Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Anjing merupakan salah satu hewan yang unik. Meski termasuk kategori hewan najis berat, namun anjing merupakan hewan yang setia untuk menjaga tuannya. Bahkan, seekor anjing diabadikan sebagai salah satu makhluk Allah yang akan menjadi penghuni surga. Anjing tersebut adalah Qithmir, seekor anjing yang bersama dengan para pemuda ashabul kahfi. Hal ini dinukilkan Allah melalui firman-Nya : “Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; Dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka membentangkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka” (QS. al-Kahfi : 18).
Ayat di atas bukan berarti menjadikan anjing hilang hukum kenajisannya. Eksistensinya tetap sebagai hewan yang secara keseluruhannya berstatus najis berat. Hal ini terlihat pada kisah ashabul kahfi yang tidak bersentuhan langsung dengan anjing (Qithmir). Sebab, anjing tersebut tidak pernah masuk dalam gua (bersama), tetapi hanya menjaga pemuda ashabul kahfi di luar mulut gua. Kemuliaan anjing tersebut terangkat karena membantu (tabaruk) menyelamatkan hamba Allah yang shaleh. Untuk itu, Imam al-Alusi (tafsir Ruh al-Ma’aniy) menafsirkan ayat di atas “sebagai penyebab anjing tersebut menjadi salah seekor hewan yang menjadi penghuni surga”.
Terlepas dari derajat anjing yang menjaga ashabul kahfi di atas, i’tibar yang bisa diambil bahwa meski anjing termasuk hewan yang dikategorikan najis berat, namun disebabkan ia membela dan menjaga pemuda ashabul kahfi yang dimuliakan Allah, maka ia memperoleh kemuliaan-Nya. Dengan demikian, senistanya manusia bila ia hadir menjaga, membela, dan bersama hamba yang dimuliakan Allah, maka ia akan memperoleh kemuliaan yang dimiliki hamba-Nya. Namun, bila status kemuliaan atau derajat yang dimiliki justeru mengkebiri, memusuhi, dan jauh dari hamba yang dimuliakan-Nya, maka Allah akan hinakan mereka ke jurang kehinaan yang paling dalam.
Bila dikaitkan pepatah yang menggunakan kata anjing, sedikit sekali yang berkonotasi positif. Hampir semua ungkapan yang menggunakan kata anjing berkonotasi negatif. Adapun konotasi yang dimaksud yaitu : Pertama, bernada positif melalui pepatah “anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu” bermakna “meskipun banyak rintangan dalam berusaha, manusia tidak boleh cepat berputus asa” untuk menjemput rahmat-Nya. Pepatah yang bermakna positif yang berisi dorongan atau motivasi agar manusia tetap tegar dan kokoh untuk berbuat kebaikan meski hinaan, cacian, fitnah terus menghadang. Baginya, kebenaran harus tetap dilakukan meski banyak tantangan, onak dan duri datang menghalang. Hal ini diingatkan Allah : “… janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah…” (QS. az-Zumar : 53).
Namun, nukilan pepatah di atas juga bermakna (konotasi) negatif yaitu “sifat manusia yang tak memperduli-kan nasehat orang lain dan menganggap nasehat tersebut seperti gonggongan anjing yang berlalu dalam sesaat”. Sifat negatif ini perlu disingkirkan agar hidayah Allah tak terhijab oleh sifat negatif tersebut. Sifat negatif ini dapat terlihat pada sosok Abu Lahab dan Abu Jahal. Meski ajakan mentauhidkan Allah dan hati sanubarinya mengakui kebenaran ajaran nabi Muhammad SAW, namun ajakan pada kebenaran ditolak. Mereka khawatir “wibawa dan kursinya” di mata kaum Quraisy menjadi hilang.
Kedua, bernada negatif melalui nukilan pepatah Melayu mengatakan “bagai menolong anjing terjepit”. Pepatah ini menjelaskan seseorang yang melakukan amal kebaikan, membantu seseorang yang kesusahan, sayangnya setelah ditolong, orang tersebut malah balik memusuhi dan berusaha mencelakai orang yang telah membantunya.
Nada negatif yang mengingatkan bahwa sangat berbahaya menolong orang yang memiliki sifat jahat (licik) dan tak tau balas budi. Setelah dibantu justeru “menggigit” dan berupaya berbuat jahat terhadap orang yang telah menolongnya. Pada konteks ini, acapkali diperlukan kehati-hatian. Bahkan bila jelas sifat yang akan ditolong akan menimbulkan fitnah, kemudharatan, dan tak memungkinkan untuk diajak pada kebaikan, maka sebaiknya tidak perlu dibantu.
Namun, pepatah yang berdimensi negatif ini ternyata memiliki nilai positif bila dimaknai secara bijak dan berpikir positif guna meningkatkan kualitas diri, antara lain :
Pertama, Berbuat baik pada mereka yang berbuat aniaya memiliki kualitas kebaikan yang tinggi. Sebab, pandangan ini membutuhkan energi, keikhlasan, dan kedewasaan untuk bisa melakukannya. Hal ini ditampilkan oleh Rasulullah terhadap seorang Yahudi yang buta. Meski kebencian dan makian disampaikan si Yahudi pada dirinya, tapi Rasulullah tetap menyuapinya makanan, tanpa dendam dan kebencian. Sampai akhirnya si Yahudi mengetahui bahwa orang yang menyuapinya adalah orang yang selama ini dibenci dan dihina yaitu Rasulullah. Apa yang dilakukan Rasulullah terhadap si Yahudi membuatnya memeluk Islam dan mengagumi tingginya akhlak Rasulullah.
Kedua, Berbuat kebaikan terhadap yang berbuat aniaya akan berdampak lebih besar. Sebab, bila kebaikan yang dilakukan mampu merubah mindset dan perilaku sifat pribadi penganiaya menjadi pribadi yang baik. Dalam sejarah, hal ini dilakukan Rasulullah terhadap berbagai penganiayaan yang dilakukan musuh-musuhnya dengan kebaikan. Hasilnya, meski awalnya mereka membenci Rasulullah, namun berubah menjadi kesadaran yang bermuara dengan mengikuti ajaran Rasulullah.
Ketiga, Keberhasilan berbuat kebaikan terhadap yang berbuat aniaya akan semakin mudah berbuat kebaikan pada yang berbuat baik. Hal ini dapat dianalogikan, tatkala seorang yang mampu mengangkat beban yang berat, maka semakin mudah baginya mengangkan beban yang lebih ringan. Sedangkan sebaliknya, kemampuan mengangkat beban yang ringan, belum pasti mampu mengangkat beban yang lebih berat. Proses penggemblengan prilaku kebaikan yang patut dilakukan agar tercipta kebiasaan melakukan kebaikan pada pelaku kebaikan. Hal ini merujuk pada firman Allah : “Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan jangan-lah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuatbaiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (QS. al-Baqarah : 195).
Keempat, Jangan terjajah (terhalang) untuk berbuat baik terhadap manusia yang jahat (khianat). Upayakan untuk tetap berbuat baik meski terhadap yang berbuat kezhaliman. Hal ini sesuai firman Allah : “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal (QS. al-Isra’ : 29).
Menurut Ibnu Katsir, ayat di atas menjelaskan agar manusia tak kikir (terbelenggu) untuk membantu kesusahan sesamanya. Meski mereka yang dibantu belum tentu memberikan respon positif setelah diberi bantuan. Bahkan, ada sebagiannya justeru berbuat aniaya, khianat, dan fitnah terhadap orang yang telah membantunya. Sosok orang yang mem-balas kebaikan dengan kejahatan bak pepatah “bagai menolong anjing terjepit, setelah dibuka jepitannya justeru menggigit orang yang menolongnya”. Atau dalam pepatah lain disebut mereka yang tak tau balas budi. Dalam pepatah sindiran dinukilkan“bagai kacang lupa kulitnya”. Mereka lupa atas bantuan orang, tapi membalas kebaikan yang telah diterima dengan kejahatan dan aniaya terhadap orang yang pernah menolongnya. Untuk itu, manusia perlu bijak jangan sampai terlalu berlebihan ketika membantu sesorang yang memerlukan bantuan. Pelajari tipikal orang yang akan dibantu. Atau, sandarkan bantuan hanya karena Allah semata. Bila hal ini yang disandarkan, tatkala orang yang dibantu justeru balik berbuat khianat kepada yang menolong-nya, maka semua perbuatannya akan dibalas oleh Allah Yang Maha Adil. Hal ini telah dijanjikan Allah melalui firman-Nya : “Maka sungguh, mereka (yang disembah itu) telah mengingkari apa yang kamu katakan, maka kamu tidak akan dapat menolak (azab) dan tidak dapat (pula) menolong (dirimu), dan barangsiapa di antara kamu berbuat zalim, niscaya Kami timpakan kepadanya rasa azab yang besar” (QS. al-Furqan : 19).
Ayat di atas merupakan motivasi untuk selalu berbuat kebaikan dan ancaman pada yang berbuat khianat. Apa pun balasan atas perbuatan kebaikan yang telah diberikan akan dijamin oleh Allah perlindungan-Nya Yang Maha Adil. Demikian pula sebaliknya. Untuk itu, terhadap sikap negatif yang dibalas oleh mereka yang berbuat zhalim setelah ditolong, tak membuat diri terbelenggu untuk senantiasa berbuat kebaikan. Sebab, semua yang dilakukan akan dikembalikan pada Allah. Melalui pendekatan ini, Allah akan mengangkat derajat hamba-Nya yang tangannya tak terbelenggu untuk berbuat kebaikan. Hal ini secara tegas Allah nyatakan melalui firman-Nya : “Jika berbuat baik, (berarti) kamu telah berbuat baik untuk dirimu sendiri. Jika kamu berbuat jahat, (kerugian dari kejahatan) itu kembali kepada dirimu sendiri” (QS. al-Isra’ : 7).
Demikian pula yang dicontohkan Rasulullah pada umatnya atas manusia yang berprilaku zhalim setelah menerima kebaikan oleh sesama. Sabda Rasulullah : “Jauhilah kezhaliman karena kezhaliman adalah kegelapan di hari kiamat” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ayat dan hadis di atas demikian jelas dampak perbuatan manusia. Semua akan memetik buahnya. Bahkan pesan Rasulullah pada umatnya agar bijak dalam memberikan bantuan dengan dasar karena Allah semata dan yang menerima bantuan bersikap baik atas bantuan yang telah diterima. Hal ini akan terwujud saling menghargai, bukan saling berburuk sangka dan menzhalimi. Sebab, dampak dan azab kezhaliman demikian nyata dan pasti.
Kelima, Memperlihatkan kualitas kemuliaan diri penolong dan karakter hina sosok yang ditolong. Bagi penolong, derajatnya akan diangkat oleh Allah dan memperoleh kemuliaan disisi-Nya. Sedangkan bagi yang ditolong tapi selanjutnya berbuat kezhaliman pada orang yang menolong, maka Allah akan mempertontonkan pada penghuni bumi dan langit atas hinanya diri mereka yang zhalim (seperti anjing). Sungguh, sosok mereka yang hina akan diperlihatkan sebagai tampilan nyata sosok penghuni neraka kelak yang akan menerima siksa yang sangat pedih.
Demikian nyata janji Allah, namun acapkali manusia memilih untuk mendustainya (QS. al-Baqarah : 8-10) dengan retorika yang memukau. Tak tersisa adab pada diri, serta telah terkunci mata, telinga, dan hati. Bahkan mereka lebih hina dibanding hewan. Allah ingatkan melalui firman-Nya : “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahanam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS. al-A’raf : 179).
Demikian jelas peringatan Allah agar manusia bijak bersikap. Padahal, seekor kucing yang kelaparan. Tatkala diberi makan, ia akan ingat pada manusia yang memberinya makan. Tapi anehnya, segelintir manusia justeru membalas kebaikan dengan kezhaliman dan khianat. Ketika “lapar”, bahkan ia tak malu mengemis dan memohon. Tapi, tatkala sudah “kenyang” justeru ingin menguasai seluruh makanan yang ada. Bahkan bila perlu menyingkirkan mereka yang pernah menolong dan semua yang menghalanginya. Hal ini menunjukkan karakter dirinya yang rendah dan tak mampu ditutupi dengan gemerlap asesoris duniawi yang menyilaukan. Silau bagi yang memiliki mata penuh dosa. Tapi, bagi yang memiliki “kacamata iman”, silau duniawi tak berpengaruh baginya untuk melihat sisi dalam diri yang sebenarnya. Upaya mereka yang ingin menutupi karakter tercela yang dimiliki bagai “menutup bangkai dengan selembar daun kelor”. Semua hanya akan mengalami kesia-kesiaan belaka. Bahkan, pada waktunya akan terbuka lebar dan tercium bau busuknya yang menyengat.
Meski pepatah yang menggunakan i’tibar dengan pilihan kata hewan anjing lebih dominan memiliki sisi negatif, namun tersisa sisi positif untuk dijadikan pedoman hidup. Sisi negatif untuk dijadikan pelajaran dan cermin introspeksi diri guna dijauhi. Sementara sisi positif dijadikan sebagai motivasi untuk meraih kebaikannya. Hanya hamba-Nya yang mampu melihat semua hamparan sebagai Kalam Allah untuk bersikap bijak dan mengambil pelajaran. Pelajaran yang diharapkan mampu mengangkat derajat hamba. Namun, tak ada yang bisa mengetahui siapa yang akan diangkat derajatnya oleh Allah pada dimensi yang dimaksud, kecuali hanya Allah Yang Maha Tahu. Manusia hanya berikhtiar dan bermunajat, berbuat baik sebatas yang mampu dilakukan. Sementara takdir dan kualitas hamba merupakan hak-Nya semata. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 20 Pebruari 2023