Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Aktivitas mudik merupakan tradisi rutin yang dilakukan untuk berkumpul dengan sanak keluarga. Tradisi ini terlihat demikian kental, terutama setiap datangnya bulan syawal. Mudik menurut KBBI disinonimkan dengan istilah pulang kampung. Aktivitas mudik merupakan kegiatan perantau untuk pulang ke kampung halamannya. Kepulangan yang digerakkan oleh kerinduan dan ingatan tempat asal kelahirannya. Kerinduan untuk berkumpul dan bersilaturrahim dengan sanak keluarga.
Secara substansial, tradisi mudik merupakan pengakuan bahwa kampung halaman merupakan tempat istimewa, tempat berkumpul, tempat terbaik, dan penuh kenangan. Sementara selain kampung halaman, secara tak langsung merupakan tempat tinggal “sementara” dan pengakuan diri sebagai “seorang perantau”. Meski besar dan megah rumah yang dimiliki dengan fasilitas mewah, ternyata tak membuat tumpuan melebihi harapan mudik ke kampung halaman. Meski jauh tempat yang dituju, letihnya fisik dengan kemacetan atau antrian panjang, banyak liku dan hambatan dalam perjalanan, biaya mahal tak jadi persoalan, kesemuanya serasa tak pernah dihiraukan ketika asa mudik muncul ternyata mampu membuat yang berat menjadi ringan, jauh terasa dekat, atau biaya mahal tak jadi persoalan. Semua sirna dan terbayar lunas tatkala hasrat mudik ke kampung halaman dapat dilakukan. Bahkan, persiapan untuk mudik jauh-jauh hari telah dipersiapkan secara matang. Serangkaian persiapan materi, oleh-oleh yang akan dibawa (bahkan melebihi), kendaraan yang akan digunakan, sampai kemana saja tempat akan dituju ketika kelak sampai di kampung halaman telah direncanakan secara matang.
Meski mudik memiliki daya tarik dan seluruh energi (kemampuan) dikerahkan, namun rutinitas tradisi mudik zahir tak berkorelasi dengan mudik hakiki (akhirat). Bahkan, mudik zahir ternyata tak mampu menjadi renungan atas upaya persiapan mudik hakiki. Padahal, Rasulullah SAW mengingatkan umatnya agar bersikap yang benar dalam kehidupan di dunia tanpa melupakan kehidupan akhirat. Rasulullah bersabda :“Jadilah kamu di dunia seperti orang asing (perantau) atau orang yang sedang melakukan perjalanan” (HR. Bukhari).
Hadis di atas merupakan makna majazi yang dinukilkan Rasulullah agar manusia sadar atas posisinya di dunia. Bak seorang perantau, ingat kampung halaman menjadi obat terbaik mengobati rasa rindu dan menumbukan sifat terpuji sembari menunggu waktu mudik abadi. Masa penantian yang perlu dipersiapkan dengan bekal “oleh-oleh” amaliah ketika waktu pulang kampung (akhirat) nantinya. Sungguh, hanya jarak dan waktu yang memisahkan setiap perantau dengan kampung halamannya. Jarak tanpa siapa yang tau dan waktunya hanya antara azan dan azan. Semua pasti akan “mudik” dengan atau tanpa persiapan. Ath-Thibiy mengatakan bahwa “Rasulullah SAW mengumpamakan manusia yang hidup di dunia ini seperti ‘orang asing’ (al-ghorib) sebagai perantau tanpa memiliki tempat berbaring dan tempat tinggal. Orang asing dapat tinggal di negeri asing dalam waktu yang terbatas. Pada waktunya ia harus meninggalkan negeri asing menuju negeri asalnya”. Sementara perumpamaan “seorang pengembara” bermakna sementaranya waktu melewati suatu negeri untuk menuju negeri yang jauh sebagai tujuan perjalanannya. Dalam perjalanan akan ditemui berbagai “asam garam kehidupan”, kebahagiaan dan kesengsaraan. Seharusnya, hamparan taman bunga indah nan harum semerbak wangi tak membuat lupa tujuan diri dan berlama-lama menikmatinya. Semua hamparan keindahan ada pemiliknya. Demikian pula tatkala ditemui hamparan tandus, tak pula boleh berlari memaksa untuk segera sampai ditujuan. Semua ada batas dan waktunya. Sebab, sebagai perantau dan pengembara, manusia memiliki waktu tinggal selama izin diberikan pemiliknya (Allah SWT).
Sungguh, aktivitas mudik zahir ke kampung halaman merupakan tradisi mulia, perlu dilestarikan, dan memberikan beberapa makna untuk mempersiapkan mudik hakiki (akhirat). Makna tersebut antara lain:
Pertama, Ingat kampung tempat lahir. Tempat lahir memiliki daya tarik tersendiri. Tempat asal hadirnya diri, dibimbing dan mendapatkan kasih sayang kedua orang tua, merupakan magnet yang tak akan terlupakan. Meski berjauhan dan memperoleh kehidupan yang lebih baik, namun ingatan kampung halaman tak mampu dilupakan. Bak pepatah Melayu menyebutkan “setinggi-tinggi terbangnya bangau, akhirnya ke pelimbahan (kubangan) jua” (biar sukses tinggi diperantauan, akhirnya pulang ke kampung halaman jua).
Demikian hidup di dunia ini, bagaikan seorang yang pergi merantau. Setiap perantau tidak mungkin selamanya di tanah rantau. Perantau yang cerdas pasti akan menggunakan waktunya ketika di rantau untuk mencari bekal sebanyak-banyaknya yang akan dibawa kembali ke kampung halamannya. Demikian manusia di dunia mempersiapkan bekal untuk kampung akhirat. Kerinduan atas asal kejadian membuat ingat pada waktunya akan “mudik” abadi (akhirat). Kerinduan yang mengingatkan, ingatan yang menyadarkan, dan kesadaran yang memper-siapkan perbekalan amal kebaikan.
Meski manusia sibuk mempersiapkan mudik ke kampung halaman, namun lupa mempersiapkan mudik ke asal kejadian (kematian). Andai persiapan mudik kedua bentuk tersebut berjalan secara seimbang dan berkeadilan, maka keselamatan akan diraih. Apatahlagi bila persiapan mudik ke asal kejadian lebih dominan dilakukan, maka keberkahan akan diperoleh. Namun, sayangnya mudik ke kampung halaman melupakan mudik ke asal kejadian. Anehnya, selama diperantauan, manusia menumpuk harta dengan segala cara agar ketika mudik ke kampung dikatakan sebagai perantau sukses. Padahal, ketika hal tersebut dilakukan ternyata menjadikannya hina dan menjadi perantau merugi ketika mudik ke kampung akhirat.
Ketika persiapan mudik ke kampung halaman dilakukan secara serius dan biaya yang besar, namun persiapan mudik ke asal kejadian dilakukan tatkala ada “persoalan menghimpit” dan biaya sekedarnya. Ketika persoalan berganti dengan nikmat berlimpah, membuat persiapan mudik negeri asal kejadian seringkali terlupakan.
Kedua, Pemudik berupaya dengan berbagai cara untuk bisa pulang kampung dengan membawa “sesuatu (oleh-oleh)” yang dibanggakan oleh kedua orang tua dan masyarakat “kampung”. Demikian manusia yang sadar bahwa diri perantau yang pasti akan mudik. Seluruh amanah Allah selama di dunia dijadikan sebagai tabungan untuk dibelikan “oleh-oleh dan bekal” perjalanan bila panggilan mudik telah tiba. Bila amanah dijawab dengan ketundukan, maka ia akan dibeli oleh Allah dengan untaian Rahman dan Rahim-Nya. Bila amanah dijawab dengan keingkaran, maka ia akan dibeli oleh Allah dengan kemurkaan-Nya. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Berbekallah, dan sungguh sebaik-baik bekal adalah takwa” (QS. al-Baqarah : 197).
Manusia yang bijak senantiasa ingat diri pada waktunya akan mudik ke kampung abadi. Ingatan yang membuat diri waspada terhadap “tipuan dunia”. Namun, bagi manusia yang lupa (melupakan) “kampung halaman”, tipuan dunia membuatnya tak ingat waktunya mudik. Lupa diri sebagai perantau yang kelak (pasti) akan mudik membuat diri senang (bahkan menjadi dalang) berbagai “tipuan duniawi”.
Ketiga, Kesadaran bahwa diri adalah seorang “perantau” dan rumah yang dimiliki di luar kampungnya adalah rumah “transit” yang tak seindah dan senyaman rumah di “kampung halaman”. Allah SWT mengingatkan melalui firman-Nya : “Sesungguh-nya kampung akhirat adalah lebih baik, dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa.” (QS an-Nahl : 30).
Dengan demikian, setelah manusia mengetahui akan hakikat kehidupan yang sebenarnya, mereka akan memberikan perhatian yang lebih besar pada kehidupan akhirat yang kekal daripada kehidupan dunia yang fana. Sebab, Allah mengingatkan : “Sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang” (QS. ad-Dhuha : 4).
Ketika mudik dunia manusia mampu berusaha maksimal dan menjadwalkannya secara matang, penuh kerinduan dan semangat menggebu-gebu, bahkan tenaga, fikiran, dan materi disiapkan sejak awal. Namun, ketika mudik akhirat, acapkali terlupa, sedikitpun tanpa merindukan (bahkan takut dan seakan tak ingin mudik), tanpa usaha, menebar kezaliman, dan bila perlu tanpa ingin mengeluarkan biaya. Rasulullah SAW bersabda : Dari Jabir bin ‘Abdillah RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Jauhilah berbuat zalim karena perbuatan zalim adalah kegelapan yang bertumpuk-tumpuk pada hari kiamat dan jauhilah asy-syuhh (sifat kikir disertai ketamakan) karena ia telah membinasakan orang-orang sebelum kalian” (HR. Muslim).
Keempat, Kampung bermakna asal kehidupan (api, angin, air, dan tanah) dan saatnya kembali pada asal kejadiannya dengan bungkusan tanah. Oleh-oleh apa yang akan dibawa dan kendaraan apa yang mengantarkannya. Oleh-oleh dalam bentuk amaliah yang akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah. Pilihannya membawa “oleh-oleh” dalam bentuk fujur (dosa) atau taqwa (pahala). Kendaraan dengan dipecut cemeti menuju neraka atau diantarkan dengan iringan tasbih menuju surga-Nya yang penuh kenikmatan.
Kelima, Mudik mengingatkan hidup hanya sementara dan bagaikan debu yang seketika angin berhembus akan terbang.Sungguh manusia acapkali memilih berprilaku aneh. Ketika mudik sementara (mudik semasa di dunia) dipersiapkan dengan bekal yang cukup, bahkan melampaui kecukupan. Sementara mudik abadi (mudik menuju akhirat) acapkali
tanpa bekal, bahkan membawa hutang (dosa) yang dipikul berat dipundaknya. Hutang akibat kezaliman, fitnah, dan kemunafikan yang justeru ditumpuk menggunung. Seakan hilang keyakinan akan mudik ke negeri asal kejadian. Padahal, semua akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT. Bila momentum ramadhan prilaku dan hati tak bisa suci, bagaimana mungkin di luar ramadhan akan berharap hadir kesucian. Bila terhadap urusan diri sendiri terlalu pelit, bagaimana mungkin bisa dermawan pada urusan orang lain. Bila di rumah sendiri sengaja dikotori, bagaimana mungkin di rumah orang lain bisa menjaga kebersihan. Semua diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluarga-mu dari api neraka…” (QS. at-Tahrim : 6).
Ayat di atas menjelaskan bahwa semua bermula pada kesucian diri yang akan membangun kesucian keluarga dan komunitas yang lebih luas. Bila bangunan prasangka yang dibangun, sesungguhnya hal tersebut merupakan cermin karakter diri sebenarnya sesuai atas apa yang disangkakan. Demikian hina manusia yang menyiapkan bekal dosa untuk dibawa mudik hakiki yang setiap waktu bisa terjadi.
Seyogyanya, mudik ke negeri asal selalu diingat setiap melakukan aktivitas. Dengan ingatan tersebut, muncul kehati-hatian setiap melakukan aktivitas (lisan dan perbuatan). Minimal, ingatan mudik ke negeri asal hadir bersamaan ingatan mudik ke kampung halaman. Paling tidak, ingatan ini akan menjadi alat kontrol gerak perbuatan yang dilakukan. Namun, bila hal ini tak juga mampu mengingatkan manusia akan mudik ke negeri asal yang pasti dan misteri, hanya penyesalan yang akan didapat. Penyesalan yang tak ada guna meski berteriak dan meronta. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, “Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan.” Sekali-kali tidak Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan” (QS. Al Mukminun: 99-100).
Ayat di atas dijelaskan oleh Imam Ibnu Rajab, bahwa : “Angan-angan terbesar orang-orang yang telah mati di alam kubur agar mereka kembali hidup sesaat untuk meraih taubat dan amal shalih yang luput dari perhatiannya selama hidup di dunia. Sedangkan orang-orang yang masih hidup di dunia demikian pula. Mereka justru menyia-nyiakan hidupnya, sehingga umur mereka habis percuma dalam kelalaian, bahkan sebagian mereka ada yang menghabiskan-nya untuk kezaliman dan kemaksiatan”. Tapi semua tak ada guna. Ketika mudik kampung halaman masih bisa dilakukan berulang kali, namun mudik ke negeri asal kejadian tak pernah berulang. Meski demikian, manusia lebih peduli pada perjalanan mudik ke kampung halaman dan melupakan mudik ke negeri asal kejadian.
Allah telah mengingatkan manusia atas kejahilan di dunia melalui firman-Nya : “Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga hati (akal) mereka dapat memahami, telinga mereka dapat mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada” (QS. al-Hajj : 46).
Demikian banyak mata melihat “bekas-bekas” yang ditinggal-kan manusia yang zalim dan manusia yang bertaqwa. Semua terlihat nyata dipertontonkan Allah di muka bumi atas semua prilaku manusia. Meski demikian, semua yang terlihat nyata seakan tak membuat manusia sadar dan mengambil pelajaran. Semua diakibatkan oleh kepentingan yang menutup akal dan pintu hati dari cahaya kebenaran. Akibatnya, manusia lebih memilih untuk kufur atas nikmat-Nya. Sungguh celaka manusia seperti ini, apalagi bila berdampak luas dan menghancurkan peradaban.
Sungguh indah dan berbahagia hamba yang bisa mudik zahir (kampung halaman). Bersua bahagia bersama keluarga dan handai taulan. Keseriusan dan semangat melakukan serangkaian persiapan yang berkorelasi dengan kualitas –minimal– sebanding untuk persiapan mudik hakiki (akhirat). Persiapan mudik ke negeri asal kejadian dengan bekal amaliah taqwa agar bisa menghantarkan diri untuk bersua dengan Rasulullah dan penghuni surga lainnya.
Semua pilihan ada pada setiap manusia atas aktivitas mudik yang dilakukan setahun sekali atau mudik hakiki yang bisa kapan saja terjadi. Pilihan bukan sebatas kata atau tampilan, tapi pilihan merubah pandangan dan prilaku sebanding atas kedua kutub mudik yang akan dijalani.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 17 April 2023