Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Bagi masyarakat yang hidup di desa, keberadaan tumbuhan putri malu (mimosa pudica) bukan sesuatu yang asing. Pohonnya mudah dikenali karena daun-daunnya yang secara cepat menutup (layu) saat disentuh. Walaupun sejumlah anggota jenis tumbuhan sejenis dapat melakukan hal yang sama, namun tumbuhan putri malu bereaksi lebih cepat dibanding jenis lainnya. Meski termasuk jenis tumbuhan yang unik, namun mengenal tumbuhan putri malu masih terfokus pada kajian ilmiah. Padahal, tumbuhan putri malu menyimpan nilai pengajaran yang sangat dalam bagi manusia. Pengajaran yang ingin disampaikan oleh Allah kepada manusia melalui hamba-Nya (QS. Ali Imran : 191) yang bernama tumbuhan putri malu. Adapun nilai pengajaran yang dapat diambil antara lain :
Pertama, Tumbuhan putri malu memiliki sensitivitas dan respon yang tinggi bila disentuh. Ketika salah satu bagian pohonnya disentuh, maka daun-daunnya akan mengatup dan tertutup “malu”. Sebab, ia memiliki kemampuan dalam gerak seismonasti (tigmonasti). Jika pohonnya disentuh, gerakan menguncup tanaman putri malu terjadi untuk melindungi diri dari serangan hewan herbivora (pemakan tumbuhan) disekitar-nya. Ia segera melindungi diri agar harga dirinya tak disentuh apalagi diinjak-injak oleh siapa pun jua.
Demikian Allah mengajarkan agar manusia untuk memiliki sisi sensitif bila harga dirinya disentuh, diganggu, apalagi dirampas. Meski demikian, ada batasan dan adab bila hal tersebut harus dilakukan. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim, mereka membela diri” (QS. Asy-Syûra: 39).
Paling tidak, harga diri manusia terbagi pada dua kutub, yaitu kutub internal (personal) dan kutub eksternal. Kutub internal berkaitan dimensi harga diri individual, seperti harga diri pribadi dan keluarga yang harus dijaga. Sedangkan kutub eksternal berkaitan harga diri komunal, seperti harga diri sebagai pemeluk agama (keimanan), warga negara, komunitas suku, dan sebagainya.
Bila sensitivitas masih dimiliki, berarti masih ada harga diri. Lihat tumbuhan putri malu yang memiliki harga diri. Tak pernah berlaku kasar, tapi siap siaga membela diri bila ia diganggu. Ia tidak pernah ingin melukai sesama, tapi siap melukai bila dizalimi dan diinjak-injak. Sungguh, putri malu membuat manusia menjadi “malu” atas keutuhan harga diri. Sebab, segelintir manusia bukan membela dan mempertahankan harga diri yang dilakukan, namun segelintirnya justeru menjual harga diri dengan harga murah untuk memperoleh apa yang diinginkan. Jangankan harga diri pada kutub eksternal, bahkan kutub internal pun dah tak diperdulikan. Semua dijual tanpa ada yang tersisa. Akibatnya, sisi yang tertinggal hanya “mengemis, menjilat, tunduk tanpa mampu menegakkan kepala, dan memuja sesama bak dewa”. Semua dilakukan akibat tak lagi tersisa harga diri sebagai manusia.
Kedua, Pohonnya penuh duri yang digunakan untuk menjaga diri dari sesuatu yang menyentuhnya. Duri yang dimiliki hanya digunakan untuk waspada terhadap semua yang berniat jahat untuk “menginjak-injaknya”. Namun, duri yang dimiliki bukan digunakan untuk menganiaya, memfitnah, dan menyebarkan petaka pada makhluk lainnya. Ia tak pernah menyerang, tapi siaga ketika diserang. Ia tak pernah membalas, tapi pantang bila dirusak atau dianiaya. Ia santun pada sesama tumbuhan dan bukan termasuk benalu. Duri yang dimiliki hanya sebagai senjata “memlertahankan diri” bila ia dirusak atau dizalimi.
Demikian manusia bijak seyogyanya bersikap. Tak pernah kering kewaspadaan, tak pernah ingin membuka aib sesama, tak pernah menyebar fitnah, tak terlintas ingin menyakiti yang ada. Bila terpaksa tatkala diri disakiti, semua dilakukan sebatas membela diri dan menyadarkan “mereka yang menyakiti” atas kezaliman yang dilakukan. Bila semakin erat cengkeraman atas tumbuhan putri malu, maka semakin dalam duri yang tertancap. Luka bukan karena tumbuhan putri malu, tapi luka karena eratnya tangan mencengkeram durinya. Hal ini seirama firman Allah : “Oleh sebab itu barang-siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu” (QS. al-Baqarah : 194).
Menurut Wahbah Zuhaili, ayat di atas merupakan perintah batasan membela diri dan menjaga kehormatannya dari kejahatan makhluk. Sikap ini wajib hukumnya. Hal ini disepakati oleh ulama mazhab Imam Abu Hanifah, ulama Malikiyyah dan ulama Syafi’iyyah sebagai batas kewajiban melakukan pembelaan diri. Demikian indah “proses penyadaran” yang disampaikan tumbuhan putri malu. Ia sadar tak boleh menyakiti. Tapi, bila sakit yang diderita makhluk oleh durinya, pasti disebabkan oleh mereka yang berprilaku jahat ketika menyentuhnya. Tancapan duri yang sebanding atas apa yang dilakukan oleh “musuh” yang menyentuhnya.
Ketiga, Tumbuhan putri malu tahan terhadap ancaman abiotik dan kondisi alam. Hal ini bisa diperhatikan, bahwa tanaman ini lebih tahan terhadap kekurangan air. Meski musim kemarau, daunnya selalu nampak hijau. Air yang tersimpan pada daunnya menjadi “bank air” bagi tumbuhan ini bertahan meski ketika kemarau tiba. Sungguh, tumbuan putri malu mengajarkan pada manusia agar ulet dan siap siaga tatkala datang waktu kesusahan. Bila berada dalam kemewahan, sisipkan untuk berbagi pada sesama (simbol daun). Simpan sedikit air pada batang dan ranting. Tatkala kekeringan melanda, giliran daun, ranting, dan batang mensuplai air ke akar untuk mampu bertahan hidup. Harmonisasi nilai berbagi dan keshalehan sosial yang demikian nyata. Tumbuhan putri malu mengajarkan hidup bijak bila memiliki rezeki untuk menghadapi waktu tatkala mengalami peceklik kekurangan rezeki. Meski kemarau, daunnya tetap tersenyum menyuplai air keseluruh batangnya. Ia mengajarkan hidup saling berbagi dan membantu. Seluruh bagiannya tak mengenal kata serakah. Semua rezeki dibagi sesuai kebutuhan. Tatkala kondisi “kemarau”, giliran bagian lainnya membantu memberi pertolongan pada bagian lain yang membutuhkan. Sungguh, simbol kepedulian yang berbuah saling menolong untuk kebaikan. Hal ini mengimplementasikan firman Allah : “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal” (QS. Al Isra: 29).
Secara tersirat, ayat di atas mengandung arti bahwa dalam konsumsi (mengeluarkan harta) tidak boleh kikir dan tidak boleh berlebih-lebihan (boros). Bila diamanahkan Allah rezeki, berbagi pada sesama. Tatkala waktu “kemarau” tiba, giliran yang lainnya akan didatangkan Allah untuk membantu. Seakan tumbuhan putri malu membuktikan kebenaran sabda Rasulullah : “Barangsiapa menghilangkan satu kesulitan, maka Allah akan membalasnya dengan menghilangkan darinya satu kesulitan dari kesulitan-kesulitan yang ada pada hari kiamat” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sementara segelintir manusia lupa diri ketika rezeki berlimpah dengan hidup berfoya-foya. Bila memiliki kuasa, menebarkan kesulitan jadi kesenangan dan mengumpulkan materi dengan kezaliman. Namun, ketika rezeki berkurang dan berada pada masa-masa sulit, jalan pintas dengan melanggar hukum dilakukan, meski harga diri terjual tak dipeduli.
Keempat, Tumbuhan putri malu memiliki pabrik pupuk berupa bintil-bintil akar. Dalam bintil-bintil akar tersebut bermiliar-miliar konsorsium koloni mikroba bersimbiosis mutualisme dengan akarnya. Ia mandiri dengan menyiapkan pupuk untuk dirinya dan bermanfaat menyuburkan tumbuhan sekitarnya. Simbol hidup untuk selalu menjadi “pupuk” bagi diri dan sesama. Pupuk yang menumbuhsuburkan kehidupan untuk terus memberi manfaat. Bukan menjadi parasit dan racun dalam kehidupan yang mematikan sesama dan menggersangkan alam semasta.
Kelima, Tumbuhan putri malu bisa menjadi obat diabetes, menghentikan pendarahan, mencegah infeksi, mengobati demam, dan meredakan nyeri. Ternyata, meski tak banyak yang tertarik pada tumbuhan ini, namun ia menyuguhkan manfaat kesehatan bagi manusia. Meski tak banyak yang peduli, tapi disuguhkannya obat bagi kesehatan manusia. Sungguh manfaat hidup yang lahir dari harga dirinya yang terpelihara. Hal ini seirama sabda Rasulullah : “Dan sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya” (HR. Ath-Thabrani).
Sementara manusia, tampil elegan dengan atribut yang mewah. Namun, segelintirnya acapkali menyisakan sisi menyebarkan kepedihan bagi sesama. Bahkan alam mengalami kerusakan akibat tak ada lagi harga diri yang tersisa mampu ditampilkan. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. ar-Ruum: 41).
Keenam, Tumbuhan putri malu memiliki bunga dengan warna yang indah. Ia tak hanya memberi manfaat secara biologis sebagai media.obat-obatan, tapi ikut memberi manfaat secara psikologis. Hamparan bunga yang berwarna-warni menyegarkan mata untuk dilihat setiap pagi. Meski ada sisi “tajam duri” yang dimiliki, tersimpan keindahan bunga dengan warna yang sejuk mampu menenteramkan hati. Sungguh, ada 2 (dua) pelajaran aspek bunga dan duri tumbuhan putri malu bagi manusia, yaitu :
(1) Jangan terbuai atau tertipu pada sesuatu (bunga) yang terlihat “indah dan cantik” dipandang mata zahir. Sebab, bisa jadi terdapat “duri” yang menyakitkan dan membuat diri terluka.
(2) Bila duri dimaknai kuasa (varian jabatan, kekuatan, ilmu, kekayaan, dan sebagainya), maka manfaatkan kuasa secara bijaksana. Gunakan kuasa untuk membangun kebajikan diri yang memberi bermanfaat dan keindahan bagi sesama (keshalehan sosial). Bila hanya duri yang tajam dan tak tersisa ruang kebaikan pada diri, maka hinalah diri dan sirna kebajikan. Sungguh merugi manusia yang tak ada tersisa sedikit jua kebaikan dan kebermanfaatan selama hidup bagi sesasama. Ia menjatuhkan diri pada kehinaan dan kehancuran. Sebab, meski penduduk bumi seakan menyanjung karena “duri” yang melekat dan dimiliki, namun secara “bisik-bisik dibelakang” mereka ternyata menggunjing, mencibir, dan mengurai untaian kata-kata hinaan. Ternyata, penghormatan sebatas “ketakutan pada duri”, bukan pada isi. Ketakutan yang disebabkan oleh “duri” yang tak lagi digunakan untuk menjaga tanaman, tapi digunakan untuk mencelakai dan menyakiti. Akibatnya, kedigjayaan duri menghantarkan tanaman semakin arogan. Akibatnya, tanaman tak lagi memiliki sisi keindahan dan kebermanfaatan yang mampu diberi. Bila hasrat tumbuhan berduri hanya untuk menyakiti, ia akan dijauhi dan selanjutnya dibasmi. Berbahagialah tumbuhan yang berduri tanpa menyakiti. Bagai tumbuhan putri malu yang berduri hanya menjaga diri, memiliki sensitivitas harga diri, dan menampilkan keindahan tanpa merusak tumbuhan lainnya.
Demikian meruginya hidup, makhluk hadir di tengah cibiran manusia dan alam semesta. Hal ini bisa dilihat tatkala duri telah tiada, bagai hilangmya belang pada harimau, atau copotnya gigi si macan (macan ompong). Ia hanya akan dibuang, dijadikan permainan dan gurauan, atau varian sikap cibiran negatif lainnya. Tapi bila “duri” yang dimiliki digunakan bijak untuk membela seiring keindahan dan kebermanfaatan yang diutamakan, maka namanya akan tetap harum dan menjadi panutan atau rujukan bagi semua.
Demikian Allah tak henti-hentinya mengingatkan manusia untuk bijak menjadi khalifah fi al-ardh, baik melalui ayat tertulis (al-Quran) maupun terbentang (alam). Melalui semua media tersebut, manusia diharapkan mampu menggunakan akal dan hatinya secara bijak. Tak ada alasan manusia tak mengetahui atas semuanya setelah demikian banyak ayat-ayat Allah mengingatkan manusia. Hal ini Allah nyatakan dalam firman-Nya secara berulang kali (31 kali) dalam QS. ar-Rahman melalui ayat : “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan ?”. Semua ciptaan-Nya menghadirkan pelajaran dan mengingatkan manusia atas kebesaran Allah. Semua terpulang pada pilihan setiap manusia. Kemana pilihan akan dilakukan setelah demikian nyata kebenaran ayat-ayat-Nya. Tak ada yang tau. Hanya setiap diri yang dituntun oleh qalbun salim yang mampu menjawab dengan benar. Sebab, semua pilihan pasti akan diminta pertanggungjawabannya kelak dihadapan Allah.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 6 Maret 2023