yang santun
Demikian akhlak diajarkan Nabi
NU bagai tetesan embun
Menyirami Bumi tiada henti
NU dirumuskan ulama dan para wali
Untuk mengajarkan akhlaknya
Nabi Siapa yang menjaga berkah dimiliki
Siapa khianat sengsaralah diri
Seabad NU memberi kiprah
Kiprah mengharap bimbingan
Allah Bila agama dan negara ingin disanggah
NU siap membela tak mengenal lelah
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 06 Februari 2023