Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Di antara keistimewaan bulan ramadhan adalah setan-setan dibelenggu (diikat). Hal ini merujuk pada sabda Rasulullah : Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Pada malam pertama bulan Ramadhan, setan-setan dibelenggu (diikat atau dirantai). Yaitu setan-setan yang membangkang” (HR. Ibnu Huzaimah, Nasa’i, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Al-Hakim).
Pada redaksi yang hampir serupa, Rasulullah SAW pernah bersabda : “Ketika tiba bulan Ramadhan, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu (diikat atau dirantai)” (HR. Muslim).
Merujuk kedua hadis di atas, perlu dikaji maksud setan-setan “dibelenggu atau diikat” selama ramadhan. Sebab, secara logika sederhana, bila setan hadir untuk membujuk manusia agar melanggar perintah Allah, berarti tatkala setan diikat selama ramadhan, tak ada lagi pelanggaran atas perintah Allah. Semua manusia akan senantiasa tunduk dan taat melaksanakan perintah Allah. Seyogyanya, dunia aman dari kemungkaran dan kezaliman. Sementara, realitanya pelanggaran terhadap perintah Allah terus terjadi meski selama ramadhan. Lalu, perlu dilihat makna hadis di atas dalam konteks kehidupan manusia. Meski secara harfiah “belenggu” berarti “diikat” dengan tali atau rantai, namun kenapa dalam realita kejahatan selama ramadhan tetap terus terjadi. Padahal setan yang menggoda manusia telah “terbelenggu (terikat)”. Dalam konteks ini, para ulama memahami hadis di atas secara majazi, yaitu dibelenggu oleh “puasa hamba yang beriman”. Maknanya, setan-setan tak lagi leluasa menggoda manusia oleh “kesibukan hamba” mengisi ramadhan dengan puasa di siang hari dan mengisi malamnya dengan berbagai amaliah sunnah lainnya yang pahalanya dilipatgandakan Allah. Putaran rangkaian ini terus berputar selama ramadhan dengan pondasi iman dan taqwa. Rutinitas ini menyebabkan ruang gerak setan menjadi terbatas bila dibandingkan dengan hari-hari biasa di luar ramadhan.
Dengan demikian, tak ada waktu baginya untuk memperturut hawa nafsu yang melanggar perintah Allah. Akibatnya, setan-setan seakan terbelenggu dan tak mampu melancarkan godaannya karena hamba yang berpuasa dengan dasar iman yang tak mampu ditembus oleh bujuk rayunya. Namun, bagi hamba yang berpuasa dengan iman yang rapuh atau sebatas trend semata, maka setan-setan tak mampu dibelenggu, bahkan akan bebas sebagaimana di luar ramadhan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata dibelenggu berarti “alat untuk mengikat kaki atau tangan”. Merujuk arti tersebut, maka di antara alat mengikat adalah tali. Makna tali yang dijadikan alat mengikat setan-setan adalah kualitas iman hamba yang menjalankan ibadah puasa. Ada beberapa makna seutas tali dalam konteks iman hamba yang digunakan untuk mengikat setan-setan selama ramadhan, antara lain :
Pertama, Diikat untuk mengekang dengan tali pendek (sangat pendek) dan tak memberi ruang gerak. Bila tali yang digunakan pendek, maka medan gerak akan terbatas. Kondisi ini akan menyakitkan karena terbatasnya ruang gerak dan sentakan tali, serta membuat gerak setan lebih terkendali, bahkan tak bergerak sama sekali. Hamba yang berpuasa sebaiknya mengikat “setan-setan” (berikut anasir-anasirnya) dengan tali pendek berupa iman yang kokoh (istiqomah). Hal ini diingatkan Rasulullah SAW melalui sabdanya : “Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni” (HR. Bukhari dan Muslim).
Demikian jelas sabda nabi di atas. Hanya puasa yang didasarkan dan dibangun dengan iman yang berkualitas mampu membersihkan diri dan menghantarkan hamba pada fitrah-Nya. Sebab, melalui iman yang berkualitas akan mampu “mengikat setan-setan” dengan ikatan pendek. Dengan ikatan tersebut akan membuat setan-setan tak mampu berkutik sedikit jua. Semakin setan meronta, ia akan merasakan sakit yang tiada tara oleh ikatan iman hamba yang berpuasa.
Kedua, Diikat dengan menggunakan tali panjang untuk mengontrol setan, namun wilayah geraknya terbatas sepanjang tali yang mengikatnya. Bila tali yang mengikat terlalu panjang atau tanpa batas, maka ikatan seutas tali tak ada gunanya. Ia hanya sebatas “mengikat”, namun medan jelajah kebebasan beraktivitas setan melancarkan bujuk rayunya terlalu panjang. Akibatnya, membuat manusia berpeluang “menyerempet” ke ruang-ruang yang dilarang agama. Tali yang mengikatnya hanya sebatas ikatan, namun tak banyak berpengaruh mengontrol gerak “lintas nilai” yang dilakukan karena panjangnya tali yang digunakan.
Ketiga, Sebatas ada tali, tapi tanpa diikat sama sekali di kedua ujungnya. Tali yang ada hanya sebatas asesoris yang dililitkan “dileher” dan pohon tanpa diikat sama sekali. Akibatnya, keberadaan tali ada namun tak berfungsi. Sebab, bagian sisi tali lain atau kedua sisinya dilepas bebas tanpa terikat. Akibatnya, setan-setan yang diikat justru bebas kesana-sini melepaskan keinginan dan melancarkan godaan sebagaimana sebelum puasa, bahkan melampaui aktivitas di luar ramadhan. Asesoris berpuasa selama ramadhan, namun hanya sebatas menahan lapar dan haus belaka. Hal ini yang dikhawatirkan Rasulullah melalui sabdanya : “Berapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa kecuali hanya lapar dan dahaga” (HR. Ibn Majah).
Meski puasa, namun kebiasaan di luar ramadhan tetap dilakukan. Puasa hanya sebatas menandakan ibadah zahir, namun batinnya tak pernah dilatih untuk “berpuasa” dan menghadirkan Allah mengalir pada seluruh pembuluh darah dan urat nadinya. Akibatnya, meski puasa namun masih merasa diri bagai raja, paling kuasa, sosok digjaya, mengedepankan kolega, berbeda dijadikan lawan yang harus dibinasakan, rakus melebihi naga, kebal melebihi kulit badak yang tebal, dan lain sebagainya.
Keempat, Tumpuan tempat tali diikat berupa pohon yang mudah tercerabut. Sebab, pohon tempat mengikat sebatas rumput ilalang. Demikian mudah setan melepaskan diri karena diikat pada iman yang lemah. Kondisi ini dinukilkan Rasulullah melalui sabdanya : “Kemiskinan itu dekat pada kekufuran” (HR. Abu Na’im). Makna kemiskinan bukan sebatas pada aspek material, tapi juga pada aspek spritual. Di antara aspek spritual meliputi lemah iman dan lemah ilmu yang mengarahkan hadirnya kesadaran untuk menuju jalan dan memperkuat iman. Keduanya sangat membahayakan “ikatan tali” terhadap setan (terutama selama ramadhan). Apalagi bila kedua-duanya hadir bersamaan pada diri manusia. Acapkali ikatan tali yang berasal dari iman yang lemah justeru tertarik oleh kuatnya “setan” meski di bulan ramadhan.
Setan menarik tali kekangnya berbalik arah melepaskan hawa nafsu manusia selama ramadhan. Akibatnya, seharusnya manusia mampu mengendalikan nafsu, justeru berbalik memperturutkan hawa nafsu. Bila hal ini terjadi di bulan ramadhan, apatahlagi di luar bulan ramadhan, na’uzubillah. Fenomena kasat mata, namun menutup mata.
Kelima, Tali sebatas pengikat “kerbau”. Tak peduli ikatan menggunakan tali pendek atau panjang tak berpengaruh sama sekali. Setelah tali dilepas, ia tetap mencari kubangan yang kotor. Geraknya tak bisa dilatih dan dididik. Geraknya lebih didominasi pada tradisi habitat yang mengakar pada dirinya yang menyenangi lumpur dikubangan yang kotor.
Bila seutas tali mengisyaratkan kualitas iman yang mengikat setan, maka bagaimana wujud diri (nafsu) pasca ramadhan jangan sampai bak seekor kerbau. Sebab, ketika seekor kerbau selesai bekerja membajak sawah atau bergelimang dengan lumpur, maka tubuhnya yang kotor akan dimandikan dan dibersihkan oleh petani (tuannya). Namun, setelah dibersihkan dari kubangan yang kotor, bila ikatannya dilepas, kerbau tetap mencari dan bergelimang dikubangan (lumpur) yang membuat dirinya kembali menjadi kotor.
Agar janji pengampunan dan kemuliaan yang “dihidangkan” Allah pada bukan ramadhan mampu diperoleh, maka manusia jangan sampai membuat “terhijabnya” iman memperoleh janji Allah meraih predikat muttaqien. Bila dosa yang berkaitan hamba dan Khaliq (vertikal) bisa dihapus melalui munajat dan taubat an-nasuha, namun tidak demikian halnya terhadap dosa yang berkaitan dengan sesama (horizontal). Ketika sesama masih terhutang, maka Allah akan menggantung pahala hamba sampai sesamanya saling memaafkan. Untuk itu, Allah mengingatkan melalui firman-Nya : “(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (QS. al-Maidah : 15).
Begitu jelas ayat di atas agar setiap hamba saling memaafkan. Apatahlagi pelaku zalim terhadap yang dizalimi. Meski demikian, bukan berarti kezhaliman terus dilakukan. Sebab, kezhaliman merupakan perbuatan yang dinista oleh Allah. Apatahlagi bila kezhaliman yang berdampak luas pada sesama dalam ruang dan waktu yang berterusan.
Bulan ramadhan adalah bulan suci yang hanya dimasuki oleh pemilik diri yang telah mensucikan dirinya. Di antara upaya mensucikan diri secara vertikal melalui taubat an-nasuha dan mensucikan diri dengan meminta maaf dan saling memaafkan. Jangan biarkan mulut terkunci untuk meminta maaf dan hati yang diselimuti kemunafikan. Sebab, hal ini akan merugikan dan mengotori diri sendiri. Rasulullah SAW mengingatkan melalui sabdanya : “Barangsiapa yang mempunyai kedzaliman kepada saudaranya mengenai hartanya atau kehormatannya, maka diminta dihalalkanlah kepadanya dari dosanya itu sebelum datang hari dimana nanti tidak ada dinar dan dirham (hari kiamat), dimana akan diambil dari pahala amal kebaikannya untuk membayarnya. Kalau sudah tak ada lagi amal kebaikannya, maka diambil dari dosa orang yang teraniaya itu, lalu dipikulkan kepada orang yang menganiaya itu” (HR. Bukhari dan at-Tirmidzi).
Demikian meruginya hamba yang tak mau menyadari kesalahan diri, terkunci mulut mengakui, hati yang membeku, dan kokohnya keangkuhan untuk memohon kemaafan. Bila ingin menjadi muttaqien, maka jangan biarkan sifat keserakahan hewaniyah lepas bebas tanpa kendali, kelicikan setan-setan sebagai balatentara yang menghalalkan segala cara, dan kesombongan iblis sebagai raja yang menguasai diri yang menutup pintu hidayah-Nya. Hanya dengan memutus mata rantai iblis, setan, dan hewan, maka manusia akan mampu meraih tujuan ramadhan yang hakiki. Semuanya perlu “diikat atau dirantai” dengan menggunakan tali yang pendek agar tidak liar dan ikatan iman yang kuat agar tak tergoyahkan. Hanya cara ini yang mampu mengang-kat kualitas hamba sesuai yang dituju ramadhan dan diharap-kan Allah pada hamba-Nya.
Lalu, jenis kelompok tali mana yang akan kita ikatkan pada “setan-setan” dalam diri selama bulan ramadhan. Tak ada yang bisa menjawabnya, kecuali iman yang ada pada setiap diri dan Allah yang memiliki diri hamba. Pilihan terpulang pada setiap hamba. Menjadi muttaqien yang diharapkan Allah, “bermain mata” dengan setan melalui ikatan yang direkayasa, atau memilih “sifat kerbau” yang meski diikat tapi tak merubah tabiat. Sebab, meski telah dibersihkan oleh ramadhan, ternyata pasca ramadhan tetap memilih lumpur yang kotor. Atau di bulan ramadhan tetap senang beraktivitas seperti kerbau yang bergelut dengan lumpur dengan tali yang terlepas. Bila pada ramadhan saja lumpur tetap jadi pilihan utama, bisa dipastikan bagaimana bila di luar ramadhan bentuk karakter yang dipakai. Pilihan bisa dijawab dengan berbagai retorika dan lidah yang menari, tapi tak bisa mengelabui Allah dan nurani. Sebab, korelasi iman, perilaku, dan karakter diri pasca ramadhan akan terlihat secara pasti atas kualitas iman yang dimiliki mampu “membelenggi setan” dan pengaruh kualitas kesucian ramadhan yang telah dilalui. Meski semua bisa disembunyikan, namun tak akan mampu ditutupi dengan rekayasa selembar kemunafikan yang demikian nyata.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 3 April 2023